CERBUNG : Mengejar Langit


                This is a new one , more beautiful than Kuta beach I think. Here we are, Dreamland!” aku suka melihat pemandangan ini. Tiap kali menjelaskan suatu tempat, para wisatawan asing akan tercengang dan beberapa detik kemudian mereka berhamburan layaknya anak TK yang dilepas di taman bermain.
            Kemampuan berbahasa Inggrisku standar, sebagai seorang guide untuk wisatawan asing mungkin aku kurang memuaskan. Tapi aku selalu senang setiap kali atasanku memberi kepercayaan untuk meng-handle tamu asing. Meskipun hanya tamatan SMA, aku bisa buktikan bahwa aku mampu berkomunikasi dengan para ‘bule’ ini sebaik sarjana Bahasa Inggris di luar sana.
            Oh iya, perkenalkan. Aku Ratna. Aku seorang guide di sebuah travel agent kecil di kawasan Seminyak-Bali. Aku bukan berasal dari Bali, aku arek Suroboyo yang mencintai pulau dewata dan memutuskan untuk hidup disini. Bali menghidupiku ketika orangtuaku tidak bisa lagi melakukannya. Ibuku meninggal karena kanker liver yang tidak pernah ditangani secara medis karena keterbatasan ekonomi kami. Beliau meninggalkanku tepat di hari kedua ujian kelulusan SMA-ku. Dan ayah… Ah, aku hanya mengenalnya melalui sebuah foto usang yang diambil di era tahun 60-an. Itupun sudah samar sejadi-jadinya akibat banjir. Ntah dia dimana, Ibu tidak pernah berniat sedikitpun menceritakannya.
            Seorang guru Bahasa Inggrisku, Bu Nyoman, mengasihaniku dan membantu semua biaya sekolahku hingga aku tamat SMA. Tapi ia hanya seorang guru SMA dengan tanggungan 3 orang anak, ia tidak mampu membantu biaya kuliah. Ah, tapi aku tidak membutuhkannya. Bagiku, bangku kuliah hanya bagi orang-orang yang mengerti E=mc2 saja, jadi aku tidak membutuhkannya. Aku butuh uang, setidaknya itu yang benar-benar kubutuhkan. Lagipula, aku bukan anak yang pintar. Nilaiku pas-pasan, malah dibeberapa mata pelajaran, nilai akademikku jeblok. Jadi sejak saat itu aku belajar menjauhi kata ‘sarjana’ dan men-setting mindset-ku menjadi ‘uang’. Toh tidak semua sarjana berhasil menghasilkan uang. Kalau saat ini saja aku tidak punya uang, bagaimana bisa aku mengharapkan bisa menjadi sarjana?
            Maka saat Bu Nyoman menawarkan pekerjaan sebagai seorang guide di travel agent kecil milik keponakannya di Bali, aku langsung menerimanya. Saat itu aku mengetahui Bali hanya melalui media internet, dan aku sungguh mengagumi keindahannya melalui foto-foto maupun artikel yang ditampilkan mengenai Bali. Aku bertekad, aku akan memperbaiki hidupku dan menjadi sukses di pulau seberang.
***
            “Maaf ya, Rat. Keluarga kami nggak akan bisa nge-handle travel agent ini. Lagipula banyak kali hutang perusahaan ini Rat. Lebih baik kami jual aja. Tapi kami nggak tau nasib karyawan gimana,” urai Mbok Amik, istri Bli Detu, pemilik travel agentku yang meninggal seminggu lalu. Beliau meninggal akibat serangan jantung mendadak ketika terjatuh dari anak tangga.
            “Iya Mbok, gak papa.”
            “Tapi kamu tetep bisa tinggal dirumah ini kok, Rat. Kamu bisa nemenin Mbok disini sambil bantu Mbok ngurus Pandu dan Rama,” hiburnya cepat dengan logat khas Bali.
            “Makasih banyak Mbok. Tapi kayanya aku harus cari kerja lain juga, aku gak mau jadi beban,” aku tersenyum dan masuk ke kamar. Aku terduduk lemas. Aku kehilangan sosok atasan hebat seperti Bli Detu yang sudah kuanggap Kakak sendiri sekaligus kehilangan pekerjaan yang sangat kusukai setahun belakangan ini. Pandangan mataku terpaku pada sebuah album foto yang sepertinya baru saja diletakkan disana. Mbok Amik melongokkan kepala kekamarku.
            “Ah iya, Mbok titip album foto waktu ngaben (acara pembakaran bagi umat Hindu yang meninggal dunia) kemarin ya. Jangan sampai dilihat Pandu atau Rama, mereka pasti nangis-nangis lagi minta Bapaknya. Mbok gak kuat dengernya,” ujarnya masih dalam senyum. ‘Ah, Mbok Amik berusaha terlihat tidak bersedih meski aku tau, tiap malam ia menangis di dapur. Ia hanya ingin terlihat tegar.’
            Aku membuka satu demi satu album foto itu. Semua foto diisi dengan orang-orang yang menangisi kepergian Bli Detu yang terlalu cepat dan mendadak. Tanpa terasa air mataku ikut mengalir, padahal 2 hari semenjak kepergian beliau, aku tidak pernah lagi menangisinya. Tiba-tiba mataku terhenti pada sebuah foto. Ada seorang gadis difoto itu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. ‘Ah, mungkin hanya tamu atau keluarga jauh Bli Detu.’
            Aku terus membalik halaman demi halaman dan melihat gadis itu ada dibeberapa foto bersama Bli Agus, adik laki-laki Bli Detu yang bekerja di kapal pesiar. Ia juga terlihat menggendong Pandu dan Rama bersama Bu Nining, Ibu dari Bli Detu. Ketika kuperhatikan lebih seksama, ia sangat mirip dengan Alm. Bli Detu.
            “Mbok, ini siapa ya? Kok aku ga kenal tapi fotonya banyak banget disini?” aku menyodorkan sebuah foto dimana gadis berambut pirang itu sedang menghapus airmatanya.
            “Oh, ini Radinna. Adiknya Bli Detu yang kerja jadi pramugari. Udah 2 tahun di Jakarta, jarang banget pulang. Itu pun kemarin pulang Cuma 2 hari karena susah dapet ijin dari perusahaannya. Kenapa?”
            “Oh enggak, Cuma agak familiar aja ama mukanya. Mirip Bli Detu. Ya udah Mbok, aku tidur dulu ya. Udah malem. Mbok juga istirahat ya, jangan sampai sakit.”
            Aku kembali memasuki kamarku dan termenung. Ntah kenapa, nama itu sangat menggangguku. Aku bergegas menyalakan computer dan memasuki dunia internet, menjelajahi dunia maya untuk mencari tahu tentang gadis ini.
            Ternyata benar, ia adalah seorang pramugari. Aku mengetahuinya dari foto-fotonya di facebook yang menggunakan seragam dari sebuah maskapai swasta di Indonesia, Dirgantara Airlines. Selain itu, rupanya ia pandai menulis. Dari facebooknya, aku menemukan sebuah link blog yang berisi catatan penerbangannya. Aku menghabiskan malam dengan membaca semua postingannya di blog yang ia namai ‘Blog Of Pramugalau’.
***
            “Rat, bangun. Gak sakit tuh kamu tidur sambil duduk begitu?”
            Aku membuka mataku perlahan. Rasa sakit menyerang dibagian leher. Ah, rupanya aku tertidur di atas meja computer saat asik membaca blog.
            “Iya nih Mbok, keenakan baca blognya Mbok Radinna. Pegel juga leherku jadinya.”
            “Oh, iya! Dia emang suka nulis kok. Gak tau kok nyasarnya malah jadi pramugari. Gak mau kuliah kalo bukan di jurusan seni katanya. Ujung-ujungnya malah merantau nyari kerja di Jakarta.”
            “Wah, keren ya? Berarti tamatan SMA juga donk Mbok? Emang bisa ya Mbok, tamatan SMA doank jadi pramugari?”
            “Bisa kok, tuh Radinna buktinya,” Mbok Amik terdiam sejenak. Ia menatapku lekat-lekat. “Kamu coba ngelamar jadi pramugari aja Rat, siapa tau keterima!” usulnya semangat.
            “Hah? Pramugari?”
            “Iya! Nanti Mbok kasi nomor hapenya Radinna, kamu bisa tanya-tanya dia. Gimana?”
            “Mbuh! Ngipi ketinggian Mbok, masa aku jadi pramugari? Aneh-aneh aja.”
            “Ehh, coba aja dulu. Gak ada salahnya kan? Kalo gak keterima ya udah, kamu balik aja ke Bali. Sekalian cari pengalaman. Rejeki kan ditangan Tuhan, Rat. Gak boleh pesimis kalo belum dicoba!”
            Aku termenung. ‘Tapi… pramugari?’
*bersambung

Komentar

Radinna Nandakita mengatakan…
paling bawah om, dibaca coba.. kan sering muncul kalo ada sinetron
Rahmanucup mengatakan…
Yah bersambung.. Ditunggu sambungannya secepatnya..
Unknown mengatakan…
jadi sekarang mbak ratna udah jd fa ya mbak? wah, hebat :)
Alifia Iqbal mengatakan…
wah, bagus banget tulisannya kak :)

Postingan Populer