CERBUNG : Mengejar Langit 5
“Emangnya lo mau ngapain sebulan
nganggur di Jakarta? Gak ada perekrutan dekat-dekat ini. Kalau lo mau coba lagi
di Dirgantara air pun, lo harus
tunggu 1 bulan karena lo gak lolos dari tahap performance kan? Ayolah,” aku
bingung. Kuseruput strawberry smoothies-ku
penuh nafsu.
“Tapi, memangnya tidak ada
pekerjaan lain? Kalau jadi SPG begitu, aku…” aku membayangkan diriku dalam
balutan rok span pendek kesana-kemari menjajakan produk. Ntahlah, profesi SPG
dibayanganku tidaklah semenarik profesi pramugari yang saat ini sedang gencar
kukejar.
“Gak usah sombong deh, emang lo
ngarepin kerja apa? Jadi model? Jadi artis? Hah?”
“Bukan itu, El. Mungkin aku bisa
jadi kasir atau pelayan restoran. Mungkin…” jawabku merendah.
“Hahahaha… Ratna, wake up! Lo tinggal di Jakarta! Kalo lo Cuma
mau jadi pelayan, buat apa lo hijrah sejauh ini? Lagipula, dengan menjadi SPG,
karir lo sebagai pramugari semakin dekat. Seperti gue,” aku menatapnya
lekat-lekat. Ellen memang cantik, wajar
ia diterima di Air Asiana dan aku tidak. Aku percaya ia lolos karena
kecantikannya, bukan karena ia adalah seorang SPG.
“Jangan membodohiku El, aku
memang anak kampung dan juga yatim-piatu. Tapi aku tidak sebodoh itu!”
“Biar gue tunjukkan sesuatu!” ia
memperlihatkan sebuah foto yang senantiasa mengisi dompetnya. Foto seorang
gadis dengan rambut hitam agak ikal tidak terawatt tersenyum disana.
“Ini gue, 2 tahun yang lalu. 1,5
tahun menjadi SPG membuat penampilan gue berubah pesat. Pekerjaan ini seperti ‘operasi
plastik’ buat gue. Menjadi SPG membuat wawasan gue terbuka, uang mengalir dan
tentu saja gue pun mendapat informasi perekrutan dari temen gaul gue yang kerja
jadi pramugari. Nah!” aku tertegun. Aku terus membandingkan foto di dompet El
dengan wajah cantiknya yang nyaris tanpa cela. Mirip memang, tapi sungguh
berbeda! Foto yang El akui sebagai dirinya 2 tahun lalu terlihat polos, tidak
menarik untuk dilihat dan juga sedikit gemuk. El yang sekarang sangat ramping,
dengan tinggi yang menjulang, ia sangat pantas menjadi seorang model papan
atas. Hidungnya mancung, dagunya lancip, pipinya tirus menonjolkan kedua tulang
pipi yang sungguh membuatku iri. Riasannya sempurna layaknya bintang film,
rambutnya panjang dan… ah, aku tidak akan kehabisan kata-kata untuk memujinya.
“Tapi masa sih, gaji SPG bisa membuat ini semua? Kalau begitu, untuk
apa kamu menjadi pramugari? Aku rasa gaji pramugari tidaklah sebesar itu untuk
merubah penampilanmu secantik ini. Setidaknya itulah yang aku lihat pada
Radinna.”
“Oh, Radinna kawanmu yang goblok
itu? Mau aja dibohongi pilot gadungan macam Willy! Cih, hampir aku tertipu
juga!” El menjatuhkan batang rokok yang sedari tadi dihisapnya. Aku mendesah.
Semenjak pertemuan pertamaku dan El, Willy memutuskan hubungannya dengan
Radinna. Awalnya Radinna sungguh sakit hati dan marah padaku. Tapi lama
kelamaan ia berusaha melupakan kejadian itu dan tidak lagi menyalahkanku. Ia
anggap semua masalah yang datang pasti ada hikmahnya. Ia semakin berbahagia
setelah El mengatakan bahwa ia bubaran dengan Willy karena ternyata Willy
hanyalah groundstaff yang mengaku-ngaku menjadi pilot (di dunia penerbangan
biasa disebut gipil-gila pilot), Radinna langsung mensyukuri kejadian itu dan
tidak terlihat sakit hati lagi.
“Sudahlah, jangan menghina
temanku lagi!” bentakku. El menjadi sahabat baruku 3 minggu belakangan ini. Aku
pun numpang tinggal di apartmentnya karena mulai menyadari dompetku kian
menipis.
“Okay… Jujur-jujuran aja, gaji SPG emang gede. Apalagi kalo lo
kepilih buat SPG mobil, atau produk baru yang lagi launching. Belum lagi bonus
yang lo dapetin kalo bisa Menuhin target penjualan. Tapi gaji itu gak bakal
bisa membiayai kehidupan gue yang seperti ini. Jadi..yah, begitulah. Selain
menawarkan produk perusahaan yang menyewa jasa gue, maka gue pun menawarkan jasa
‘malam’ bagi mereka yang berminat.”
Aku menelan ludah. Aku sudah
cukup dewasa untuk mengerti maksud kalimat itu.
“Tapi tenang! Banyak kok SPG
yang masih lurus. Yah, gue kan nawarin kalo elo mau kaya gue. Kalo lo mau jadi
SPG yang lurus juga gak papa kok. Setidaknya cukup lah buat biaya hidup lo di
Jakarta. Hey, listen! Gue nawarin lo
kerjaan ini karena lo sahabat gue. Minggu depan gue akan tanda tangan kontrak
di Air Asiana, dan gue harus training di Kuala Lumpur selama 3 bulan. Otomatis
gue gak bisa kerja ‘malam’ lagi karena gue bukan cewek eksluksif. I mean, simpenan 1 cowok doank. Nah, gue
tentu gak bisa bantuin elo lagi. Maka dari itu, agar lo masih bisa hidup di
Jakarta yang liar ini, gue tawarin elo kerjaan.
Udah ah, gue mau tidur! Pikirin baik-baik tawaran gue.”
El memunggungiku dan menutup
pintu kamarnya. Aku melanjutkan aktifitasku menulis puisi yang di interupsi
dengan kedatangan El yang menawariku kerja.
Apakah mimpiku terlalu tinggi untuk digapai?
Setinggi apa aku harus melompat, untuk
paling tidak menyentuhnya?
Berkali-kali dijatuhkan, aku akan terus
melompat.
Melompat, dan melompat hingga nanti aku bisa
terbang.
Menerbangkan mimpiku yang tanpa sayap.
*bersambung
Find me on twitter @NandakitaRadin
Instagram radinnanandakita
Line ID radinnawikantari
Find me on twitter @NandakitaRadin
Instagram radinnanandakita
Line ID radinnawikantari
Komentar