Berteman Pasca Berpisah

         Banyak orang salah sangka mengira aku rujuk setiap kali melihat postinganku saat sedang bersama mantan suamiku. Begitu juga dengan mereka yang langsung menduga 'oh ini pacar barunya Budin' setiap kali aku posting sedang bersama teman laki-lakiku. Aku tidak terlalu menyalahkan mereka, mungkin mereka memang tidak terbiasa melihat laki-laki dan wanita memiliki hubungan pertemanan biasa. Di tulisan kali ini, aku ingin berbagi sudut pandangku yang memutuskan untuk tetap berteman baik setelah berpisah dengan Maherda. 

        Aku memang tidak pernah secara gamblang menceritakan alasan perpisahan kami, karena itu melibatkan orang lain yang tentu akan keberatan jika disebut namanya. Tapi yang jelas (seperti yang selalu aku katakan) kami tidak berpisah karena ada perempuan ataupun laki-laki lain. Kami juga bukan berpisah karena faktor ekonomi (seperti yang pernah diduga oleh salah satu follower instagramku) karena perpisahan itu sudah dibicarakan dan bahkan kami sudah pisah rumah sebelum pandemi datang. Perpisahan ini terjadi karena kami sudah lelah berdebat. Bertengkar. Dan menangis. Kami sudah tidak nyaman lagi untuk hidup bersama sebagai suami-istri dengan segala tanggung jawabnya. Sebelum akhirnya kami saling menyakiti lebih jauh lagi dan menjadikan ini sebagai pembenaran untuk berselingkuh, maka kami dengan lapang dada (akhirnya) memutuskan untuk saling melepas dan tetap berhubungan baik demi anak-anak kami.

            Mungkin karena tidak ada faktor orang ketiga ini lah yang membuat kami bisa tetap berteman. Karena perpisahan ini terjadi tanpa melibatkan emosi sesaat saja, melainkan sudah melalui pertimbangan matang selama 1 tahun sebelumnya. Ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan, jujur saja. Aku bukan perempuan berhati malaikat, aku punya segudang rencana jahat untuk membuat mantan suamiku benar-benar menderita hanya agar ia merasakan sakit yang pernah aku rasakan. Aku pernah berpikir untuk mengumbar semuanya agar kami tenggelam dalam rasa malu bersama-sama. Aku pernah berpikir untuk mengabaikannya bertahun-tahun meski kami tinggal di bawah atap yang sama. Aku pernah berpikir untuk memakinya dengan sumpah serapah meski sadar betul, kesalahannya ada pada KAMI, bukan dia saja. Tapi amarah, rasa benci, saling serang dan saling maki itu bagaikan penyakit hati yang melemahkan manusia. Aku sudah mengalaminya. Masa-masa galau yang aku isi dengan minum miras, begadang, menangis, tidak bisa makan dan susah berkonsentrasi dengan pekerjaanku, semuanya memuncak saat aku sakit dan harus dirawat inap. 

            Saat itu aku bertanya pada diriku sendiri, mau sampai kapan ini terjadi? Cinta kami sudah pudar, lalu kami bertahan demi apa? Demi anak-anak yang seringkali melihat ibunya menangis di depan mata? Ibunya yang egois menyalahkan ayah mereka padahal mereka sama sekali tidak mengerti masalah orangtuanya? Aku tidak ingin memberi kenangan pahit pada masa anak-anak mereka yang seharusnya jauh lebih bahagia daripada masa kecilku dulu. Besar inginku, anak-anak tumbuh besar tanpa harus melihat betapa menyebalkan dua orang dewasa saat harus berumah tangga dan terikat dalam pernikahan seperti masa kecilku dulu yang seringkali harus melihat orangtuaku bertengkar di depan mata. 

            Jadi, meskipun aku berkata aku tidak berhati malaikat, aku juga tidak pula sebejat iblis jahanam.  Aku tidak mau membuat kekacauan di keluarga orang lain. Aku juga tidak mau memutus hubungan orangtua dan anak dengan memperebutkan hak asuh mereka. Kami bicarakan semuanya dengan kepala dingin dan mencari titik tengah yang terbaik bagi anak-anak tanpa harus mengorbankan perasaanku ataupun mantan suamiku. Aku sangat bersyukur karena aku dan Maherda bisa menyelesaikan hubungan kami dengan baik tanpa harus berseteru dan saling menjelekkan masing-masing di sosial media. Kami bahkan bisa saling bercerita sedang dekat dengan siapa dan pengalaman-pengalaman lucu yang kami hadapi. Cemburu? Sudah tidak bisa dan tidak ada lagi. Aku sudah membunuh perasaan-perasaan itu saat memutuskan untuk melepasnya. 

            Kenapa meskipun sudah tinggal terpisah dari anak-anak, kami masih sering bertemu dan jalan-jalan bersama? Selain karena masing-masing dari kami belum punya pasangan baru, sebenarnya karena Maherda satu-satunya orang yang bisa mengerti kerinduanku dengan anak-anak. Meski aku berusaha cuek, tapi sebenarnya aku seringkali khawatir berlebihan, padahal mereka diasuh oleh kedua orangtuaku yang aku tau persis, tidak hanya akan merawat tapi juga mendidik mereka dengan baik. Tapi separation-anxiety ini benar-benar menyiksaku dan membuat waktu berjalan sungguh lambat. Aku harus mencari banyak kegiatan untuk membunuh waktu dan Maherda menawarkan diri untuk melakukannya bersama, tentu saja sebagai teman yang baik dan sesama jomblo yang pengertian.

            Kami sudah berkali-kali menegaskan bahwa kami tidak ingin kembali bersama sebagai suami-istri karena tau persis, hubungan ini sudah rusak dan tidak akan pernah kembali harmonis seperti dulu. Serindu apapun aku terhadap hubungan di masa lalu, aku sadar bahwa berteman jauh lebih baik. Kami tidak harus takut kehilangan apalagi cemburu karena kami berteman. Dan kondisi ini jauuuuuuhhh lebih baik daripada ribut-ribut di depan anak-anak kami.

Komentar

Farhan Fadillah mengatakan…
Hai kak radinna,
Aku cukup kaget dan sedih.
aku sekarang berumur 23 tahun.
Kurang lebih sekitar 5 tahun yg lalu, aku menjadi orang yang selalu kepoin dan tungguin blog kakak.
Jujur aku kaget baca postingan kakak ya g ini.

Tapi satu hal yang mau aku blg.
Kakak semangat yaa. Aku harap kakak dan kehidupannya akan selalu menuju ke arah yang lebih baik.
FD, Banda Aceh.

Postingan Populer