Pengadilan Agama Dan Situasi Depresif Di Dalamnya

        

      Saat mengajukan gugatan cerai, pasangan non-islam akan pergi ke pengadilan negeri sementara untuk pasangan islam pergi ke pengadilan agama. Karena aku dan Maherda berstatus agama islam, maka aku mengajukan gugatan ke pengadilan agama hari ini. Kami memang sudah sepakat berpisah sejak desember tahun lalu, tapi aku baru mengajukan gugatan di bulan Juli.
Sebenarnya kami tidak ada urgency untuk mengurusnya dalam waktu dekat karena kami berpisah secara baik-baik dan kami memang belum punya pengganti, jadi gak ada drama-drama pelakor yang menekan kami untuk buru-buru urus surat cerai. Tapi menurutku, surat cerai mungkin akan mempermudah aku dan Maherda move on. Melanjutkan hidup kami masing-masing dan mencari kebahagiaan lain dengan cara kami sendiri. Jadi karena pagi ini aku melihat hari sedang cerah. Anak-anak sementara ini sedang di rumah keluarga Maherda (ini penting karena aku tentu tidak ingin anakku melihat ibunya menangis semalam, mabuk sambil olahraga atau marah-marah dan menggila) dan aku baru saja menghabiskan hari libur dengan para sahabat so yaaa, aku punya cukup banyak daya energy untuk menghadapi ini.

        Jujur saja, aku deg-degan parah masuk ke kantor pengadilan hari ini. Apalagi aku pergi sendiri, tidak ada teman untuk berbagi rasa takut. Aku masuk dan bertanya kepada security, kemana aku harus pergi jika pertama kali ingin membuat gugatan cerai?
        "Mbak sudah punya surat gugatannya?" tanya security itu ramah.
        "Belum, Pak. Harus bawa sendiri ya?" jawabku bingung. Google tidak memberitahuku tentang ini.
        "Oh, berarti Mbak ke Pos Layanan Hukum dulu ya. Setelah itu baru ke bagian pendaftaran. Ini Mbak, karcis antriannya."
        Kujulurkan tangan dan mengambil secarik kertas berukuran 3x3cm itu. Tidak lupa sedikit membungkuk dan berterima kasih atas keramahan pak security. Ah, syukurlah. Wajah ramah bapak tadi sedikit meredakan keteganganku.
        Aku duduk mengantri sesuai protokol kesehatan new normal yang berlaku. 1 jam berlalu dan para pegawai itu pergi istirahat makan siang. 2 jam berlalu, hujan angin datang dan sedikit membasahi rambutku. Aku menangis. Aku bahkan belum masuk fase sidang, belum membuat gugatan, aku hanya duduk sendirian dan kehujanan, tapi itu sudah cukup membuat tangisku turun tanpa sanggup kuhentikan.
        Seorang ibu tua menepuk bahuku dan menawarkan tissue. Harusnya aku waspada karena bisa saja ada virus corona di tissue putih tersebut, di tepukan tangannya ke bahuku, seperti kepanikan banyak orang saat ini. Tapi saat itu aku tidak melihatnya sebagai ancaman, melainkan sebagai bentuk kepedulian. Sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini. Terhadap sesama wanita. Terhadap sesama orang yang terluka perasaannya karena harus datang ke sebuah gedung dan menjalani serangkaian birokrasi yang cukup rumit dimengerti hanya untuk berpisah dengan orang yang pernah kita cintai. 
        "Kamu gak papa, nduk?" tanya ibu itu lembut. Aku masih terisak sembari berusaha menghapus air mata yang turun bak banjir bandang yang menerjang Luwu Utara. 
        "I-iya, bu. Makasih ya bu."
        "Kamu sendirian?"
        Aku terdiam. Iya, aku sendirian. Tapi bibirku kelu untuk mengaku.
        "Lho, lho... Kok malah nangis lagi? Gak bawa tissue tah?"
        Aku menggeleng. Sudah sendiri, kebasahan, tanpa persiapan matang pula. Aku sungguh sial hari ini. 
        Sejak di rumah aku kira aku akan kuat. Aku sudah bisa mengaku kepada orang bahwa rumah tanggaku gagal dan sudah berpisah cukup lama tanpa menangis lagi. Aku bahkan sempat menelfon Maherda saat proses interview di pos pelayanan hukum untuk menyamakan jawaban karena memang kami sudah memutuskan berpisah baik-baik dan sepakat bekerjama mengurus segala prosesnya sendiri, tanpa bantuan pengacara.
        Tapi rupanya, kejadian hari ini jauh dari yang aku duga. Hari ini menyadarkan aku bahwa aku tidak sekuat yang orang-orang sangka. Aku rapuh, seperti manusia kebanyakan yang menghadapi kegagalan dalam rumah tangganya. 
        "Yang sabar ya, nduk... Kenapa urusannya ini?"
        Tak lama, kami saling bertukar cerita. Meski tidak bisa sepenuhnya membuka diri dalam alasan perceraianku, tapi secara garis besar ibu itu sudah bisa menebaknya.
        "Kalau saya sih gak ada masalah sepertimu ya, tapi memang rumah tangga saya hambar. Trus tiba-tiba aja suami saya ngilang gak tau kemana. Udah 7 tahun gak ada kabar, yawis lah. Mendingan pisah aja biar saya bisa nikah lagi. Jadi ya mesti urus surat untuk cerai ghaib, saya."
        Aku melongo. Cerai ghaib itu sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya.
        "Ha? Cerai apa tuh bu? Maksudnya suami ibu diguna-guna atau hilang secara ghaib gitu?" tanyaku polos.
        "Wah kamu gak tau ya. Cerai ghaib itu istilah untuk orang yang tidak tau alamat pasangannya, alias ditinggal kabur begitu saja. Kalau kamu kan tau tuh, mantan suamimu tinggal dimana. Jadi nanti surat panggilan sidang akan dikirim ke alamat suamimu. Nah kalau kasus saya, karena suami saya hilang gak tau kemana, jadi istilahnya cerai ghaib."
           "Wah mirip tetangga saya itu, bu!" celetuk seseorang di belakang kami secara tiba-tiba. Perbincangan yang awalnya dimulai dari dua wanita saja, berkembang menjadi cukup ramai dengan satu bapak-bapak yang membawa anak perempuannya.
            "Tetangga saya juga cerai ghaib, istrinya kabur sama selingkuhannya. Mirip kaya saya, tapi syukurnya kalau istri saya gak bawa anak kami kabur sama selingkuhannya. Jadi anak tetep sama saya."   
            Aku melihat seorang anak gadis yang mungkin berusia 8 tahun duduk di sebelah bapaknya. Ia terlihat mengantuk, wajar saja, itu sudah jam 2 siang, waktu dimana anak-anakku biasa tidur siang.
            "Tapi jadinya saya terpaksa bawa anak saya ke sini. Gak ada keluarga yang bisa saya titipi soalnya. Ada sih sepupu saya, tapi tinggalnya jauh sekali di Bogor."
             "Apa ga kasian, Pak? Bawa anak-anak ke sini? Saya dulu liat orangtua berantem di depan mata aja trauma luar biasa," tanyaku penasaran.
            "Gak papa, ini biar jadi pelajaran hidup buat dia nanti, biar gak jadi perempuan murahan kaya ibunya. Kalau engga ya dia cuma ngulangi kesalahan yang sama, gak belajar sama sekali."
            Aku mengangguk berusaha memahami sudut pandangnya, seorang laki-laki yang merasa terhina harga dirinya karena diselingkuhi. Meskipun jika boleh, aku ingin sekali menyatakan ketidak-setujuanku pada pandangannya. Tapi energy-ku sudah cukup terkuras selama 3 jam berada di sana dan rasanya aku tidak sanggup untuk berdebat dengan orang lain mengenai perbedaan pandangan kami.
            "Wah, saya sudah dipanggil, takutnya nanti ga ketemu, saya pamitan di sini aja. Sabar yaa nduk, inget anakmu masih kecil-kecil. Pertahankan hubungan baikmu sama mantan suami, demi anak-anak ini."
            Aku memeluk ibu itu penuh haru. Meski ibu kandungku hanya sanggup menemaniku via telfon, tapi setidaknya ada ibu lain yang memberiku pelukan hangat. Menguatkanku meski ia sendiri dalam kondisi terluka. Menguatkanku meski ia tidak mengenalku sama sekali.

            Hari ini, aku belajar lagi mengenai cara kerja kehidupan ini. Aku semakin akrab dengan perceraian, sesuatu yang sangat menakutiku dulu. Aku berhadapan dengan banyak kegagalan rumah tangga orang lain dengan masalah yang lebih kompleks, meski anehnya itu membuatku sedikit bersyukur, setidaknya rumah tanggaku tidak tercerai berai karena pengkhianatan salah satu pihak atau hilang secara ghaib.
        
         Memang kadang orang lain tidak mengerti luka yang kita rasakan, karena mereka tidak mengalaminya. Tapi luka tetaplah luka, terlepas dari besar atau kecilnya, luka itu tetap harus diobati. Kalau berpisah adalah caramu mengobati luka itu, maka lakukanlah. Jika dikemudian hari kamu menyesali perpisahan itu, maka kamu belajar sesuatu. Jika kamu mensyukuri perpisahanmu, maka kamu sudah mengambil keputusan tepat, berbahagialah untuk itu.

        Setelah menghabiskan hari ini dengan begitu banyak airmata, aku menyadari betapa besar rasa cintaku ke Maherda sehingga membuatku begitu terluka. Bahkan saat aku menulis ini, aku sadar sepenuhnya, perasaan itu sesungguhnya masih ada. Aku membuat benteng tinggi agar tidak lagi melibatkan perasaan dalam hubungan kami dan merelakan Maherda untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain agar perasaanku bisa hilang sepenuhnya. Aku bisa membohongi orang lain, tapi tidak akan pernah bisa membohongi diriku sendiri. Sisa-sisa perasaan itu yang membuatku menangis getir seperti ini. Karena jika aku sudah tidak memiliki perasaan cinta sedikitpun untuknya, aku tidak akan merasa sedemikian depresi dan sedih. Untuk apa bersedih karena orang yang tidak lagi dicinta, bukan? Sayangnya, dalam berumah tangga, cinta saja tidak cukup. Dalam rumah tangga, kamu tidak hanya menuntut loyalitas, tapi banyak sekali pengorbanan. Sesuatu yang tidak lagi sanggup aku lakukan karena sakit hatiku yang sudah lebih besar dari rasa cinta itu. Meski saat ini aku belum sanggup benar-benar membuka hati untuk orang baru, tapi aku tau, suatu saat aku akan pulih dan bisa hidup tanpa harus meratapi kegagalan ini lagi.

        Aku berdoa, pembacaku bisa memiliki rumah tangga yang damai dan harmonis, hingga maut memisahkan. Namun jika pernikahan begitu membebanimu dan tidak memberi kebahagiaan seperti bagaimana fungsi seharusnya, mungkin sudah saatnya kamu merelakan hubungan itu dan mengobati luka-luka yang ada. Sebelum luka itu bernanah dan menjadi borok yang tercium amis hingga kemana-mana.
        

Komentar

Tia mengatakan…
Dinna, I love you and I support you. Lo wanita kuat, lo ibu kuat. Take your time untuk bersedih, nanti lo akan terbiasa. Emang gak gampang ngelewatin ini semua, tapi gw yakin lo akan segera move on.
Detha mengatakan…
Hi Dinna, aku silent reader kamu.. oo Dinna rasanya aku mau peluk kamu.. yang kuat ya, tetap bersyukur dan aku doakan kamu lebih dilimpahkan lagi cinta, kasih sayang & kebahagiaan.. aamiin .. *salamkenal -Detha
Radinna Nandakita mengatakan…
@tia Thankyou so much Ti. Iya, gue cuma butuh waktu. Semua ini bakal segera berlalu, gue hanya perlu bertahan sedikit lagi.
Radinna Nandakita mengatakan…
@detha : Salam kenal kembali Detha. Makasih banyak yaa udah kasih semangat. Pelukkk
Halo mbok dina..
Blog ini adalah awal mula aku jadi followermu di IG dan udah lama aku gak ngikutin kegiatanmu di IG trus dapet cerita ini, aku turut prihatin, semoga ini jalan terbaik untuk kalian berdua. Aku yakin dimasa depan akan ada cerita bahagia yg disiapkan Tuhan untuk seseorang yang kuat dalam tempaan hidup. Keep Smile.
Anonim mengatakan…
Aku membaca ini, ketika Aku tdk bisa tdr.
Dan dari mbk dinna Aku bljr kuat menghadapi sebegtu rumitnya
Dunia pernikahan.
Aku baru saja menikah 3 bulan tepatnya tpi pernkhanku
Harus berakhr krna aku meminta untk hidup pisah rumah dari
Mertuaku agar kita hidup mndiri, tapi laki" yang prh ku cintai
Lebih memilih hidup dengan orang tuanya Dan memutuskan pernkhanan
Yng prh kami berdua inginkan.

Dengan mengatakan (Aku menikah krna ingin mengurus ortuku)
Sakit ketika Aku tahu beliau menikahiku krna hnya punya babysitter lansia!

Postingan Populer