CHILDHOOD (REVISION)
Hai, gue Radinna Nandakita. Setidaknya itulah nama pena yang gue usung
selama ini. Kalian boleh manggil gue Radinn, Dinna, Nanda, ataupun Kita.
Terserah. Asal jangan panggil gue Santoso. Pertama : itu nama cowok, dan gue
seorang cewek tulen *pelorotin rok. Kedua : itu nama Jawa, sedangkan gue produk
Made In Bali. Ketiga : mlesetin namanya kejauhan.
Baiklah, biarkan gue mengenang masa lalu
gue atau lebih tepatnya masa kecil gue sebelum gue mulai bercerita lebih lanjut
tentang kepramugarian gue. Gue dibesarkan dikeluarga sederhana yang hidup
pas-pasan. Ibu gue guru Bahasa Inggris, Bapak gue supir bus. Dulu waktu masih
kecil sih Bapak nyupir bus pariwisata. Seiring menurunnya kesehatan beliau,
akhirnya diputuskanlah buat ganti senjata : nyupir truk. Iya, truk. Truk yang
sama dengan truk dijalanan yang cover belakangnya model cewek semi bugil yang
ada tulisan ‘Jablay Bang’. Coba kalo lo perhatiin truk-truk di jalanan, trus
liat supirnya. Kalo ganteng, bisa dipastikan 100% itu Bapak gue. Say hi to my daddy!
Nah, dulunya keluarga gue belum
punya rumah sendiri. Kami ngontrak, dan kami cukup sering berpindah rumah
kontrakan. Sampai akhirnya ketika gue berusia 3 tahun, kami berhasil membangun
rumah kecil milik kami sendiri di kawasan Banyuasri. Itu adalah salah satu
kecamatan di Kabupaten Singaraja, Provinsi Bali. Tempat kelahiran gue sekaligus
tempat yang menjadi saksi mati gue tumbuh dan besar.
Gue masih sedikit ingat tentang
gambaran rumah gue dimasa itu. Berlantai tanah, dengan pohon mangga disamping
rumah, dan pohon belimbing didepan rumah. Berpagar bambu bikinan tangan Bapak
sendiri. Kamar mandi belakang yang hanya menggunakan gordyn sebagai penutupnya.
Disanalah gue menghabiskan 12 tahun gue hingga akhirnya kedua orangtua gue
tercinta mampu merenovasinya lebih layak lagi. Ya, itu yang gue ingat.
Kemudian gue dibesarkan dilingkungan
tetangga yang sama sederhananya. Gue menghabiskan sore dengan bermain layangan,
petak umpet, bola kasti, dan banyak permainan gratisan lainnya. Karena masa
itu, kami bahkan belum mengenal apa itu komputer, playstation, atau tablet
seperti anak-anak jaman sekarang miliki. Hiburan gue dihari minggu saat itu
hanya film Doraemon di RCTI. Itu pun harus berebut dengan Bli Kadek, kakak
kedua gue yang ngotot menonton Dragon Ball di Indosiar. *Dan sampai sekarang
gue masih gak tau apa menariknya cowok jambrik rambut warna-warni yang doyan
teriak ‘KAME-KAME-HAAAAHHH!!!!’ itu.*
Kalau kebanyakan tetangga gue
dibesarkan oleh Ibu mereka yang menjadi Ibu rumah tangga, maka gue harus
berbesar hati merelakan Ibu gue berangkat sekolah di pagi hari untuk mengajar,
dan sore hari memberi les privat. Meskipun tidak mendapatkan 24 jam yang beliau
miliki, gue gak pernah merasa kekurangan zat Ibu. Karena gue tau, Ibu
melakukannya juga untuk gue. Untuk keluarga kecil kami.
Gue gak punya pembantu, apalagi baby-sitter. Jadi ketika Ibu gue
bekerja, gue diasuh oleh kedua kakak gue. Kakak pertama gue, Bli Putu, bahkan
merelakan dirinya sekolah sore *saat itu disekolah Bli Putu, sekolah sore
adalah kelas bagi siswa-siswa yang kurang cerdas* meskipun dia adalah yang
tercerdas disekolahnya. Ia merawat gue dari pagi. Menjadi kakak sekaligus Ibu.
Ia merawat gue dari gue belum bisa bertumpu diatas kedua kaki gue, hingga gue
berhasil berdiri tegak sendiri. Ya, ia mengorbankan kejayaannya di masa SMP
karena ketidakmampuan keluarga kami membayar pembantu. Hh… Mungkin itu yang
membuat gue sangat menyayanginya. Karena ada hubungan yang lebih dari sekedar
adik dan kakak. Karena ada ikatan yang kuat, lebih seperti Ibu dan anak.
Ah! Gue gak akan melupakan ejekan
ini ‘rumah kardus’. Itu adalah ejekan yang diberikan oleh teman-teman gue di
masa SD hingga SMP. Sewaktu SD, gue sangat suka membaca. Sayangnya,
lama-kelamaan harga buku pelajaran semakin mahal. Sementara orangtua gue
memasukkan gue disekolah favorit yang biaya SPP-nya saja sudah cukup mahal.
Belum lagi beberapa les yang ingin gue ikuti. Maka, buku pelajaran lah yang
jadi korban. Gue hanya membeli LKS (Lembar Kerja Siswa) karena sekolah
mewajibkan kami untuk membelinya. Selebihnya, gue mendapat ‘buku warisan’ dari
kakak kelas gue atau tetangga yang masih menyimpan buku-buku bekas mereka.
Sayangnya, gue gak suka memakai buku bekas karena di buku bekas pasti sudah penuh
coretan dan jawaban dari soal tes didalamnya. Maka Ibu berinisiatif meminjam
buku temen gue yang masih baru, lalu memfoto-kopinya. Harganya bisa jauh lebih
murah. Belum lagi, saking iritnya, Ibu memfoto-kopi buku itu dengan model
diperlebar, dan Ibu menjilidnya dengan kardus bekas Indomie atau Aqua yang
sudah tidak terpakai. Gak heran, tas gue selalu jebol kurang dari 6 bulan
pemakaian. Bawaan bukunya selalu berat dan banyak. Jaman kelas 1 SMA malah gue
punya 4 buku panduan yang berbeda. Gue fotokopi dari perpustakaan, karena di
jaman itu gue sangat menyukai pelajaran Biologi.
Wah, kalau mengingat masa kecil gue
dulu, rasanya gue sangat bersyukur dengan keadaan gue dan keluarga gue sekarang
yang meskipun belum mapan, tapi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan
nostalgia semacam ini menjadi theraphy buat gue ketika gue mulai masuk phase
‘tinggi’. Mungkin pengaruh tempat kerja gue yang jauh tinggi, di langit sana,
kadang gue jadi suka lupa diri, dulunya gue ini siapa. Mengingat masa-masa ini
akan menyadarkan gue, ‘setinggi apapun
kita terbang, akan ada saatnya kita jatuh kembali ke bumi.’
Masa kecil gue mungkin tidak terlalu
membahagiakan, karena gue berasal dari keluarga kurang mampu. Berbeda dengan
teman-teman gue yang memang dari engkongnya udah kaya 7-turunan. Tapi beratnya
masa kecil gue adalah salah satu momen terpenting yang membentuk kepribadian
gue. Salah satu momen yang membuat pertahanan diri gue nantinya untuk tidak
terbawa arus pergaulan Jakarta, lebih tepatnya pergaulan dunia airlines. Banyak hal yang bisa membentuk
kepribadian seseorang, dan jika kalian melihat gue seperti apa, itu adalah
cerminan dari masa kecil gue.
Komentar
Dan sebentar lagi, udah mau punya keluarga sendiri deh (baca: nikah)