CERBUNG : Mengejar Langit 2
Dengan
bekal tabunganku 5 juta, uang pesangonku 2 juta dan uang pinjaman dari Mbok
Amik 3 juta, genaplah aku merantau ke Jakarta dengan membawa uang 10 juta.
Setelah pembicaraan kemarin lusa mengenai usul gila Mbok Amik yang memintaku
melamar kerja sebagai pramugari, hari ini aku benar-benar merealisasikannya.
Aku sudah banyak berbincang dengan Radinna melalui telpon, dan ia sangat
mendukungku untuk setidaknya mencoba peruntungan di Jakarta. Aku segera
mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan, membuat CV dan surat lamaran ke
maskapai yang sama tempat Radinna bekerja.
Dan
inilah saat keberangkatanku. Aku sudah berada di dalam bis, dan keluarga
angkatku itu masih menungguiku dari luar. Aku bisa melihatnya dari jendela,
mereka mendukungku dengan tulus, meskipun aku bukanlah siapa-siapa. Sungguh
Tuhan maha adil. Ia mengambil Ibuku, mengenyahkan Ayahku, dan membiarkanku
tumbuh tanpa saudara ataupun keluarga. Tapi ia segera memberi sebuah keluarga
utuh yang menganggapku adalah bagian dari anggota keluarga mereka. Aku tau,
Tuhan tidak akan pernah meninggalkanku.
***
Sinar
matahari membangunkanku. Seorang gadis berambut pirang sudah ada di ujung
tempat tidurku.
“Udah
siap buat perekrutan pertamamu, Rat?” ia Radinna. Sesampainya di Jakarta, ia
dan pacarnya lah yang menjemputku dan menemaniku mencari tempat kost yang dekat
dengan kantor Dirgantara Air, dimana perekrutannya diadakan setiap hari Senin.
“Siap
donk!” aku bergegas mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Aku belum pernah
semangat seperti ini!
Kupasrahkan
diriku dirias oleh Radinna, dia ahli untuk yang satu ini. Ia memasangkan bulu
mata yang terasa gatal dimataku. Aku memang sangat jarang berdandan. Sepanjang
ingatanku hanya saat kelulusan SMA, itupun hanya dirias oleh Bu Nyoman yang
sebenarnya tidak mahir dalam tata rias. Aku tidak punya uang untuk menyewa jasa
salon. Bahkan salon kelilingpun tidak.
Saat
melihat cermin, rasa percaya diriku memuncak. Perubahan drastis ini membuatku
sangat bersemangat dan yakin bisa diterima. Radinna bisa mendapatkannya hanya
dalam satu kali perekrutan, maka aku pun akan mendapatkannya. Lagipula setelah
dirias, aku terlihat tidak kalah cantik.
Dengan
berjalan kaki, kami mendatangi kantor Dirgantara Air. Aku menyerahkan semua
berkas yang dibutuhkan pada satpam disana yang memang bertugas mengumpulkan
seluruh berkas peserta perekrutan. Ketika akan mencari tempat duduk, seketika
nyaliku menciut. Mataku melihat begitu banyak gadis-gadis cantik dan yang
sangat cantik sedang ikut mengantri untuk dipanggil tes.
“Jangan
pesimis! Kalau kamu gak percaya dengan dirimu sendiri, bagaimana bisa
perusahaan ini mempercayakan kesempatan ini untukmu? Udaahh, cantik juga belum
tentu keterima kok!” hibur Radinna. Aku berusaha keras untuk tersenyum, tapi
bibirku terasa kaku.
Tidak
lama, nama demi nama dipanggil untuk menjalani tes performance. Yang dilihat
adalah tinggi dan berat badan, cara berjalan, serta penampilan fisik kita.
Meski Radinna berkali-kali mengucapkan kalimat motivasinya, aku tetap kesulitan
memperoleh kepercayaan diriku kembali. Rasanya bibirku membeku, untuk ditarik 1
milimeter saja memerlukan usaha yang setara ketika harus mengangkat kulkas dua
pintu. Berat!
“Ratna
Wulasih nomor peserta 209! Ratna Wulasih!” seorang Ibu-Ibu berperawakan gendut
memanggil namaku. Inilah waktunya…
“Tinggi
161 cm, berat badan 53 kg. Masih cukup ideal ya? Boleh saya lihat cara berjalan
anda? Silahkan anda berjalan bolak-balik dari sini hingga pintu keluar,
kemudian kembali lagi kesini.”
Aku
melakukannya masih dengan wajah tertekan. Aku terlalu takut untuk gagal, dan
perasaan inilah yang membebaniku. Aku heran, kenapa Radinna bisa melalui
perekrutan pertamanya dengan teramat-sangat santai. Ah, mungkin ia berbohong!
Tidak mungkin ia lolos hanya dalam satu kali perekrutan! Ia berbohong agar aku
bisa percaya diri. Dengan tampang yang sangat jauh dari kata cantik, IQ yang
bisa dibilang agak jongkok, mana mungkin aku bisa lolos jadi pramugari?
“Bagus
ya. Sekarang tolong julurkan tangan anda. Ya, tolong di balik. Tolong
berputar,” satu demi satu instruksi dari juri diberikan. Mereka melihat bekas
luka di tanganku dan juga kakiku.”
“Itu
bekas luka apa kalau saya boleh tahu? Sudah berapa lama?” tanya salah seorang
juri yang cantik. Sepertinya ia sangat peduli dengan fisik para calon
pramugarinya.
“Oh,
udah cukup lama sih Mbak. Ada 4-5 tahun, bekas jatuh naik sepeda motor,”
jawabku jujur.
“Hmm…”
ia lantas menuliskan sesuatu di berkas-berkasku. Dengan manis ia kemudian
memintaku menunggu di luar.
***
“Aku
gak bohong kok, Rat. Mungkin itu keberuntungan. Mungkin juga itu memang
jalanku. Tidak semua hal aku dapatkan dengan mudah, jadi apa salahnya jika kali
itu aku mendapat kemudahan?”
“Tapi
kenapa aku selalu mendapat kesulitan? Dari aku kecil dulu sampai sekarang aku
selalu hidup susah. Bapakku kabur, Ibuku meninggal. Setahun kerja, perusahaan
ditutup. Seberat apapun aku berusaha, aku selalu melarat. Kapan aku bisa
merubahnya? Kapan aku bisa seperti kamu?”
Kami
terdiam cukup lama. Radinna memeluk pundakku.
“Rat,
coba kamu inget-inget deh. Walau Bapakmu pergi, Ibumu tidak pernah sekalipun
meninggalkanmu. Sementara banyak anak yatim-piatu lainnya yang harus
menghabiskan masa kecil mereka di panti asuhan. Ketika Ibumu pergi, ada Nenekku
yang membantu biaya sekolahmu. Sementara banyak anak putus sekolah diluar sana.
Walaupun hanya berbekas ijazah SMA, kamu punya pekerjaan yang kamu senangi.
Sementara banyak sarjana-sarjana nganggur yang akhirnya toh bekerja tidak
sesuai dengan ijazah mereka.
“Kalau
kamu hanya melihat negatifnya, kamu akan selalu merasa kekurangan. Kamu akan
merasa hidup ini tidak adil. Kalau kamu hanya membandingkan dengan orang
diatasmu, kamu tidak akan belajar makna kata bersyukur. Percayalah Rat, aku juga
pernah ada di posisimu meski dalam kasus yang berbeda. Semua orang pernah. Dan
sadarilah, disaat kamu berkata kamu sudah berusaha, itu bukan berarti kamu
benar-benar berusaha. Cobalah lagi, lagi dan lagi. Masih banyak maskapai di
negeri ini. Belajarlah dari pengalaman. Aku yakin kok Rat, kamu pasti bisa.”
***
Aku
merapikan pakaianku. Setelah pembicaraanku dengan Radinna semalam, aku
membatalkan kepulanganku ke Bali. Aku bertekad untuk berjuang disini. Benar
kata Radinna, aku belum benar-benar berusaha. Aku bisa melakukan yang lebih
baik dari ini!
“Nomor
1012? Peserta dengan nomor-“
“Saya
Mbak!”
“Silahkan
ikut saya,” aku mengekor di belakangnya. Kali ini aku mencoba di maskapai lain,
Gegani Indonesia Airlines. Radinna member info bahwa hari itu sedang diadakan
walk-interview. Gegani Air adalah maskapai full service milik Negara. Sebuah
kenekatan juga setelah gagal di Dirgantara Air, malah mencoba peruntungan nasib
di maskapai yang lebih elite. Maklum aja, siapa sih yang tidak mau bergabung
disini? Terjamin karena perusahaan milik Negara.
“Kita
timbang berat badan sama tinggi badan dulu ya. Silahkan dilepas sepatu dan
tasnya bisa diletakkan dipinggir. Silahkan Mbak.”
Aku
menuruti semua yang diinstruksikannya dengan senyum yang tidak lepas dari
bibir. Kata Radinna ‘inget yah Rat,
senyum!!! Percaya diri aja kalo kamu pasti bisa dan harus bisa! Okeh? Good
luck!’
“Oke,
kamu lolos ya tes berat dan tinggi badan. Silahkan masuk ke dalam ya, antri
untuk interview user.”
Aku
tercengang. Lolos nih? Seriusan?! Demi apa???
“Silahkan
Mbak Ratna, langsung aja tunggu di dalam.”
“Eh
iya Mbak, terima kasih banyak Mbak!” tanpa sadar aku bahkan menyalami mereka
yang hanya tersenyum simpul melihat tingkahku.
‘Ya Tuhan… mudah-mudahan memang disinilah
rezekiku. Tolong mudahkan jalanku. Amin.’
*Bersambung
Komentar