'Terima Kasih Ibu'

            Berapakah usia anda saat ini? Mungkin rata-rata reader blog saya ini berusia belasan hingga 30 tahun. Dalam 10, 20 atau 30 tahun masa hidup anda, berapa kalikah anda pernah berterimakasih pada Ibu anda atas kesempatan luar biasa untuk hidup selama itu? Percayakah anda jika saya mengatakan bahwa saya belum pernah sekalipun berterimakasih pada Ibu saya? Tidak? Baiklah. Saya akan bercerita suatu kisah tentang bagaimana hal itu bisa terjadi.
            Hubungan saya dan Ibu sedari dulu memang agak aneh. Kami seringkali bertengkar namun cepat pula berbaikan. Kalau sudah lama tidak bertengkar, salah satu dari kami akan mencari-cari alasan agar bisa bertengkar. Bagi saya, rumah tidak berasa rumah kalau tidak ada suara fals Ibu saya yang melengking di dalamnya. Mungkin karena seringkali bertengkar itulah saya menjadi tidak begitu sentimentil terhadapnya.  Gengsi lah, masa anak metal macam saya menangis tersedu-sedu di hari Ibu untuk meminta maaf dan berterima kasih? Ibu saya bisa tertawa sambil kayang kalau saya sampai mau melakukannya.
           Ketika beliau berulangtahun saja, saya memang menabung untuk memberi kado yang beliau butuhkan. Karena Ibu saya adalah seorang Guru yang rambutnya biasa di ikat, saya dulu pernah memberinya hadiah pita model jepit yang biasa dipakai guru-guru saya disekolah. Pernah pula karena Ibu saya bertambah gendut, saya memberikan hadiah daster dan baju batik baru untuknya. Namun dari sekian hadiah yang pernah saya beri, tidak satu ucapan manispun berhasil saya sampaikan untuknya. Biasanya saya meletakkan kado di meja makan dengan note singkat dan buru-buru sekolah. Sepulangnya saya berpura-pura tidak terjadi apapun walaupun saya setengah mati penasaran apakah beliau menyukai hadiah saya atau tidak?
            “Selamat ulangtahun, Buk. Panjang umur, sehat selalu, lancar rejekinya, amin.” Itulah ucapan klasik yang selalu saya ulang tiap tahunnya. Persis, tidak pernah berubah. Padahal banyak hal yang ingin saya katakan. Bahwa setiap kali kenakalan saya membuatnya menangis, saya selalu mengutuk diri saya sendiri. Bahwa setiap kali saya melawan kata-katanya dengan nada tinggi, tenggorokan saya rasanya sakit sekali. Kata-kata saya yang harusnya menyakiti perasaan Ibu ternyata juga menyakiti saya lebih dan lebih. Karena apa? Karena saya dan Ibu sama. Watak, sifat, keinginan, ego, pola pikir, semuanya sama. Namun kerasnya hati saya menahan bibir itu mengucap maaf. Maka setiap kali bertengkar, saya akan mengakhirinya dengan adegan membanting pintu atau yang lebih parah, kabur dari rumah. Mungkin kalian para orangtua yang membaca tulisan ini ingin agar saya segera diruwat saja, tapi syukurnya Ibu saya tidak sedepresi itu. Beliau memberi saya waktu untuk menikmati tiap proses pendewasaan diri yang akan saya lewati.
            Namun seperti siklus kehidupan bahwa manusia akan mengalami fase-fase dari kandungan menjadi bayi kecil yang lucu, kemudian menjelma menjadi balita yang aktif, lalu berubah menjadi anak-anak nakal yang menggemaskan, dan beranjak menjadi anak remaja yang menyebalkan, pada akhirnya mereka selalu akan mencapai titik pendewasaan dirinya. Setamat SMA, saya berhasil menggapai titik itu. Lebih cepat dari anak-anak seusia saya memang, mungkin pengaruh saya yang sudah terbiasa bekerja dengan orang dewasa sedari SMA.
            Tidak seperti anak-anak lain yang memaksa Orangtuanya untuk menyekolahkan mereka di universitas yang mereka inginkan, ketika orangtua saya berkata bahwa mereka tak mampu membiayai saya di universitas yang saya inginkan, saya langsung berinisiatif untuk langsung mulai bekerja. Toh ujung-ujungnya orang kuliah kan memang untuk cari kerja, jadi tidak masalah kalau saya curi start lebih dulu bukan?
            Maka di Januari 2012 saya terdampar di Jakarta, kota besar dengan ratusan gedung puluhan tingkat yang hanya bisa saya lihat di TV-TV kini ada di depan mata. Dan pesawat yang dulu hanya bisa saya lihat dari bawah ketika melintasi kampung saya menuju bandara Ngurah Rai, kini menjadi tempat kerja saya sehari-hari. Untuk pencapaian itu, saya sangat berbangga kepada diri saya. Saya bisa bekerja, membantu ekonomi orangtua sekaligus membuat mereka membanggakan saya kepada para tetangga dan teman kerja mereka. ‘Anakku ini jadi pramugari lo di Jakarta!’ begitulah kira-kira yang selalu mereka katakan setiap kali mengenalkan saya pada teman-teman mereka. Saat itu saya kira saya tidak akan pernah membuat Ibu menangis lagi. Setelah pencapaian besar ini, apa yang bisa menggantinya dengan airmata?
            Tahun demi tahun berlalu, saya bertemu lelaki yang sepintas lalu mirip Kakak pertama saya yang sudah meninggal. Saya jatuh cinta dan kami memutuskan menikah meskipun berbeda keyakinan. Ya… Setelah 3 tahun, akhirnya saya melihat Ibu saya kembali menangis. Kecewa? Mungkin. Saya menikah di usia muda. Sedih? Pasti. Meskipun sering bertengkar, saya adalah anak yang paling dekat dengannya. Baginya mungkin pernikahan saya adalah sebuah perpisahan bahwa ia tidak akan bisa lagi bertemu anak gadisnya (yah benar juga sih, setelah menikah kan saya sudah pasti tidak gadis lagi).
            Saya terus memikirkannya bahkan setelah menikah. Saya ingin meminta maaf karena seringkali membuatnya menangis. Dan yang paling penting, sebelum saya benar-benar terlambat, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kehidupan luar biasa yang telah Ibu saya berikan. Kerasnya didikan Ibu membuat saya tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Perhatian yang seringkali tersembunyi dibalik lengking 7 oktafnya saat memarahi saya membuat saya menjadi memiliki sifat penyayang sekaligus tegas. Ah… rupanya saya sangat menyayangi Ibu.

            “Ibuk maaf… Kali ini saya baru bisa mengucapkannya lewat tulisan. Saya mungkin lebih pintar merangkai kata daripada bernarasi di hadapanmu. Suatu saat nanti, kita pergi berlibur ya, Buk. Kita akan melakukan kegiatan Ibu-dan-anak-perempuan normal lainnya, belanja bareng, ke salon bareng, ngegossip bareng, dan hal-hal seru lainnya. Gak usah pergi jauh-jauh. Padahal kan kita tinggal di Bali, tapi gak pernah sekalipun kita jalan-jalan menikmati pulau ini. Saat itu, saya janji, saya akan berterimakasih secara live di depan Ibu. Ah, pasti Ibu akan mengira saya berbohong? ‘Anakku itu mau bermanis-manis di depanku? Mana mungkin!’ pasti itu yang Ibu pikirkan bukan? Tenang, sebelum Metallica konser pakai rebana, saya akan mewujudkannya. Tunggu ya Bu…”           

Komentar

Unknown mengatakan…
huaaaa...saya tidak tau harus berkomentar bagaimana.. tapi harus sabar ikhlas dan terus maju..karena mba Radinna memposting tentang IBU.. ibu adalah segalanya bagi aku mba..

btw...
kunjungi blogspot kami jg yaa.. semoga bermanfaat juga untuk anda sperti blog ini bermanfaat untuk saya.
Terima Kasih..
Proses pembuatan
seragam batik solo printing

Proses pembuatan seragam batik tulis solo
Unknown mengatakan…
Bikin gue nangis bombay ka dinna :'( gue juga ngerasa gitu ke mama..
Ain Mungil mengatakan…
Ini dalem banget..
This reminds me of myself,
how I used to make her cry.. pretty often.
Ron mengatakan…
Aku anak 20an tahun dengan wajah 40an tahun dan hati anak belasan tahun. :p
Soal Ibu, memoriku mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Aku anak kurang beruntung yang tidak berkesempatan membahagiakan Ibunya.
Kuharap para pembaca tulisan ini lebih membahagiakan lagi Ibu mereka :)

Postingan Populer