How The First Time I Met His Mother
Gue memperoleh surat ijin pacaran sejak gue SMA, yah walaupun dengan segambreng syarat dibelakangnya. Pacar harus seiman, harus pinter (IQ minimal menurut standar Ibu gue itu 170), harus berani setor muka ke rumah (maksudnya berani menghadapi Bapak gue yang hobi ngasah golok), ah dan masih banyak banget 'keharusan' lainnya yang dituntut oleh Ibuk. Dengan persyaratan yang lebih sulit dari sayembaranya Rapunzel, akhirnya untuk beberapa tahun gue hanya bisa pacaran diam-diam dan kemudian putus diam-diam.
Waktu berlalu, gue mengenalkan beberapa cowok yang sesuai dengan harapan Ibuk. Tapi hubungan kami selalu kandas karena gue yang enggan berkenalan dengan keluarga cowok gue. Dalam bayangan gue, nyokap mereka pasti yang bawel lah, yang galak lah, yang tatapannya mematikan lah, yang rambutnya kayak ular lah... Masa itu gue sering menyamakan sosok calon mertua gue sebagai Medusa, monster-berambut-ular. Tapi akhirnya gue dipertemukan dengan Tedot lewat sebuah message masuk di akun facebook (iya facebook, jaman itu gue udah gak main friendster lagi kok, apalagi Mirc) gue.
"Hai Ugek... Boleh kenalan ga? Aku Tedot, adik sepupunya Kak Iwan. Dulu aku pernah diajak main Kak Iwan kerumahmu, waktu kita masih kecil."
Gue sebenernya bukan tipikal cewek yang suka kenalan lewat akun facebook. Alay! Tapi toh setelah gue liat foto profile si Tedot yang badannya kece macam binaragawan, gue membalas juga message itu.
"Iaah, lam nal uGa Kax..."
Alay. Namanya juga masih kelas dua es-em-a, jadi gaya tulisan gue lagi berseni banget.
"Boleh minta pin nomor hp?"
"Oyeh Kax.. 085xxxxxxxxxx."
Dan akhirnya kami bertelfon-telfonan dengan serunya. Tedot adalah orang Bali asli, kuliah farmasi di universitas Udayana (yang paling engga lumayan pinter dibanding gue), tinggal gue menguji keberanian dia aja buat uji nyali nyamperin gue ke rumah. Maka beberapa hari setelah kami kenalan via telefon, Tedot menerima tantangan gue buat ketemuan di rumah. Gue saat itu udah capek-capeknya gonta-ganti cowok. Jadi gue pikir kalau dia gak berani kerumah, ya udah. Bisa langsung gue coret dari daftar calon-suami-masa-depan.
Karena Ibuk memberi restu (sebenarnya masih setengah-setengah karena Tedot gak sejenius yang diharapkan), akhirnya beberapa bulan kemudian kami berpacaran. Tedot adalah salah satu pacar teristimewa karena disampingnya gue bisa bebas menjadi adik, menjadi pacar dan menjadi sahabat. Semua yang gue idamkan ada padanya. Gue cenderung lebih suka badboy, yang perokok (walaupun waktu itu gue suka bawel setiap kali Tedot merokok), yang punya pandangan nakal, yang maskulin, yang gape main gitar... Ah pokoknya Tedot adalah cowok idaman gue banget! Walaupun wataknya keras (sekeras otot-otot badannya), tapi kadang-kadang dia mau mengalah dan berubah sejinak kucing setiap kali kami marahan. Jadi meski harus LDR (Tedot kuliah di Denpasar sementara gue masih sekolah di Singaraja), gue tetap nyaman dengan hubungan kami.
Gue udah ngerasa gak akan ada yang bisa memisahkan kami (lah kan gue udah ngaku kalo dulu gue alay), sampai suatu ketika Tedot ulangtahun dan ia mengundang gue datang ke rumahnya. Jeng jengg jeeenggg!!! Gue langsung panas-dingin kebingungan, gimana bocah alay macem gue harus berhadapan dengan calon mertua gue di masa depan? Gimana kalo doi ga suka sama gue? Gimana kalo dia menyimpan dendam sama gue dan akhirnya kalau nanti kami menikah dia bakal nyiksa gue macem sinetron-sinetron Indosia* itu? Ah, gue belum siap!!!
"Aduh sayang, kayaknya aku belum bisa deh. Aku takut ketemu Ibu kamu..." jawab gue jujur untuk menolak undangan Tedot.
"Yah gimana sih kamu? Masa pacarnya ulangtahun kamu gak dateng? Ibu aku baik kok..."
'Iya lah baik sama elu, masa sama anak sendiri galak?' batin gue. Gue memutar otak buat mencari alasan yang rasional apapun asal gue gak usah ketemu sama calon mertua gue itu. Ya ampun, gue kan masih SMA? Buat apa sih ketemu sama orangtua pacar segala?!
Tapi rasa takut gue diputusin Tedot mengalahkan ketakutan gue untuk bertemu Ibunya. Jadi setelah bertapa 7 bulan purnama di bawah air terjun Niagara, akhirnya di malam ulangtahun Tedot, gue dateng kesana ditemenin BonBon, kakak sepupu gue. Gue sempet gak mau masuk ke rumahnya saking takutnya. Tapi Tedot terus memaksa gue untuk masuk. Gimanapun juga gue tinggal selangkah lagi menuju hubungan dewasa yang sesungguhnya, kepalang tanggung buat pulang lagi. Sebelum masuk, gue mengecek diri gue untuk terakhir kalinya. Poni-lempar gue yang udah balik keriting efek catokan murah yang gue beli di pasar anyar, make-up gue yang luntur karena keringat grogi, dan celana jeans gue yang melorot-melorot karena kegedean. Perfect! Gue siap mati buat ketemu calon mertua! Eh, bentar! Gue cek nafas dulu 'haaahh' dan gue beneran mati.
Layaknya adegan di TV-TV, gue berjalan pelan ke arah wanita cantik yang ternyat Ibunya Tedot. Camera zoom in dan zoom out ke arah gue dan Ibunya Tedot. Gue berusaha narik sudut bibir supaya bisa senyum, tapi susah banget. Ah matilah sudah!
"Ugek ya? Wah, manis yaa gedenya. Inget gak dulu Kak Sunu suka main sama Iwan kesini? Main sama Teddy juga. Temen masa kecil jadi pacar yaa kalian?" sapa Ibunya ramah. Gue kaget. Bukaaan, bukan kaget karena Ibunya Tedot ternyata ramah banget. Tapi karena Ibunya Tedot menyalami orang yang salah, dia mengira BonBon adalah gue. Nice!
"Ngg... Maaf tante, saya BonBon, kakak sepupunya Ugek."
Ibunya Tedot kebingungan, tampaknya gue kasat mata dihadapannya, "loh terus Ugeknya mana?"
Tedot merangkul gue dan dengan bangga memperkenalkan gue sebagai pacarnya.
"Ini loo Ugek, Bu. Adiknya Kak Sunu... Masa lupa?"
Ibunya Tedot memperhatikan gue dari atas sampai bawah. Gue menarik celana jeans gue yang melorot sampai bokong. Gue grogi, gak tau harus ngomong gimana.
"Kok kayak orang chinese ya? Sunu kan item manis."
Rasanya gue pengen nangis saat itu juga, bener-bener pengalaman yang buruk buat gue! Pokoknya sepulang dari sini gue bakal minta putus!
"Masuk yuk, Gek... Kita ngobrol-ngobrol di dalem."
Tanpa disangka Ibunya Tedot menarik tangan gue dan merangkul gue masuk ke dalam rumah. Gak tanggung-tanggung ia memperkenalkan gue ke keluarga besar mereka sebagai pacar barunya Tedot yang seorang penyiar. Sepertinya dia bangga punya calon mantu yang bekerja part-time demi uang saku tambahan. Gue pun yang awalnya sekaku robocop, mulai bisa membaur dan malah bisa mengobrol lancar dengan mereka. Ketakutan gue selama ini terbukti salah! Gue jelas menyalahkan sinetron-sinetron yang gue tonton saat itu. Ternyata gak semua Ibu Mertua segalak yang ada di sinetron.
Jujur aja gue merasa sangat diterima oleh keluarga Tedot, gue bahkan sering sms-an dengan Ibu dan Bapaknya. Rasanya seperti bersama keluarga sendiri. Bahkan setelah gue dan Tedot putus pun, gue masih sering berhubungan dengan mereka. Padahal anaknya udah benci setengah mati dengan gue, tapi ternyata orangtuanya masih baik dan masih menganggap gue seperti anak sendiri. Ibu Tedot memberi gue banyak pengalaman berharga, hingga kemudian gue gak pernah grogi lagi menghadapi orangtua pacar-pacar gue berikutnya.
Thanks bu... Selamanya Ibu adalah calon-mertua terbaik yang pernah aku temui. Semoga sehat selalu dan dapet mantu yang sekonyol aku.
With love,
Ugek
Waktu berlalu, gue mengenalkan beberapa cowok yang sesuai dengan harapan Ibuk. Tapi hubungan kami selalu kandas karena gue yang enggan berkenalan dengan keluarga cowok gue. Dalam bayangan gue, nyokap mereka pasti yang bawel lah, yang galak lah, yang tatapannya mematikan lah, yang rambutnya kayak ular lah... Masa itu gue sering menyamakan sosok calon mertua gue sebagai Medusa, monster-berambut-ular. Tapi akhirnya gue dipertemukan dengan Tedot lewat sebuah message masuk di akun facebook (iya facebook, jaman itu gue udah gak main friendster lagi kok, apalagi Mirc) gue.
"Hai Ugek... Boleh kenalan ga? Aku Tedot, adik sepupunya Kak Iwan. Dulu aku pernah diajak main Kak Iwan kerumahmu, waktu kita masih kecil."
Gue sebenernya bukan tipikal cewek yang suka kenalan lewat akun facebook. Alay! Tapi toh setelah gue liat foto profile si Tedot yang badannya kece macam binaragawan, gue membalas juga message itu.
"Iaah, lam nal uGa Kax..."
Alay. Namanya juga masih kelas dua es-em-a, jadi gaya tulisan gue lagi berseni banget.
"Boleh minta pin nomor hp?"
"Oyeh Kax.. 085xxxxxxxxxx."
Dan akhirnya kami bertelfon-telfonan dengan serunya. Tedot adalah orang Bali asli, kuliah farmasi di universitas Udayana (yang paling engga lumayan pinter dibanding gue), tinggal gue menguji keberanian dia aja buat uji nyali nyamperin gue ke rumah. Maka beberapa hari setelah kami kenalan via telefon, Tedot menerima tantangan gue buat ketemuan di rumah. Gue saat itu udah capek-capeknya gonta-ganti cowok. Jadi gue pikir kalau dia gak berani kerumah, ya udah. Bisa langsung gue coret dari daftar calon-suami-masa-depan.
Karena Ibuk memberi restu (sebenarnya masih setengah-setengah karena Tedot gak sejenius yang diharapkan), akhirnya beberapa bulan kemudian kami berpacaran. Tedot adalah salah satu pacar teristimewa karena disampingnya gue bisa bebas menjadi adik, menjadi pacar dan menjadi sahabat. Semua yang gue idamkan ada padanya. Gue cenderung lebih suka badboy, yang perokok (walaupun waktu itu gue suka bawel setiap kali Tedot merokok), yang punya pandangan nakal, yang maskulin, yang gape main gitar... Ah pokoknya Tedot adalah cowok idaman gue banget! Walaupun wataknya keras (sekeras otot-otot badannya), tapi kadang-kadang dia mau mengalah dan berubah sejinak kucing setiap kali kami marahan. Jadi meski harus LDR (Tedot kuliah di Denpasar sementara gue masih sekolah di Singaraja), gue tetap nyaman dengan hubungan kami.
Gue udah ngerasa gak akan ada yang bisa memisahkan kami (lah kan gue udah ngaku kalo dulu gue alay), sampai suatu ketika Tedot ulangtahun dan ia mengundang gue datang ke rumahnya. Jeng jengg jeeenggg!!! Gue langsung panas-dingin kebingungan, gimana bocah alay macem gue harus berhadapan dengan calon mertua gue di masa depan? Gimana kalo doi ga suka sama gue? Gimana kalo dia menyimpan dendam sama gue dan akhirnya kalau nanti kami menikah dia bakal nyiksa gue macem sinetron-sinetron Indosia* itu? Ah, gue belum siap!!!
"Aduh sayang, kayaknya aku belum bisa deh. Aku takut ketemu Ibu kamu..." jawab gue jujur untuk menolak undangan Tedot.
"Yah gimana sih kamu? Masa pacarnya ulangtahun kamu gak dateng? Ibu aku baik kok..."
'Iya lah baik sama elu, masa sama anak sendiri galak?' batin gue. Gue memutar otak buat mencari alasan yang rasional apapun asal gue gak usah ketemu sama calon mertua gue itu. Ya ampun, gue kan masih SMA? Buat apa sih ketemu sama orangtua pacar segala?!
Tapi rasa takut gue diputusin Tedot mengalahkan ketakutan gue untuk bertemu Ibunya. Jadi setelah bertapa 7 bulan purnama di bawah air terjun Niagara, akhirnya di malam ulangtahun Tedot, gue dateng kesana ditemenin BonBon, kakak sepupu gue. Gue sempet gak mau masuk ke rumahnya saking takutnya. Tapi Tedot terus memaksa gue untuk masuk. Gimanapun juga gue tinggal selangkah lagi menuju hubungan dewasa yang sesungguhnya, kepalang tanggung buat pulang lagi. Sebelum masuk, gue mengecek diri gue untuk terakhir kalinya. Poni-lempar gue yang udah balik keriting efek catokan murah yang gue beli di pasar anyar, make-up gue yang luntur karena keringat grogi, dan celana jeans gue yang melorot-melorot karena kegedean. Perfect! Gue siap mati buat ketemu calon mertua! Eh, bentar! Gue cek nafas dulu 'haaahh' dan gue beneran mati.
Layaknya adegan di TV-TV, gue berjalan pelan ke arah wanita cantik yang ternyat Ibunya Tedot. Camera zoom in dan zoom out ke arah gue dan Ibunya Tedot. Gue berusaha narik sudut bibir supaya bisa senyum, tapi susah banget. Ah matilah sudah!
"Ugek ya? Wah, manis yaa gedenya. Inget gak dulu Kak Sunu suka main sama Iwan kesini? Main sama Teddy juga. Temen masa kecil jadi pacar yaa kalian?" sapa Ibunya ramah. Gue kaget. Bukaaan, bukan kaget karena Ibunya Tedot ternyata ramah banget. Tapi karena Ibunya Tedot menyalami orang yang salah, dia mengira BonBon adalah gue. Nice!
"Ngg... Maaf tante, saya BonBon, kakak sepupunya Ugek."
Ibunya Tedot kebingungan, tampaknya gue kasat mata dihadapannya, "loh terus Ugeknya mana?"
Tedot merangkul gue dan dengan bangga memperkenalkan gue sebagai pacarnya.
"Ini loo Ugek, Bu. Adiknya Kak Sunu... Masa lupa?"
Ibunya Tedot memperhatikan gue dari atas sampai bawah. Gue menarik celana jeans gue yang melorot sampai bokong. Gue grogi, gak tau harus ngomong gimana.
"Kok kayak orang chinese ya? Sunu kan item manis."
Rasanya gue pengen nangis saat itu juga, bener-bener pengalaman yang buruk buat gue! Pokoknya sepulang dari sini gue bakal minta putus!
"Masuk yuk, Gek... Kita ngobrol-ngobrol di dalem."
Tanpa disangka Ibunya Tedot menarik tangan gue dan merangkul gue masuk ke dalam rumah. Gak tanggung-tanggung ia memperkenalkan gue ke keluarga besar mereka sebagai pacar barunya Tedot yang seorang penyiar. Sepertinya dia bangga punya calon mantu yang bekerja part-time demi uang saku tambahan. Gue pun yang awalnya sekaku robocop, mulai bisa membaur dan malah bisa mengobrol lancar dengan mereka. Ketakutan gue selama ini terbukti salah! Gue jelas menyalahkan sinetron-sinetron yang gue tonton saat itu. Ternyata gak semua Ibu Mertua segalak yang ada di sinetron.
Jujur aja gue merasa sangat diterima oleh keluarga Tedot, gue bahkan sering sms-an dengan Ibu dan Bapaknya. Rasanya seperti bersama keluarga sendiri. Bahkan setelah gue dan Tedot putus pun, gue masih sering berhubungan dengan mereka. Padahal anaknya udah benci setengah mati dengan gue, tapi ternyata orangtuanya masih baik dan masih menganggap gue seperti anak sendiri. Ibu Tedot memberi gue banyak pengalaman berharga, hingga kemudian gue gak pernah grogi lagi menghadapi orangtua pacar-pacar gue berikutnya.
Thanks bu... Selamanya Ibu adalah calon-mertua terbaik yang pernah aku temui. Semoga sehat selalu dan dapet mantu yang sekonyol aku.
With love,
Ugek
Komentar
Yang paling akurat yg benci setengah mati so ill give u SPAM SPAM SPAM SPAM SPAM SPAM SPAM SPAM!
:D
Maklum lah kan kao tw sendiri syaraf pengingat aku suka geser dr tempatnya, jadi pikunan deh.
After a long time you still hate me? Ck...
Ada untungnya juga punya banyak mantan.