Berjuang Untuk Yang Pantas Diperjuangkan
Malam ini
gue baru saja kelar nonton film garapan Hanung Bramantyo yang berjudul Cinta Tapi
Beda. Gue sukses dibuat bercucuran air mata, dan temen gue, si Dara Buncit
(buat para pemerhati instagram gue pasti tau deh siapa mahluk satu itu) gak
kalah heboh. Doi mewek sambil jugling botol smirnoff.
Ehm. Serius.
Postingan kali ini sebenernya gue maksudkan agak sendu. Mengingat selama dua
setengah tahun gue agak tertutup mengenai perjuangan gue dari jaman pacaran
hingga akhirnya berhasil menikah. Banyak orang mengira gue dan Maherda kawin
lari. Ya iya. Bagaimana bisa, seorang gadis Bali dari keluarga Hindu fanatik
menikah dengan seorang pria muslim? Jadi begini.
Awal
hubungan kami memang sudah mendapat penolakan dari keluarga gue. Terutama
orangtua. Selama satu tahun kami berpacaran gue masih belum bisa meluluhkan
hati Bapak dan Ibu untuk merestui hubungan kami. Padahal waktu itu gue cuma
ijin pacaran, sama sekali belum ada niatan menikah dan apa lagi punya anak.
Gue mulai hopeless dan merasa buang-buang waktu.
Mana tega gue denger Ibuk nangis-nangis ditelfon dan nuduh gue mau pergi
ninggalin keluarga? Dengan berat hati gue memutuskan hubungan dengan Maherda.
Tanpa
sepengetahuan gue, keesokan harinya Maherda pergi ke Bali sendirian. Menemui
keluarga gue. Berbekal alamat singkat dan nama kedua orangtua gue, Mahe
berhasil menemukan rumah gue yang ada di pelosok gang. Insting supir taksinya
sangat berguna saat itu.
Maherda
berjuang dan gue dengan egois menyerah dengan gampangnya. Setelah hari itu,
meski masih belum mendapat restu, gue dan Maherda kembali bersama dan membangun
kembali komitmen dari awal. Kami beribu kali lebih serius dalam hubungan ini.
Maherda bernegosiasi dengan keluarganya dan gue bernegosiasi dengan keluarga
gue. Kami berniat untuk menikah.
Tidak ada
satupun dari kami yang mau mengalah, atau lebih tepatnya, tidak satupun dari
kami yang bisa mengalah. Maherda adalah anak sulung, laki-laki satu-satunya.
Gue anak bungsu perempuan satu-satunya. Masing-masing keluarga berat melepaskan kami
begitu saja. Seolah kebahagiaan kami adalah derita bagi mereka.
“Kakakmu udah
pergi ninggalin Ibuk, Gek. Kok kamu tega mau ninggalin Ibuk juga?’
“Ya Ugek Cuma
pengen bahagia, Buk. Sekali aja. Ugek berkorban gak kuliah. Ugek merantau. Ugek
pengen punya keluarga dengan pilihan Ugek sekarang. Ibuk ga mau lihat Ugek
bahagia?”
“Coba
dibalik, Gek. Kamu ga mau lihat Ibuk bahagia?”
Gue
kehabisan kata-kata. Setelah berseteru dan saling diam beberapa bulan. Akhirnya
gue menyerah dan mengirimi Ibu sebuah pesan singkat.
‘Ya sudah Buk, Ugek nyerah. Ugek gak akan
menikah tanpa restu dari orangtua. Tapi Ugek gak akan pernah bisa pisah dari
Mas Maherda. Sebisa mungkin Ugek akan membuat Ibuk bahagia, tanpa mengorbankan
kebahagiaan Ugek juga. Mudah-mudahan Ibuk bisa mengerti. Kalian berdua ada di
posisi terpenting dalam hidup Ugek saat ini.’
Beberapa
hari Ibuk masih diam. Bapak lebih lagi. Namun suatu hari, sebuah pesan singkat
masuk membawa setitik harapan dalam hubungan kami yang kelam.
‘Bawa calonmu kerumah. Sama kamu. Kita
bicarakan di rumah.’
Maka di
bulan September 2013 gue dan Maherda ke Bali dan membicarakan semuanya. Maherda
melamar gue di hadapan Ibuk dan Bapak yang masih terlihat berat melepas putri
semata wayangnya. Gue mengumpulkan keberanian. Maherda menggenggam tangan gue
dan menatap gue dengan mata teduhnya. Dengan tegas gue berkata,
“Buk… Pak…
Ijinkan Ugek untuk menjadi mualaf.”
Suasana
berubah semakin tidak mengenakkan. Ibuk menangis kencang bahkan hingga terjatuh
dari kursi meja makan. Bapak membopong Ibuk dan melarang gue masuk kamar. Gue
menunggu di dapur dan mengutuki diri gue sendiri sebagai anak yang durhaka.
Bertahun-tahun dibesarkan dengan keringat, dengan jerih payah yang tak mudah
bagi mereka saat mencari nafkah, saat gue dewasa, dengan mudahnya gue
meruntuhkan hati dan kebanggaan mereka.
Keesokan
harinya, kami kembali berbicara. Kali ini kami kerumah Kakek di Tabanan. Beliau
adalah seorang pemimpin agama yang demokratis. Kakek membantu memuluskan jalan
kami dengan menerangkan ke Ibuk mengenai toleransi beragama. Gue meyakinkan
bahwa meskipun gue pindah, selamanya gue adalah anak Ibuk dan Bapak, selamanya
gue adalah orang Bali, dan tidak ada seorangpun yang bisa mengubah kenyataan
itu. Maherda berjanji tidak akan mengubah apapun dari hubungan kekeluargaan
kami. Gue bisa tetap pulang kerumah, bisa tetap merayakan Nyepi, bisa tetap
menemani keluarga bersembahyang. Tidak akan ada yang berubah kecuali lingkar
keluarga kami yang semakin membesar.
Ibuk masih
belum mengiyakan rencana gue untuk menikah, apalagi menjadi mualaf. Beliau
berusaha mengajak kami ke kantor PHDI (Persatuan Hindu Dharma Indonesia) dan
menanyakan apakah ada jalan agar gue tidak perlu menjadi mualaf. Sayangnya
tidak. Mereka menganjurkan Maherda untuk pindah agama ke Hindu yang dengan
segera didukung oleh Ibuk. Mahe tidak menunjukkan ekspresi keberatan, namun ia
juga tidak mengiyakan.
Kami bahkan
sempat bersembahyang bersama di Uluwatu. Mengenalkan Maherda tentang agama yang
kami anut selama ini. Perlu diakui bahwa toleransi Maherda terhadap umat lain
sangatlah tinggi. Melihat sikapnya, melihat perjuangannya, melihat cintanya,
gue memantapkan diri untuk kembali menegaskan kepada Ibuk. Apa tujuan awal dari
pertemuan kami.
“Cukup Buk…
Ugek sudah nyerah. Tidak akan ada pernikahan. Tapi yang jelas kami akan tetap
berhubungan. Itu adalah keputusan Ugek yang Ugek mohon, tolong dihormati. Ugek
sayang Ibuk, sayang Bapak, maka dari itu kami berdua berjuang demi restu kalian
berdua.”
Dan
akhirnya. Setelah melalui pembicaraan panjang, isak tangis yang
berbalas-balasan, beribu ucapan maaf, dengan ikhlas Ibuk dan Bapak merestui
keputusan kami.
“Biarlah
Nak, dosa ini Ibuk dan Bapak tanggung di akhirat, asalkan kalian bahagia.”
Ucap mereka
akhirnya. Tidak bisa diungkapkan rasa bahagia gue saat itu. Perjuangan kami
membuahkan hasil yang manis. Kami mulai merencanakan detail pernikahan yang
memang sengaja diminta untuk sederhana dan tertutup. Gue menghormati perasaan
kedua orangtua gue yang belum siap menghadapi omongan keluarga besar, omongan
orang desa tentang putri mereka yang pindah agama.
Dan Maherda
membuat keputusan yang mengejutkan. Ia meminta restu untuk menikah secara Bali
lebih dahulu. Tentu saja keluarga gue menyambut baik keinginan Maherda. Ibuk
tetap bisa merayakan upacara pernikahan putrinya dalam adat Bali meskipun
berikutnya gue pindah agama dan menikah sah secara Islam. Di Bali kami memakai
prosesi adat Bali, di Jakarta kami melakukan ijab qobul.
Singkat
cerita, di tanggal 23 Februari 2014 kami menikah di rumah keluarga Maherda di
Kalibata. Tidak ada foto prewedding, tidak ada gedung pernikahan, tidak ada
band pengiring ataupun acara hiburan selayaknya pernikahan idaman lainnya. Kami
menikah dengan sederhana dan khidmat.
Hanya satu
yang saat itu mengganjal hati gue. Sesaat sebelum akad nikah, Bapak menangis.
“Bapak masih
hidup begini tapi gak boleh menikahkan anaknya sendiri. Hanya karena Bapak
bukan muslim, dan Bapak harus digantikan dengan wali hakim. Bapak iklas, Nak.
Cuma sedih…”
Gue kembali
tersedu-sedu. Perias gue hingga kerepotan harus merapikan riasan gue yang
hancur karena air mata. Sempat ada keinginan untuk membatalkan saja akad nikah
kemarin. Toh gue belum sah secara negara. Namun lagi-lagi Maherda menenangkan
Bapak dan berkata bahwa meskipun Bapak diwakilkan dengan wali hakim, tetap
restu Bapaklah yang membukakan jalan bagi kami di pernikahan ini.
Tidak terasa
sudah setahun berlalu dan baru malam ini gue bersedia menceritakan kisah
dibalik pernikahan gue dan Maherda. Selama ini gue menyimpan cerita tersebut
sehingga orang-orang mengira jalan pernikahan kami mulus dan tanpa hambatan. Kami
berjuang dan masih akan terus berjuang. Untuk beradaptasi, untuk bertoleransi,
untuk mengerti dan selalu mencintai. Semoga pasangan yang berbeda keyakinan
seperti kami bisa mendapat hikmah dari cerita ini. Bahwa kalian wajib berjuang jika hubungan kalian adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan.
Terima
kasih.
Komentar
i feel what you feel mbak.. bedanya aku yang muslim, dia yang hindu dan tidak berakhir bahagia. Karena kedua belah pihak, baik keluarga kami maupun keluarga dia tidak memberikan toleransi sama sekali dengan perbedaan agama di keluarga. I was so sad when my mom said "You are killing me slowly if you marry him" sampai akhirnya kita mengakhiri hubungan karena ga dapet restu. But in my deepest heart i still love him even now we separate
I like your blog mbak dinna, so inspiring
smg selalu berbahagia ya dina... mudah2n perjuangannya dapat berkah dan buat smua jd baik pd akhirnya... amiin
Salut dengan kekuatan cinta kalian. Rela berjuang dan berkorban demi saling mempertahankan.. Semoga langgeng yah.. In Shaa Allah selalu bahagia dengan keluarga kalian nantinya.. :'D
Mikir aku nanti gimana ya. Bisa bertahan dan berjuang sampe begini gak ya :(
Semoga bisa yaa kayak kak dinna, nikah dengan restu orangtua :)
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Stay strong, stay committed ya mbak... insyaallah berkah 😘