Nothing's Gonna Change My Love On You-Glenn Medeiros
“I
might have been in love before, but it never felt this strong.”
Sinar mentari yang begitu terik memaksa masuk melalui
sela-sela tirai di kamar hotel yang mereka inapi. Arga mengerjapkan matanya perlahan.
Hari itu penerbangan mereka sangat singkat, hanya Jakarta – Surabaya dan
langsung menginap di hotel. Ia mengambil telefon kamar dan menekan nomor kamar
Allune yang sebenarnya hanya berjarak beberapa kamar disebelahnya. Ia tidak
bisa berpisah terlalu lama dengan gadis itu, Allune sukses membuat seorang Arga
Malligan kelimpungan layaknya ABG yang sedang merasakan cinta monyetnya.
“Hallo, lagi tidur ya?” ujarnya sedikit merasa bersalah
karena mendengar desahan kantuk diseberan telfon.
“Iya, siapa nih?” jawab suara itu sedikit jutek karena
tidurnya terganggu.
“Arga. Ya sudah kamu tidur lagi aja. Aku Cuma kepikiran,
dan apa ya namanya? Emm… kangen.”
“….” Arga menunggu cukup lama hingga ia berpikir Allune
kembali tertidur atau pingsan setelah ia telfon.
“Capt… Ini
Dean.”
Arga kaget, rupanya ia salah menelfon kamar Dean, salah
satu pramugari lain yang ikut di penerbangan mereka. Setengah gugup ia langsung
mematikan telfon dan menekan kembali nomor kamar Allune yang hanya beda satu
nomor dengan kamar Dean. Baru saja ia mendengar nada sambung di telfonnya, ada
ketukan nyaring di pintunya. Awalnya Arga memilih untuk tidak menghiraukannya,
namun setelah sebuah suara pelan memanggil namanya, ia langsung bersemangat
membuka pintu.
“Hai!” sapa Allune ceria. Ia menerobos masuk dan membuka
tirai lebar-lebar. Arga memicingkan mata untuk beradaptasi dengan kamarnya yang
kelewat terang.
“Aku baru saja menelfon ke kamar kamu, tapi gak ada yang
angkat. Ternyata kamu kesini. I miss you.”
Akhirnya kata-kata itu meluncur dengan lancar. Allune tersenyum manis begitu
mendengarnya. Ia berjalan kearah Arga dan mengecup pipi pria yang tingginya
hampir 2 meter itu. Ia butuh sedikit menjijit untuk menggapainya.
“Thankyou. For
missing me.” Arga mendekapnya erat, agar gadis itu merasakan hangat
tubuhnya.
“Aku laper. Kita cari makan yuk?” ajak Allune yang segera
disambut persetujuan Arga. “Tapi aku mau makan di Padin, aku gak tau kamu suka
pedas atau enggak, tapi aku pengen banget kesana.”
Arga sangat membenci masakan pedas. Ia bahkan tidak
terlalu menikmati masakan Indonesia yang terlalu berbumbu. Karena cukup lama tinggal
di luar negeri, terutama di Jepang, ia justru lebih menikmati makanan setengah
matang atau bahkan sajian yang masih mentah. Namun demi menyenangkan Allune, ia
tak kuasa menolak.
Arga segera bergegas, ia tidak sempat membasuh wajahnya
apalagi sekedar menyikat gigi. Allune sudah buru-buru menarik tangannya karena
terlalu lapar. Mereka memanggil taksi dan mengatakan tujuan mereka ke sebuah
rumah makan yang sangat terkenal di kalangan aircrew.
“Kamu udah pernah ke Padin? Memangnya buka? Ini kan baru
jam 10.” Arga terlihat ragu, Mall saja baru buka jam segini.
“Padin buka 24 jam tau, Capt. Belum pernah kesana ya? Endeeessss
bingits!” jawab Allune diikuti
jempol kanannya yang teracung tepat di depan wajah Arga. Pria itu terkekeh geli
mendengar bahasa alay yang Allune gunakan. Jelas saja kata-kata tersebut aneh
di telinganya. Ia sudah kepala 3, mengarah kepala 4 malah. Rasanya bahasa alay
itu sungguh kekanakan. Namun ternyata ia justru jatuh cinta dengan gadis yang
kekanak-kanakkan disebelahnya.
“Dasar alay. By the
way, aku gak mau dipanggil Capt lagi
sama kamu. Sounds weird, panggil Arga
aja.”
“Oom Arga aja gimana? Kita kayaknya beda 10 tahunan deh,
gak sopan banget aku manggil kamu nama doank.”
“Yah, meski kita beda 17 tahun, tapi gak dipanggil Oom
juga kali.“ Allune terdiam. 17 tahun? Ia dan Sean juga berjarak sejauh itu.
“Even we kissed
last night, it means nothing today. Lagipula kamu tau umurku darimana?”
Allune mendadak menaikkan suaranya, ia gusar mengetahui bahwa umur Arga
sepantaran dengan Sean. Akan ada berapa kemiripan lagi diantara mereka?
“Pernah denger istilah, pria yang jatuh cinta akan
menjadi mata-mata rahasia untuk mengetahui semua hal tentang wanitanya? I’m the fall in love man, and I will be an
FBI for that.”
Arga menggenggam jemari Allune yang terasa kaku. Allune
berusaha untuk melepaskan jarinya, namun tatapan itu, lagi-lagi membuatnya tak
bisa menahan diri. Kalau saja mereka tidak sedang di dalam taksi, mungkin
adegan berikutnya akan dipenuhi dengan cumbu dan desah nikmat diantara mereka.
Maka Arga memeluknya dan Allune menyambut pelukan itu.
“Aku gak tau kemarin berarti apa untuk kamu. But for me? It means everything. I love you. At the first sight.”
Arga berhasil mengendalikan Allune yang sempat lepas
sebentar dari kendalinya. Ia sudah mengetahui masalah terbesar gadisnya dalam
mengendalikan suasana hati. Bukannya mundur, sejak mengetahuinya Arga malah
semakin bersemangat untuk mendapatkan Allune. Pertama kali Arga melihatnya di
club, Allune sudah begitu menarik perhatian dengan kecantikannya. Namun bukan
itu yang membuat Arga menghampirinya. Wanita cantik sudah terlalu biasa
baginya. Mata yang dirundung kesedihan dan keputus-asaan itu masih memaksakan
diri menari dan mengangkat Margaritanya. Pemandangan itu sungguh memilukan dan
Arga entah mengapa dibuat begitu penasaran akan masalah apa yang membuat mata
itu terlihat sebegitu menderita.
Sifat dinginnya terhadap wanita tiba-tiba lenyap saat ia
berdiri di samping Allune. Malam itu dengan nekat ia melingkarkan tangan di
pinggang ramping sang gadis, dan menyapanya.
“Hai, kamu
baik-baik saja? Aku rasa kakimu sudah tidak kuat lagi berada di lantai dansa
ini.”
Dan kalimat itu diikuti sebuah hening yang cukup panjang,
hingga kemudian insiden itu terjadi.
“Kak…
Aku… A-aku… minta ma-Hoooeeekkkk!!!!”
***
“Aku minta maaf banget Capt buat
kejadian ini, biasanya Allune kuat kok minumnya. Kenapa kali ini jadi kaya
ababil ya, aku kurang tau.” Ishani tidak sepenuhnya berbohong, sahabat baiknya
memang jagoan dalam urusan angkat gelas. Tapi itu sudah lebih dari 3 bulan
berlalu sejak Allune memutuskan untuk berhenti minum dan bergantung pada
shabu-shabu. Kedua benda tersebut sudah tidak cukup kuat untuk menenangkan
hidupnya. Allune mengikuti saran darinya untuk mengikuti therapy ke psikolog.
Untuk beberapa saat Allune menikmatinya, namun lama-lama Allune justru merasa
therapy itu menyiksanya. Alih-alih merasa tenang, ia malah semakin merasa
depresi dan tersiksa oleh rasa bersalah. Kesalahan terbesar yang ia lakukan
adalah mengusir Sean pergi dari hidupnya. Untuk selamanya.
“It’s
okay. Selain kenyataan bahwa pertemuan pertama kami tidak mengenakkan, aku
rasa tidak ada hal lain yang harus dimaafkan.” Arga mengibaskan tangannya untuk
mempertegas bahwa ia tidak mempermasalahkan jas mahalnya dikotori dengan
muntahan orang lain.
“God,
kamu, eh maksudku, Captain mirip
sekali dengannya! Mirip sekali dengan Sean,” sedetik kemudian Ishani menutup
mulutnya. “Maaf Capt, lupain aja!”
Arga tidak dapat menyembunyikan rasa
penasarannya. Ia menggunakan keahliannya untuk mempengaruhi orang dan
membiarkan mereka dibawah kendalinya.
“Nope,
tell me. Who is this guy? Her ex?” Ishani menggeleng cepat.
“Bukan. Dia justru mantanku. Kakak
tiri Allune. Baru meninggal 3 bulan lalu. Ada sedikit masalah diantara mereka
dan aku rasa itu bukan hak Captain untuk
mengetahuinya.” Ishani enggan menceritakan peristiwa itu, selain memang terlalu
pedih untuk dikenang, Arga memang tidak berhak untuk mengetahuinya.
“Well,
kamu benar. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan gadis yang aku
sukai. Aku tidak berhak tau, tapi jika suatu saat nanti kami berhubungan, aku
harus tahu aku mengobatinya dari apa. Ia terlihat begitu terluka, and I have no idea luka itu karena apa
atau karena siapa.”
Ishani mendesah panjang,
menimbang-nimbang apakah keputusannya untuk menceritakan kisah ini tepat atau
tidak. “How do you know that you love
her? Trust me, Allune tidak pernah jatuh cinta kecuali dengan Sean. Captain bakal kecewa suatu saat nanti.
Mereka terlalu tidak terpisahkan. Cinta yang begitu sempurna, tulus. Lebih dari
cinta orangtua kepada anak-anak mereka. Aku tidak pernah melihat cerita cinta
yang lebih indah dan murni dari ini. Orang-orang menyebutnya dengan istilah
kejam seperti brother or sister complex.
Kenyataannya mereka hanya saling memberi cinta antara kakak dan adik, karena
mereka tidak memiliki keluarga lain. Mereka hanya memiliki satu sama lain.”
“Kalau mereka memang sebegitu
indahnya, kenapa aku bisa melihat kesedihan dimatanya?”
“Karena mereka berpisah. Sebelum
perpisahan itu, mereka baik-baik saja. Kalau Captain melihat kesedihan, itu karena setelah sekian lama mereka
akhirnya berpisah. Selamanya.”
“Sean…meninggal?” tebak Arga to the point.
“Kecelakaan mobil di Cipularang.
Setelah mereka bertengkar hebat di malam yang sama.” Detik berikutnya, seperti
air, sejarah luka itu mengalir begitu saja melalui Ishani. Bagaimana dulu ia
dan Sean diam-diam menjalin hubungan namun dengan terpaksa ia putuskan sepihak
karena merasa tidak adil pada sahabat yang sangat menyayangi kakaknya itu.
“Allune pernah berkata, ‘aku tidak akan memaafkan wanita yang
main-main dengan Kak Sean.’ Jadi sebelum ia mengetahuinya, aku langsung
memutuskannya.”
“Jadi dari awal kamu memang
mempermainkan Kakaknya? Well, jujur
saja, kamu tidak terlihat seperti itu. Tapi mungkin memang benar ungkapan don’t judge a book by its cover ya?”
“Aku sama sekali tidak berniat untuk
mempermainkannya. Hanya saja, kami berbeda agama. Aku seorang muslim dan Sean
katolik sejati. Suatu saat kami memang akan berpisah, aku hanya mempercepatnya.
Dan aku takut jika Allune mengetahuinya ia akan salah paham dan persahabatan
kami hancur. Ia adalah sahabat terbaikku yang berharga. Aku tidak ingin
kehilangan seorang sahabat hanya karena hubungan yang jelas tidak bisa mengarah
ke pernikahan.”
Arga menyesap kopinya sebelum
kemudian beranjak pergi. Hubungan Sean dan Ishani mengingatkannya pada moment
dalam hidupnya yang paling ingin ia lupakan, “sudah malam. Sebaiknya aku pulang
sekarang. Aku menulis nomor telefonku di note atas TV, siapa tau kamu
membutuhkan bantuan.By the way, aku
serius mengenainya. Kalau kamu mau membantu, aku akan sangat berterima kasih.
Sampai jumpa!”
Klek. Arga menutup pintu. Ishani
membaca note yang sengaja Arga tinggalkan di atas TV saat ia membuatkan teh
untuknya di dapur.
“Arga
Malligan : 085-792-362-405… Baiklah!”
***
“Sayang sekali penerbangan kita
harus dipotong karena delay di Surabaya menuju Jakarta membuat penerbangan dari
Jakarta ke Semarang harus dijalankan crew lain.” Kata Arga kesal. Tentu saja
kesempatan PDKTnya dengan Allune jadi berkurang hari itu dan ia harus request
schedule lain agar Allune bisa terbang bersamanya lagi.
“Aku sih gak masalah, toh aku jadi
bisa istirahat di apartment. Mudah-mudahan scheduleku besok gak ada yang ganggu
gugat Cuma karena ada yang mau terbang bareng lagi,” sindir Allune seolah
mengetahui rencana Arga yang pasti nantinya akan sengaja request terbang
bersama.
“Sedihnya. Ternyata aku bertepuk
sebelah tangan,” Arga mengerutkan wajahnya agar terlihat sedih. Allune yang
melihat expresi wajah Arga yang lucu itu menjawil pipinya dengan gemas.
“Daripada susah payah request
terbang bareng, kenapa gak ngedate di Jakarta aja? Kita bisa ke Menara BCA
besok malam. Toh aku jadi standby dua hari untuk besok dan lusa.” Ajakan Allune
langsung membuat Arga bersemangat.
“Tapi sebelumnya kamu mau aku ajak
ke sebuah tempat, deal? Besok sore
aku jemput jam 6. No compromise.”
Arga memanfaatkan kesempatan itu, mumpung Allune memberinya jalan, ia harus
melakukan pendekatan ekstrim seperti yang Ishani sarankan.
“Sebenernya
ini gambling banget Capt. Kalau Allune memang punya perasaan sama Captain, dia
pasti mau. Kalau engga, ya pasti langsung ditolak. Walaupun keliatan hardcore
begitu, Allune punya impian layaknya putri-putri raja. Romantis dan kekanakan. Kalau
Captain bisa melakukan itu secepatnya, hasilnya akan kelihatan lebih cepat kan?
Jadi Captain bisa memutuskan untuk menyerah atau mungkin beruntung bisa
berbahagia dengannya.” Begitulah saran dari Ishani saat Arga menelefonnya
untuk meminta pendapat. Arga mengenal Allune kurang dari seminggu, namun ia
yakin akan perasaannya. 39 tahun hidupnya dihabiskan dengan bersenang-senang
dengan wanita, namun tak satupun diantara mereka yang cukup beruntung untuk
mendapatkan cintanya. Sejauh ini, selain Allune, baru satu gadis yang berhasil
membuatnya jatuh cinta. Andina Norma. Namun gadis itu meninggalkan Arga saat
Arga benar-benar menyatakan niat seriusnya.
Arga memejamkan matanya. Badannya ia
biarkan terbaring telentang di atas tempat tidur. Rencananya besok sore
bagaimanapun juga mengingatkannya dengan lamaran pertamanya 2 tahun yang lalu,
“Kita sudah 3 tahun tinggal bersama,
bukankah lebih baik kita menikah?” sambar Arga spontan saat mereka sedang
menikmati dinner perayaan anniversary ketiga mereka. Andin sampai tersedak
kaget dibuatnya.
“Maksudmu? Kamu tahu dari awal itu
tidak mungkin, kita berbeda.” Jawab gadis itu datar.
“Aku sudah memikirkannya baik-baik.
Kita bisa menikah di luar negeri, aku tidak masalah dengan pernikahan beda
agama. Orangtuaku sudah lama meninggal, aku rasa tidak ada yang akan mempermasalahkannya.”
“Lalu apa kamu lupa dengan
orangtuaku? Keluargaku?”
“Kalau kamu memang tidak ingin
menikah, kenapa kamu menerimaku waktu itu? Kenapa kamu mau tinggal bersamaku
selama 3 tahun ini?”
Andin menarik nafas panjang,
akhirnya saat ini datang juga. Ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi,
hanya saja ia tidak menyangka momen ini datang lebih cepat. “Arga, aku
menerimamu karena tahu kamu pria seperti apa. Dan kamu tahu, aku wanita seperti
apa. Kita adalah jenis manusia yang tidak mengenal cinta sejati, pandai
menikmati hidup dengan cara yang sama dan apa yang kita jalani selama 3 tahun
kemarin tidak lain dari kesenangan masa muda saja. Aku tahu kamu bukan tipikal
pria yang ingin cepat terikat, makanya aku menerimamu saat itu. Betapa indahnya
bisa menjalani hari-harimu dengan seorang pasangan yang sangat mengerti aku,
memiliki gaya hidup yang sama, even
sometimes we have a same thought! Tapi…kita tidak mungkin menikah. Kamu
harusnya sudah tahu itu dari awal. Meski aku bukan sosok relijius, aku sangat
menghormati orangtuaku. Aku tidak mungkin mengkhianati mereka. Aku sangat
nyaman hidup bersamamu, kita partner yang sangat serasi. Tapi hidup bersama
tidak sama dengan menikah, aku belum siap untuk itu. Aku belum siap untuk
menyakiti perasaan keluargaku, hanya demi kamu.”
Arga terlihat sangat terpukul dengan
jawaban yang Andin berikan. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapati
jawaban sedangkal itu. Selama ini ia mengira bahwa pertemuannya dengan Andin
adalah akhir dari pencariannya. Dan ia dibutakan dengan pemikirannya sendiri
bahwa Andin merasakan hal yang sama.
“Berarti… begini akhirnya?” Arga
memaksakan dirinya untuk tersenyum. Di sudut hatinya masih ada harapan bahwa
Andin akan memilih untuk berjuang bersamanya daripada mengakhiri hubungan
mereka.
“Kalau itu mau kamu. Ya. Ini
akhirnya…” kalimat itu membuat lidah lelaki itu kelu. Tangannya yang kekar
mendadak lemas hingga menjatuhkan sebuah kotak beludru yang sedari tadi
digenggamnya. Kotak cincin yang sudah ia siapkan sebulan sebelumnya untuk hari
ini. Andin memperburuk suasana dengan langsung meninggalkan restoran. Tidak
hanya itu, saat itu juga ia mengepak barang-barangnya dan pergi dari kehidupan
Arga.
-to be continued
Komentar
Ditunggu juga buku pramugelo-nya! *posisi siap ancang-ancang lari ke gramed*