Sepucuk Pinta Untuk Kau yang Disana
3 Maret kemarin adalah hari ulangtahun Kakak pertama saya. Harusnya saat ini ia berusia 35 tahun. Harusnya saat ini kami berkumpul dan merayakan ulangtahunnya dengan masak-masak, ia adalah chef terhandal keluarga kami. Harusnya begitu. Sayangnya Tuhan mengambil Bli Putu 2.5 tahun yang lalu.
Beberapa hari ini saya menulis, menghapus lagi, menulis dan menghapus lagi postingan ini. Saya berusaha keras untuk menulisnya tanpa menangis, karena saya ingin ia (ntah bagaimana caranya) membaca tulisan ini dan tahu bahwa saya setegar keinginannya. Tapi ini sulit sekali. Jadi hari ini, dihari ketiga percobaan saya ini, saya putuskan untuk menyerah dan menulis apa adanya. Menulis dari hati saya yang terdalam, sebuah tulisan yang saya peruntukkan padanya. Di Surga sana.
Bli Putu adalah kakak terhebat yang mungkin tidak akan dimiliki adik-adik di belahan bumi manapun. Ia rela masuk sekolah sore demi menjaga saya yang saat itu masih bayi. Tahun 1993, saat itu ia masih duduk di bangku SMP dan ia sudah paham bahwa seorang Kakak memang harus banyak berkorban. Apalagi bagi kami yang tidak punya rejeki lebih untuk mempekerjakan pembantu. Jadilah Bli Putu menjadi pengasuh pribadi saya di siang hari dan sekolah saat sore hari. Apakah kalian bersedia melakukannya? Kakak saya bersedia. Bahkan tanpa pernah sekalipun orangtua kami memintanya.
Ia mengajari saya mengayuh sepeda. Menaikkan layangan. Bermain nitendo di rumah tetangga. Mengenalkan hal-hal yang ia sebut boys stuff agar saya tidak tumbuh menjadi wanita yang cengeng dan manja karena saya adalah anak perempuan satu-satunya dan juga anak bungsu di keluarga kami. Dia pengajar yang sabar, karena sepertinya sifat manja memang ditakdirkan untuk menjadi tabiat saya sejak kecil. Jatuh dari sepeda, saya akan menangis kencang-kencang. Maka detik berikutnya saya akan berada di boncengannya. Begitu terus hingga akhirnya saya berhasil mengayuh sepeda saya sendiri dengan lancar. Sebuah momen yang seharusnya saya dapat dari Bapak. Namun entahlah, Bli Putu sedari awal memang mengambil 3/4 peran, sebagai Bapak, Ibu, sekaligus Kakak yang hebat.
Sewaktu ia masuk perguruan tinggi, ia banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja paruh waktu sebagai tukang gulung kabel atau pengawas sound system untuk konser-konser di kota kecil kami. Saya merasa kehilangan. Bli Putu mulai jarang menjemput. Jarang di rumah. Kami mulai jarang bertemu. Namun biasanya semua perasaan kecewa saya akan hilang saat di akhir bulan Bli Putu mentraktir saya makan enak. Definisi makan enak saya saat itu adalah lalapan pinggir jalan. Bersama Kakak saya tercinta. Saat ini? Makan fettucini di restoran Italia paling mahal di Jakarta pun terasa hambar di lidah saya.
Dengan momen-momen yang telah kami habiskan selama ini, sungguh berat bagi saya untuk melepaskan kepergiannya. Bahkan hingga saat ini, saya masih belum bisa untuk benar-benar mengiklaskannya. Ratusan doa agar ia beristirahat dengan tenang disana tetap tidak mampu mengalahkan keinginan terbesar saya agar ia bisa kembali. Atau setidaknya mengunjungi saya lewat mimpi.
Kalian mungkin menganggap hubungan kami aneh. Tapi bukankah memang ini hubungan Kakak-Adik yang sepantasnya? Blood is thicker than anything.... Jadi ketika ia pergi, saya tidak hanya merasa kehilangan. Saya merasakan sakit yang bahkan hingga saat ini tidak sedikitpun memudar. Rasanya sesak sekali. Saya kerap membohongi diri saya dengan berpikir bahwa Kakak saya bukannya meninggal, bukannya yang 2.5 tahun lalu saya saksikan sendiri proses kremasinya, bukannya terpisah dimensi ruang dan waktu. Saya terus menerus berpikir bahwa kami hanya dipisahkan jarak, dipisahkan pulau, dan saat saya pulang, saya akan melompat kegendongannya dan tertawa seperti tahun-tahin sebelumnya. Tapi semakin keras usaha yang saya lakukan, semakin sesak ulu hati saya. Saya mencintainya. Bahkan saya terlalu mencintainya.
Tiap malam, tiap tahun saya selalu berdoa agar Bli Putu datang mengunjungi saya. Sekali saja... Ibu saya, Kakak Ipar saya, mereka semua sudah pernah bercerita bahwa Bli Putu mendatangi mereka lewat mimpi. Saya tidak peduli itu hanya nyata atau sekedar bunga tidur, itu lebih baik daripada menghabiskan malam dengan penantian kosong. Saya merindukannya, saya menantinya malam demi malam, saya kadang menyediakan rokok dan kopi di rumah untuk mengundangnya, cara apapun, meski terdengar tidak rasional sekalipun saya lakukan untuk mengundangnya. Namun tidak sekalipun Bli Putu datang. Tidak sekalipun.
Saya kehabisan cara. Bahkan saya sering mengirim message di akun FB-nya hanya karena saya depresi. Karena saya merasa sendiri. Dan saya kehabisan cara untuk melampiaskannya. Jadi kali ini, saya mengirimkan permintaan sederhana untuknya. Sebuah kunjungan. Singkatpun tak mengapa. Saya hanya ingin menyapa, atau sekedar mendengar tawa. Percayalah, tawa Kakak saya ini sangat khas. Dan membuat siapapun merindukannya. Termasuk saya. Yang merindukannya setengah mati.
Datanglah... Ugek kangen sekali, rasanya seperti belasan tahun kita tidak bertemu. Jadi datanglah. Sekali saja... Ah iya, Ugek baru aja baca berita tentang Bli Putu dan tulisannya jelek sekali. I can write better than this http://metrobali.com/2012/07/09/wartawan-koran-bali-trubune-ditemukan-terbujur-kaku-diblakang-rumahnya/#comment-72619
Ugek tunggu... Bli Putu mau dateng kan?
Komentar