Surga Bagi Anak Kita
Ibu saya pernah memberikan sebuah
nasihat bijak saat dulu saya berkata bahwa nanti, sesudah melahirkan, saya
ingin kembali bekerja sebagai pramugari.
"Kalau seorang ibu
bekerja, meninggalkan anak dengan niatan membantu ekonomi keluarga, itu
pahalanya luar biasa. Karena itu adalah bentuk tanggung jawab terhadap
keputusannya memiliki anak. Tapi kalau alasannya bekerja dengan niatan agar
terhindar dari urusan anak dan rumah, maka jatuhnya itu dosa. Ia tidak
bertanggung jawab dan ia tidak siap untuk menjadi surga dari anak-anaknya. Jadi
semuanya bergantung ke niatan kita pergi meninggalkan anak-anak... Apa murni
untuk anak atau menghindari tanggung jawab?"
Saya bisa saja membohongi
orang-orang dan berkata bahwa saya bekerja untuk anak, tapi saya tidak akan
pernah bisa membohongi diri saya sendiri. Kenyataannya saya memang mulai lelah
dengan pekerjaan baru saya sebagai ibu rumah tangga. Itupun jika ibu rumah
tangga bisa dikategorikan sebuah profesi, mengingat tidak adanya gaji yang saya
terima setiap bulannya.
Kelahiran Akira bertepatan
dengan proses training suami saya untuk menjadi Captain dan kepindahan rating
pesawat baru ke Airbus. Berbulan-bulan kami hidup dari gaji pokok suami yang
setelah dipotong cicilan dan kewajiban ini-itu, hanya menyisakan sekitar empat
juta rupiah di ATM-nya. Saya tahu, banyak istri lain yang penghasilan suaminya
lebih sedikit. Tapi tetap saja, gaya hidup kami merosot tajam. Kami bahkan
tidak bisa melanjutkan kontrak di rumah kami sebelumnya dan dengan berat hati
harus pindah ke sebuah apartment model studio di kawasan Tangerang.
Mendengar kata apartment,
tolong jangan membayangkan sebuah hunian mewah di kawasan elite seperti
apartment Sudirman Park di Jakarta Pusat atau apartment Mediteranian di Jakarta
Barat yang harga sewanya bisa mencapai 6-10 juta/bulan. Ini adalah apartment
Modernland yang jauh dari kata mewah dan lebih cocok disebut rumah susun warga.
Saya pun tidak lagi
didampingi pembantu sehingga otomatis semua pekerjaan rumah dan merawat Akira harus
saya handle sendiri. Kegiatan sehari-hari diawali dengan pergi ke pasar,
memasak, memberi sarapan dan memandikan Akira, beres-beres rumah, mencuci dan
menjemur pakaian, istirahat siang, memberi makan sore dan memandikan Akira,
lanjut beres-beres rumah dan setelah Akira tidur barulah saya bisa bebas
mengerjakan hobi, entah itu sekedar tulisan-tulisan ringan di status facebook
atau menggarap video untuk channel youtube. Tak jarang, saya kehilangan waktu
untuk kegiatan terakhir karena setelah Akira tertidur, saya pun ikut ketiduran.
Hampir setiap hari saya
terbangun dengan kaki yang sakit meskipun dengan telaten suami saya memijatnya
setiap kali saya terlihat kesakitan. Hampir setiap hari saya sendawa dan buang
angin meskipun setiap malam, suami mengerok punggung saya dengan harapan saya
tidak masuk angin lagi. Tapi berat badan saya yang melonjak 18 kilogram membuat
saya tidak seatletis dan selincah dulu. Rasanya kaki saya tidak sanggup menumpu
bobot tubuh saya yang setiap bulan makin bertambah. Belum lagi setiap malam
kadang saya tertidur dengan punggung terbuka karena menyusui Akira, alhasil
saya meriang hampir disetiap harinya.
Rutinitas yang melelahkan,
tubuh yang tidak terurus, rentetan pekerjaan rumah yang seolah tidak pernah
habis, fase adaptasi dengan gaya hidup sederhana dan shock seorang Ibu baru
sering membuat saya menangis diam-diam saat mandi. Biasanya, airmata saya
hilang dihapus guyuran air segar dan hilang sementara. Tapi saya tidak pernah
menyangka bahwa suatu hari bendungan airmata itu berujung dengan teriakan
histeris.
Seperti yang saya alami
beberapa minggu lalu. Saya yang biasanya bisa mengontrol diri tiba-tiba saja
kehilangan kendali. Saya menangis di kamar mandi sesaat setelah Akira menangis
tanpa saya ketahui apa maunya. Semakin Akira menangis, semakin saya menjerit.
Sedih. Lelah. Tertekan. Depresi. Menyesal. Belum lagi ditambah omongan orang
yang minggu ini saja sudah saya dengar dua kali dari dua teman yang berbeda.
"Kamu kan enak, cuma di rumah. Gue nih, terbang subuh pulang malem. Capek
banget!"
Don't you remember? Saya juga pernah jadi pramugari. At least pramugari masih punya selama
9 jam. Saya? Tidur selalu terganggu karena dua-tiga jam sekali Akira bangun
untuk menyusu. Saya tidak memiliki hari libur, saya bahkan tidak memiliki waktu
untuk mengurus diri saya sendiri karena 24 jam yang saya miliki bahkan terasa
kurang untuk mengurus rumah dan anak. Mereka mengira punya bayi itu
semenyangkan yang diperlihatkan iklan-iklan produk bayi di televisi. Iklan
hanya menampilkan bayi ceria yang tersenyum menggemaskan. Apa ada yang
menampilkan bayi yang rewel saat demam? Apa ada yang menampilkan bayi yang
menangis jerit-jerit hingga 7 oktaf tanpa bisa dimengerti apa kemauannya?
Beberapa orang seringkali
menyepelekan pekerjaan ibu rumah tangga yang full time mengurus anak dan rumah tanpa pembantu ataupun baby sitter. Ketika seorang ibu rumah
tangga mengeluh sedikiiit saja, kami dipandang manja. Mereka selalu berkata,
memang sudah kodrat wanita untuk diam di rumah dan mengurus anak. Mungkin
mereka lupa, ini sudah tahun 2016 di mana emansipasi wanita sudah berkembang
dengan pesatnya. Alih-alih menenangkan, komentar orang-orang malah lebih sering
menyudutkan.
Akhirnya, karena tidak
ingin disudutkan, kami para ibu rumah tangga menyimpan keluhan kami rapat-rapat.
Ingin terlihat kuat, ingin terlihat super, ingin terlihat mandiri. Ironis
sekali betapa sekeliling kita bukannya mensupport, malah membuat kita
bersembunyi dari kenyataan. Tapi seorang ibu tetaplah ibu, sesuper apapun
fisiknya, ia tetap manusia yang masih dibatasi kesabarannya. Ketika lelah dan
keluhannya disimpan hingga berhari-hari dan suatu hari meledak menjadi amarah,
lagi-lagi orang lain kembali dengan komentar pedasnya, berkata bahwa kita tidak
menyayangi anak-anak kita sendiri.
Itulah yang menyebabkan
saya mengamuk. Saya menjerit dan mengambil dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk melamar kerja. Belaian suami untuk menenangkan saya tidak berhasil
menghentikan saya membongkar lemari untuk mencari-cari surat keterangan kerja
dan kartu keluarga. Pokoknya saya mau kembali bekerja. Saya mau terbang lagi
sebagai pramugari. Saya ingin dandan cantik setiap hari, saya ingin waktu
istirahat yang cukup, saya ingin penghasilan sendiri, saya ingin saya yang
dulu!
Tapi semua terhenti saat
mata saya melihat mata bulat Akira yang menatap penuh harap dan tangannya yang
terjulur kepada saya. Matanya sayu karena habis menangis. Entah mengapa, saya
merasa waktu berputar kembali, mengantarkan saya ke masa saat masih
mengandungnya. Saat saya berjuang melahirkannya. Tiba-tiba saja nasihat bijak
ibu saya tadi menghentikan semuanya. Meredam amarah yang sebelumnya begitu
menggebu-gebu.
Ada alasan dibalik kalimat
‘surga di bawah telapak kaki ibumu’. Dan saya ingin menjadi surga yang pantas
untuk Akira. Bukan sekedar ibu yang melahirkan, lalu pergi karena tidak tahan
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kalaupun suatu saat nanti saya bisa kembali
bekerja, saya ingin pekerjaan saya nanti tidak membuat saya menelantarkan tugas
saya sebagai seorang ibu.
“Ibu ingin menjadi surgamu,
Nak… Tolong semangati ibu…”
Komentar
Tapi tar kalo aku stres juga gantian saling menyemangati yak :)
Semngat Dinna, tetap tegar.
tiap org punya kesusahan masing2x. Kamu pasti bisa, ya.
Nah, gw ajah nih beloman, tapi semoga segera :))
suka banget sama tulisannya.
apalagi kata-kata terakhirnya "Ibu ingin menjadi surgamu, Nak… Tolong semangati ibu…"
*inget nyokap di rumah
Kalo senggang, boleh baca-baca tulisan ini. http://www.sujiwo.com/2017/01/blog-sujiwo-dan-2016.html
https://mysistermonsterdisaster.blogspot.co.id/
https://goo.gl/wsMQ1h