Pramugari dan Bau Badan
Beberapa
pekan lalu gue sempat menghadapi kesulitan dalam menghadapi salah seorang
junior gue. Sebut saja namanya Ningsih. Dia ini junior idaman gue banget,
kerjanya bagus dan cekatan, inisiatifnya tinggi dan sopan dengan seniornya. Gue
sih gak gila-gila banget buat dihormatin junior, Cuma kalau ada junior tengil
yang petantang-petenteng padahal baru terbang hitungan bulan, ya sebel juga. Ningsih
ini beda. Misalnya saja,
“Mbak
Dinna, saya sudah check cabin dan sudah bersih Mbak. Paling sisa satu-dua penumpang
yang belum makan, tapi saya sudah beritahu penumpangnya bahwa 30 menit sebelum
mendarat kita sudah harus final debarasse.
Oh iya Mbak, saya boleh ijin makan?”
Iya.
Dari jaman gue junior, entah siapa yang memberlakukan ini pada awalnya, tapi
untuk makan, minum, bahkan untuk boker pun kita harus ijin sama senior. Sudah
biasa. Yang gue suka adalah, dia mendahulukan tugasnya baru minta ijin untuk
makan. Kadang ada junior yang seenak jidatnya mau makan duluan baru service penumpang. Mau dilarang ya
kasian nanti anak orang busung lapar. Tapi kalau diturutin ya kasihan nanti
penumpang gue megap-megap kelaparan.
Dari
tadi gue cerita baik-baiknya si Ningsih. Pasti kalian bertanya-tanya, kesulitan
apa yang gue hadapi dengan perempuan Jawa satu ini. Jadi begini. Saat itu kami
terbang dengan schedule 2 leg yaitu Jakarta – Manado – Jakarta. Saat itu gue in-charge
sebagai cabin 2 dan si Ningsih in charge sebagai cabin additional. Tugasnya
hanya bantu-bantu saat boarding dan service, ia tidak bertanggung jawab dengan
safety karena tidak memiliki rating pesawat yang kita pakai saat itu yaitu
Airbus A320. Duduknya pun di seat penumpang, bukan di jumpseat khusus FA
(Flight Attendant).
Nah,
dari Manado menuju Jakarta kebetulan full
seat dan Ningsih mendapat seat
ditengah-tengah penumpang lain. Awalnya semua berjalan normal hingga sesaat
setelah gue selesai service, penumpang yang duduk di sebelah Ningsih
menghampiri gue di galley belakang, mencolek bahu gue dan berbisik,
“Mbak
boleh ngomong sebentar gak?”
“Oh
iya Ibu, ada yang bisa dibantu?”
“Itu
tadi yang duduk disamping saya pramugari ya?”
“Benar,
Bu. Itu cabin crew additional kami. Ada apa ya Bu?”
Si
Ibu berdeham dan terlihat tidak enak menyampaikan maksudnya. Gue jadi bingung.
Masa iya si Ibu ini lesbian dan mau minta dikenalin dengan Ningsih?
“Bisa
gak ya kira-kira pramugari tadi dipindah saja tempat duduknya? Ehem.. Saya
kurang suka.”
Awalnya
gue kurang suka dengan si Ibu ini. Enak aja main bilang gak suka sama pramugari
gue. Ningsih itu meski dandan masih belepotan, tapi anaknya baik! Gue gak
terima ada penumpang yang minta si Ningsih pindah dari tempat duduknya!
“Maaf
Ibu, kalau boleh tahu atas dasar apa ya, Ibu kurang suka dengan pramugari saya?
Apa kurang ramah atau bagaimana, nanti bisa saya tegur. Tapi saya tidak bisa
memindahkan tempat duduknya, tidak diperbolehkan oleh prosedur perusahaan saya
kecuali untuk alasan keselamatan saja.”
Si
Ibu terlihat berpikir keras. Gue ikutan keras. Eh. Sorry. Gue lupa gue gak
punya batangan.
“Bukan
begitu. Saya kurang suka sama bau badannya. Memangnya Mbak gak cium bau badan
Mbak tadi? Puff, saya dari tadi duduk di samping dia saja tidak tahan. Mana
lama pula tadi kita lepas landasnya.
“Saya
sudah semprot parfum saya, tapi gak lama wanginya hilang. Kalah sama bau badan
dia.”
Gue
tercengang. Apah?? Pramugari bau badan????
“Aduh,
maaf Ibu. Saya tidak sadar. Coba nanti saya tegur ya, Bu. Terima kasih
masukannya.” Kata gue gelagapan. Gila aja mau negur. Masa iya gue bilang , ‘Dek, badanmu bau tuh! Penumpang complain!’
mana mungkin gue setega itu. Gue memutar otak supaya bisa ‘mewangikan’ Ningsih
tanpa membuat anak itu tersinggung.
Sekembalinya
Ningsih ke galley belakang, gue mulai mengecek apakah benar yang Ibu tadi
katakan. Gue sengaja mepet-mepet ke Ningsih dan mengendus-endus badannya
seperti anjing pelacak. Memang ada sedikit bau tidak sedap sih, tapi gak sebau
itu juga sampai harus dapat complain dari penumpang. Tapi penumpang Manado itu
memang rata-rata kritis. Lagipula sebagai pramugari kami memang dituntut harus
wangi setiap saat.
“Ningsih,
kamu ada parfum gak?” gue melancarkan ide gue yang pertama. Rencananya gue akan
pura-pura coba minta parfum dia dan minta dia untuk pakai dulu di badannya.
Cerdas bukan?
“Bukan
parfum sih, Mbak. Adanya ini. Saya kan baru sebulan terbang. Gajian juga belum
Mbak.” Jawab Ningsih sembari menyodorkan sebotol body mist Puteri berwarna Ungu
ke gue. Kejadian ini mengingatkan gue ke momen 3 tahun lalu, saat gue baru
sebulan terbang. Gue belum mampu membeli parfum seperti milik senior-senior
gue. Yang gue pakai saat itu hanya parfum karbitan yang dijual 50 ribu sebotol.
Gue tau rasanya diremehkan senior. Dan gue enggak mau melakukan hal yang sama
kali ini.
“Kenapa
kamu ga beli parfum aja? Kalau body mist kan cepet hilang baunya. Toh harganya
gak jauh beda kok, Ning. Parfum lebih tahan lama malah.”
“Biar
irit Mbak. Kan sekalian bisa buat semprot lavatory (toilet). Kalau parfum
dipakai semprot lavatory kan sayang. Lagipula ini sisa waktu kemarin masih
jaman trainning. Sayang kalau gak dihabisin.”
Gue
gak menyerah. Tercetus ide lain yang lebih brilian. Mengomentari dandanan
junior gak rapi lebih mending daripada ngomentarin bau badan mereka.
“Ya
udah. Eh, by the way sini deh aku rapiin dandanan kamu.” Gue merapikan alis dan
eyeliner Ningsih yang sedikit berantakan. Dan sentuhan terakhirnya gue
memakaikan parfum gue di badannya. Kebetulan parfum gue itu sudah mau habis.
Jadi gue menyodorkan parfum gue ke Ningsih.
“Ini
kamu pake dulu aja. Puteri-nya kamu pakai semprot lavatory kalau bau. Parfumnya
kamu pakai di badan. Nanti kalau udah gajian, kamu beli parfum sendiri. Yang
ini kamu balikin ke aku kalau sempat ketemu yaa…”
Maklum.
Gue orangnya kikir. Belinya pakai keringet sih. Jadi walaupun belum habis,
kalau gak kepake lagi mending parfumnya nanti dibalikin lagi aja ke gue.
Ningsih
tersenyum dan berterima kasih. Dia sama sekali gak sadar gue menyelamatkan dia
dari complain penumpang tentang bau badan yang sebenarnya gak seberapa itu.
Sampai sekarang gue belum bertemu kembali dengan Ningsih. Sebenarnya gue sudah
lupa juga dengan wajahnya. Maklum, kami hanya terbang dua leg dan gue bertemu
puluhan junior lain dan berganti-ganti setiap harinya. Ditambah lagi otak gue
masih pentium XP, jadi lumayan pikunan walaupun masih umur segini. Yang gue
ingat hanya Ningsih itu satu dari sekian banyak junior idaman gue. Pinter,
rajin kerja, gak neko-neko dan sopan. Itu aja.
Komentar
Anyway, parfum kakak merk apa ya? :)))))
tp jitu juga caranya, gk ngebuat si junior ini minder...salut :)
safe flight everywhere sai ^^
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
See, kita semua yg tau bgt sapa Yg dimaksud si bos, lgs kyk mW bunuh diri, krn anak yg disentil malah ga sadar bdnnya bau :D
saya aja yg keturunan manado walaupun besar di bekasi suka risih gitu sama ibu2 manado yg terlalu kritis kalo di pesawat soalnya gua kuliah di manado...
selama gua naik pesawat batik air belum pernah dapet airbus a320 selalu dapet boeing 737-900er ya udah bosen gua sama tu pesawat...hahaha
padahal gua naik batik semenjak ada a320...
tapi bagi gua apapun maskapainya full service atau lcc gua yakin pasti menerapkan first safety..
ijin share http://short8.net/bOpIH
mbak, kenalin kenalin ke gue dong.
ya ya yaaaaaaaaaaaa. #KedipinMata
mbak, kenalin kenalin ke gue dong.
ya ya yaaaaaaaaaaaa. #KedipinMata
iki blogg ku mbak:
http://notedcupu.com/
Salim nggeh.