CERBUNG : Mengejar Langit 3
Aku membuka
pintu perlahan, 3 wanita yang tampaknya akan menentukan lolos atau tidaknya aku
dalam perekrutan ini sudah duduk manis sembari mengisi lembaran kertas yang
entah apa. Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku. Aku menelan ludah.
‘Bismillah…’
“Selamat
siang, perke-“ aku baru saja ingin memperkenalkan diri, tapi salah satu juri
bertubuh gendut dengan dandanan menor memotongnya.
“Maaf,
apakah saya sudah mempersilahkan anda masuk?”
“Saya rasa
belum. Ia bahkan tidak mengetuk pintu,”sambung juri lainnya. Aku termenung,
masih bingung apa yang sedang mereka bicarakan. Memangnya ada apa kalau aku
masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu? Mereka memang akan men-interview
aku kan? Bukan, seharusnya pertanyaanku adalah : ini memang ruang interview
kan??
“Maaf tapi
saya-“
“Silahkan
ambil kartu ini. Semoga kita bertemu di kesempatan lain.”
Dengan
masih tidak menyangka apa yang baru saja terjadi, aku menyeret kakiku dengan
paksa untuk mengambil kartu itu. Merah.
“Terimakasih.”
Itulah
satu-satunya kalimat yang bisa kuucapkan utuh tanpa mereka potong sepatah
katapun. Aku berjalan menuju pintu. Dan lambat laun aku sadar, aku gagal.
***
“Kalau
mereka nganggep aku gak sopan, gimana dengan mereka yang motong omonganku
terus?! Memotong pembicaraan jauh lebih gak sopan daripada masuk ke ruang
interview tanpa mengetuk pintu!” kataku setengah berteriak ditelfon. Dinna
tidak bisa datang menghiburku di kos karena sibuk dengan tugas terbangnya. Aku
benar-benar merasa kesepian.
“Rat, yang
cari kerja itu kamu, mereka lah yang menentukan kamu diterima atau tidak. Yang
melamar kesana ribuan! Itu saingan kamu semua. Mereka harus mengambil keputusan
dengan cepat apakah kamu bisa lolos tahap selanjutnya atau tidak, karena
interview adalah proses penyaringan yang paling kritis. Memang banyak yang gagal
disana. Akui saja, itu memang kesalahanmu. Yang harus kau lakukan berikutnya
adalah belajar dari pengalaman. Itu saja!”
“Tapi ini
adalah kegagalan yang kedua kalinya. Ah, sudahlah. Aku akan pulang ke Bali.
Memang sulit untuk menjadi pramugari. Kalau mudah, semua orang pasti sudah menjadi pramugari saat ini!”
“Memang
sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin. Gagal dua kali dan kamu menyerah? Ah,
terserah padamu. Aku lelah sekali, penerbangan hari ini tidak begitu
menyenangkan. Beritahu jam berapa kepulanganmu besok. Mudah-mudahan aku sudah
tiba Jakarta sebelumnya agar bisa mengantarmu.”
Klik.
Radinna
mematikan telfon. Aku semakin merasa sendirian. Tidak hanya di Jakarta. Tapi
jauh didalam hatiku, aku memang sendiri. Ibu,
dimana engkau saat anakmu butuh pelukan?
Aku
membaringkan tubuhku perlahan dan menyanyikan sebuah lagu yang Dinna ciptakan dan nyanyikan
diawal pertemuan kami. Sebuah lagu penyemangat yang selalu kunyanyikan saat
mengikuti perekrutan.
Aku menatap
ke atas. Kulihat masa depan yang indah disana.
Disanalah
aku, suatu hari nanti. Terbang dan terbang dan terbang…
Satu
bahasa ke bahasa lain.
Satu
makanan ke makanan lain.
Satu
tempat hiburan ke tempat hiburan lain.
Ya, ya, ya…
Disanalah aku nanti. Terbang dan terbang dan terbang.
Reff :
I just
wanna fly, through the skies.
I don’t wanna
waste too much time, wanna fly now.
My heart
won’t move to another place. It’s sky. Fly to sky, high.
There’s no
gravity to hold me down for real.
I just
wanna fly to sky, high…
Bersambung
Komentar