RIngkasan Perjalanan Cuti di Tahun 2015
Dari
tanggal 15 Januari sampai tanggal 31 Januari kemarin gue menghabiskan
jatah cuti tahunan gue. Postingan kali ini (sebagai bayaran atas janji gue)
akan membahas secara singkat dan ringkas dari liburan gue kemarin. Penasaran?
Enggak? Yah... Jangan gitu donk, susah payah nih ngetiknya. Besok subuh gue ada
tugas terbang pula. Tetep dibaca ya? Okehsip.
Gue untuk pertama kalinya naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Jogjakarta pada
tanggal 15 Januari 2015. Dengan backpack yang biasa dipakai untuk naik gunung
dan modal nekat, gue berangkat dari stasiun Senen dan tiba sekitar 7 jam
kemudian di stasiun Tugu. Sesampainya disana, gue bingung sendiri karena tidak
ada yang menjemput. Gue melihat peta jarak dari stasiun Tugu ke daerah Timoho
sejauh apa untuk menentukan apakah gue akan naik becak atau ojek motor.
Ternyata cukup dekat, maka pilihan gue jatuh ke becak. Selain bisa menikmati
jalanan Jogja di pagi hari dengan tenang tanpa deru motor yang berisik, gue
memang ingin mencoba hal-hal yang berbeda saja.
Backpack ini beratnya 12 kilo, tapi masih kalah sama Cooper yang beratnya udah di atas 15 kilo. |
Pemandangan sesaat sebelum gue tiba di Jogja. |
Dari Tugu ke Timoho naik becak cuma 30 ribu. |
Tujuan ke
Jogja? Jalan-jalan. Gue butuh jeda antara Jakarta dan Bali. Gue berkunjung ke
sekolah pramugari gue dulu dan numpang menginap semalam di sana. Gue juga
menyempatkan diri mampir ke pabrik bakpia pathuk 25 dengan diantar sahabat lama
gue, Nanda. Kemudian gue, Andri, Nanda dan pacarnya, nongkron di J.co Ambarukmo
Plaza untuk ngobrol-ngobrol. Gue melakukan semacam terapi nostalgia, mengingat
hal-hal menyenangkan yang pernah gue lalui dan mencoba petualangan baru yang
dari dulu ingin gue coba sendirian. Terapi ini cukup sukses karena kondisi galau
gue sehari setelah bermalam di Jogja gak separah saat gue di kereta.
Keesokan
harinya, tanggal 17 Januari 2015 gue memutuskan naik pesawat ke Bali. By the
way, meskipun Air Asia sedang tertimpa musibah dan isunya jumlah penumpang
mereka berkurang, gue tetap menggunakan Air Asia untuk perjalanan gue dari
Jogja ke Bali. Gue sengaja tidak menggunakan konsesi alias tiket gratis tahunan
gue karena gue ingin mencoba airlines lain, tidak lagi-lagi harus diingatkan
dengan perusahaan gue sendiri. Pokoknya cuti tahun ini gue ingin benar-benar
lupa dengan jati diri gue sebelumnya yang hidup di Jakarta dan bekerja sebagai
pramugari. Kali itu gue ingin menjadi seorang Radinna,seorang pengangguran yang
travelling sendirian.
Sesaat sebelum keberangkatan dari Jogja menuju Bali. Abaikan mata gue. |
Gue tidak
lagi menggunakan jalur darat karena punya janji hari itu dengan Bada. Dia
adalah Kakak sepupu gue yang kuliah di Denpasar dan kerja freelance sebagai
asisten videographer. Gue punya niatan setelah kontrak terbang gue habis, gue
akan beristirahat barang beberapa bulan. Ntah lah, gue merasa gue butuh ruang
yang lebih banyak untuk menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang gue
senangi. Salah satunya adalah mendalami kembali dunia lama yang telah gue
tinggalkan yaitu teater dan film pendek. Berhubung sudah hampir 4 tahun gue
tidak menyentuh keduanya, maka gue butuh pemanasan dengan ikut Bada dan
mempelajari kembali videography. Hari itu gue ikut Bada shooting acara sweet
seventeen birthday yang kalau bisa gue bilang lebih mewah dari kawinan gue
dulu. Ck.
Setelah shooting acara ulangtahun yang
diadakan di hotel Fontana itu selesai, gue, Bada, Nara dan Angga pergi ke Sky
Garden yang lokasinya bersebelahan dengan monument bom Bali. Ah, tidak lupa
adik sepupu gue Rahadi yang akhirnya nimbrung dengan kami. Sudah 1,5 tahun gue
tidak pernah main ke club malam. Gue memutuskan tidak lagi ke club di Jakarta
karena selain mahal, kita harus berdandan seheboh mungkin. Sedangkan di Sky,
gue bisa datang dengan modal tanktop dan hotpants bahkan tanpa bulu mata anti
badai andalan gue. Ah, Bali memang sangat menyenangkan! Gue bisa menjadi diri
gue sendiri dan tidak perlu malu sehingga harus menyembunyikannya.
Yang gue pegang ini namanya Slider. |
Gue menjadi photografer dadakan buat Ko Andi. |
Gue baru
kembali jam 4 subuh, sedangkan jam 8 subuh gue sudah harus bangun lalu ikut
lagi dengan Bada dan bosnya, Ko Andy, untuk shooting video clip dan mengambil sweet-shoot
(istilah yang Ko Andy gunakan untuk pemotretan sebelum pernikahan). Hari itu
gue full-time wara-wiri dengan waktu istirahat yang minim, tapi anehnya gue
sama sekali tidak merasa terbebani. Gue senang. Setidaknya dalam satu hari itu
gue sama sekali tidak ingat bahwa gue punya beberapa masalah yang harus gue
tahan-tahan dan kemudian perlahan menjadi bangkai di dalam hati gue.
Saat gue
mengambil sweet-shoot, gue memperhatikan pasangan Chris dan Mercy yang sangat
canggung di depan kamera. Mereka bisa sangat mesra saat kamera sedang tidak
mengarah pada mereka, namun mereka langsung berubah menjadi kaku begitu Ko Andi
menyorot mereka berdua. Gue melihat mereka dengan tatapan yang entah apa
namanya. Sedikit rasa iri mungkin karena dulu gue memutuskan untuk tidak
melakukan photo pre-wedding. Dan sedikit rasa bersalah. Pernikahan, sesederhana
apapun acaranya, sangat berharga. Mereka telah melalui serangkaian proses yang
tidak mudah. Mereka menghabiskan waktu untuk melawan ego masing-masing dan
bertoleransi terhadap kekurangan pasangan. Untuk sampai ke jenjang pernikahan,
tidaklah semudah ketika kau menjentikkan tangan dan berkata ‘menikah’ sembari
satu tangan lagi mengayun tongkat ibu peri. Gue sudah menikah. Gue sudah
melalui proses sulit sebelumnya. Dan yang harus gue lakukan untuk mendapat
kebahagiaan yang gue inginkan adalah dengan bertahan.
Ko Andi, Chris dan Mercy. |
Beberapa
hari kemudian gue habiskan dengan berkunjung ke rumah keluarga lain, ke desa Bapak
dan sisanya gue habiskan dengan mendekam diri di rumah. Gue tidak akan keluar
rumah kecuali untuk latihan mengemudi atau ada teman yang mengajak pergi. Gue
membaca novel dan menghabiskan waktu dengan mendengar lagu. Kondisi galau gue
menjadi jauh lebih parah bahkan sebelum gue berangkat ke Jogja. Akhirnya di
tanggal 24 Januari gue memutuskan untuk kembali ke Denpasar dan jalan-jalan
bersama Utik (pacar adiknya Bada) dan David (sahabat lama yang juga temen
kuliah Bada). Gak lupa gue pergi bareng Darcit dan pacarnya, junior gue yang
lagi liburan di Bali. Trus ada juga Dea, temen seangkatan Darcit, Jimmy dan
Alo, buah hati mereka. Kami pergi ke pantai Double Six, berbelanja di Seminyak
dan kemudian nongkron cantik di Potato Head.
Gue dan David menggendong Alo. |
Ekspresi gue ketika Alo kentut. |
Berhubung
Jordan, pacarnya si Darcit ini kaya binggo, dialah yang menjadi sponsor utama
acara jalan-jalan kami. Termasuk mentraktir kami semua. Seolah mengerti, Jordan
memesan berbotol-botol minuman untuk kami semua. Gue berhasil tepar dan muntah
beberapa kali yang sama sekali gak gue ingat. Mereka bilang keadaan gue malam
itu mengenaskan, menangis beberapa kali, tertawa kemudian menangis lagi.
Ntahlah, mungkin mereka berlebihan. Yang jelas gue merasa kepala gue lebih
ringan keesokan harinya. Ntah kenapa, beban berat yang belakangan ini gue bawa
kemana-mana menghilang begitu saja. Yah, orang punya cara masing-masing untuk
menikmati hidupnya.
Kemudian
gue kembali ke Bali dengan kondisi jauh lebih baik. Akhirnya gue bisa dengan
lebih tenang kepada Ibuk tentang semua masalah yang sedang gue hadapi. Ibuk
bersikap netral, tanpa menghakimi, tanpa emosi. Sikapnya sangat meneduhkan,
membuat gue ingin terus menerus ada di pelukannya.
Tanpa
terasa waktu berlalu. Cuti tahunan gue sudah harus berakhir. Gue kembali ke
Jakarta dengan perasaan yang lebih lapang, dengan hati yang lebih bersih dan
dipenuhi oleh cinta dan dukungan orang-orang sekitar. Rasanya berat sekali
meninggalkan Bali. Seandainya bisa, gue ingin lebih lama lagi disana. Bahkan
kalau bisa, tidak usah kembali ke Jakarta. Tapi gue masih punya tanggung jawab
dengan kontrak kerja gue yang tinggal 3 bulan lagi.
Sesampainya
gue di bandara, ternyata gue datang 1 jam lebih awal dari waktu check in. Gue,
Ibuk dan Bapak duduk lesehan di depan pintu keberangkatan. Dulu gue hanya
melihat penumpang gue yang leyeh-leyeh disana. Sekarang, alih-alih nongkrong di
starbuck atau semacamnya, gue lebih milih ngampar aja sambil pakai wifi
gratisan. Awalnya Ibuk sempat protes, “masak pramugarinya lesehan disini sih?
Gak malu apa?” lalu dengan cueknya gue jawab “ah elah, yang penting gratis Buk.
Gak diusir juga kan? Ya udah.”
Bapak dan
Ibuk hanya bisa tertawa melihat anak gadisnya yang masih cuek dan tengil
seperti saat gue remaja. Gue merebahkan diri di pangkuan Ibuk. Seperti biasa,
Ibuk akan mengelus rambut gue dan berpura-pura mencari kutu di antara rambut
gue yang pirang ini. Kami mengobrol sambil sesekali memperhatikan aircrew yang lewat di depan kami.
“Gek kamu
gak malu kalo jalan di bandara diliatin gitu sama orang-orang?” tanya Ibuk
tiba-tiba. Gue menggeleng.
“Urat malu
Ugek udah putus dari kapan tau, Buk.”
“Iya sih,
yang ada kamu pasti bangga ya? Ibuk juga, Gek. Kalo dimana aja ada yang cerita
tentang kamu, ntah karena kamu jadi pramugari atau entah karena kamu mau
nerbitin buku, Ibuk pasti nyengir kesenengan. Dada Ibuk rasanya sesak, tapi
bukan karena asma. Karena rasa bangga Ibuk ngeliat anak gadis Ibuk udah mandiri
dan sukses, tapi masih inget sama keluarganya. Kan banyak tuh yang udah sukses
trus lupa sama orangtua.
“Gitu
perasaan seorang Ibu, Gek. Bahagianya baru bertahun-tahun kemudian. Pas kamu
lahir ya Ibuk bahagia. Tapi ada perasaan cemas, khawatir, bagaimana mengasuh
kamu, mendidik kamu supaya kehidupannya nanti jauh lebih bagus dari Ibuk dan
Bapak. Nggak jadi sekedar guru atau supir truk. Nah kalau sekarang, ngeliat
kamu sudah berhasil dengan pilihan hidupmu, Ibuk bahagia dan lega sekali. Ibuk
sudah berhasil menjadi seorang Ibu yang sesungguhnya.”
Gue
terdiam. Lama sekali. Gue melihat sebulir air terjatuh disudut mata Ibuk yang
mulai dipenuhi kerutan-kerutan. Mata gue seperti latah, ikut melakukannya.
Sebelum gue membuat drama dan membatalkan keberangkatan, gue akhirnya pamit dan
berpisah dengan Ibuk dan Bapak. Di jalan, gue merenung dan membuat sebuah quote…
“Puncak kesuksesan seorang anak tidak dinilai dari rupiah
yang mampu ia kirim kepada orangtuanya. Tapi dari tingkat kemandirian si anak
dan kasih sayangnya bahkan ketika di masa senja, orangtua mereka mulai
mengompol di celana.”
Me with SUPERMOM! |
Komentar
Apalagi yg pas moment2 akhir
Ikutan mewek
Apalagi yg pas moment2 akhir
Ikutan mewek