My Holly-Days Part I
Huah!
Rasanya udah lama banget gue ga ngeposting lagi. Baru dibuka, sarang laba-laba
dan zombie berkeliaran di setiap sudutnya. Hehehe… Mohon maaf dan pengertiannya
yah, si empunya blog kemarin lagi sibuk mempersiapkan cutinya yang hanya
didapat 2 minggu dalam satu tahun. Ini adalah catatan tentang hari-hari suci gue (jatohnya kaya hari raya bo, setahun sekali) yang gue bagi menjadi beberapa bagian. Dan bisa dipastikan, postingan blog gue
bakal penuh berisi acara liburan gue. Beberapa cerita penerbangan masih akan
gue sisipkan, tenang aja. Yang jelas, gue akan membagi kebahagiaan cuti gue
bersama kalian para galaucomers!
Cuti
gue dimulai dari tanggal 16 September sampai 30 September. 2 minggu yang sangat
berharga dan gue nantikan akhirnya datang juga! Gue sengaja memundurkan jadwal
kepulangan gue ke Bali menjadi tanggal 17 September karena terlebih dahulu
punya janji berkumpul bersama keempat sahabat gue. Sayang beribu sayang, hari
pertama gue nyaris hancur karena kurangnya komunikasi dan koordinasi tentang
acara kami. Gue kecewa. Gue sangat menantikan untuk bisa berkumpul lagi bersama
mereka. Gue berusaha menghubungi mereka lewat SMS 1 minggu sebelum cuti,
menghubungi mereka lewat social media,
tapi ntah lah. Gue gak mendapat respon yang gue harapkan. Malah mereka
tiba-tiba membalas pesan gue dan mengajak jalan agar gue gak ngambek seperti
anak kecil yang dibatalkan janjinya. Ahh.. Kalo Cuma gue yang menginginkannya,
buat apa? Lebih baik 1 hari ini rusak daripada harus memaksakan kehendak.
Lagipula sepertinya acara kumpul bersama ini tidak lagi menarik seperti awal
direncanakan.
Gue
memutuskan untuk mengabaikan mereka sementara waktu. Gue butuh waktu untuk
meredam sifat egois gue. Gue butuh waktu untuk menghibur rasa kecewa karena 1
hari yang gue lewatkan dengan percuma. Daripada bertengkar, gue memutuskan
untuk diam. Syukurlah ada pangeran berkuda putih yang datang membawa sebuket bunga
mawar putih. EHEM! Okeh, terlalu ngarep memang. Maksud gue, Maherda datang
menawarkan diri untuk mengajak gue sekedar hang
out agar tidak terlalu sedih dengan kegagalan acara ini. Ia mengorbankan 1
hari cutinya yang harusnya ia pakai ke Bandung untuk menemani gue, romantis
sekali!
Jadilah
pada tanggal 16 September, di hari pertama cuti, gue masih melewatkan hari di
Tangerang. Berwisata kuliner di Festival Kuliner Nusantara Serpong di
Summarecon Mall Serpong dan menonton sebuah film yang diangkat dari kisah
nyata, Frozen Ground. Sebenernya film ini gak masuk dalam list film yang pengen gue tonton. Tapi berhubung Incidious Chapter 2 belom muncul dan
film-film keren lainnya udah gue tonton, gue pasrah. Not a bad movie at least, but a bad ending I think. Ntah kenapa
kurang puas aja sama endingnya yang terkesan unklimaks. Tapi ya sudah lah,
namanya juga diangkat dari kisah nyata.
Suasana Festival Kuliner Serpong. |
Tanpa
terasa, 1 hari berlalu. Gue terbangun dan mendapati hari itu adalah hari
selasa, which is HARI KEDUA CUTI
GUE!!! Gue sangat excited untuk
pulang ke surga dunia. Pulau Dewata Bali. Kampung halaman gue tercinta. Gue
mendapat tiket konsesi sehingga bisa naik pesawat gratis saat cuti. Gak hanya
buat gue loh, tapi juga kedua orangtua gue. Asik kaann? Dari pagi sebelum
berangkat, gue sengaja gak mengisi perut gue sedikitpun. Mulai hari itu, gue
bertekad akan mengisi perut gue dengan makanan-makanan yang hanya ada di Bali
dan sangat gue rindukan. Gue bahkan punya list
khusus loh!
1.
Nasi
Be Guling : nasi campur dengan bahan daging babi yang diolah menjadi sate, urutan, lawar, dan sebagainya.
2.
Siobak
Khelok : berlokasi sangat dekat dengan rumah gue di Singaraja. Ini sih buatan
orang China, hanya saja berbahan dasar daging babi.
3.
Blayag :
makanan berisi ketupat, sayur, irisan ayam dengan saus berwarna kuning seperti
saus sate padang.
4.
Be Kopok :
kalau ini gak dijual di restoran manapun. Ini adalah menu kreasi keluarga gue.
Ayam panggang dengan saus kopok. Gue
sendiri bingung jelasinnya kaya gimana, yang jelas uenak puol!
5.
Rujak
kuah pindang : kalo denger namanya emang aneh sih, tapi kalo soal rasa gak usah
ditanya! MANTAP SURANTAP! Cukanya terbuat dari air tirisan daging pindang, jadi
jangan kaget kalo cium bau amis saat memakannya.
Segitu dulu lah, kalo dilanjutin gue
bisa ngeces sendiri ini! Berbekal tekad itu, gue pun semangat ’45 menahan lapar
saat menanti delay di terminal 3 Soekarno-Hatta. Karena sudah terbiasa dengan
delay, gue ngerasa santai saat penerbangan mengalami keterlambatan selama 1
jam. Gue pernah merasakan yang lebih parah 4-6 jam. 1 jam mah kecil!
Gue menghabiskan waktu di pesawat
dalam alam mimpi. Gue memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beristirahat
karena nanti malam bakal menikmati hiruk-pikuk malam di Sky Garden, sebuah club
malam yang bertempat di sebelah monumen peringatan bom Bali. Gue terbangun
sesaat sebelum mendarat. Melihat hamparan laut membuat gue bergidik ngeri saat
teringat kasus pesawat gue yang tenggelam disana. Gue memejamkan mata dan
berdoa, ‘jangan jadikan ini cuti pertama
dan cuti terakhir gue, please…’
Pesawat gue mendarat sempurna di
Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali. Ah, rasanya gue pengen nari kecak dan
cium tanah! Setelah masuk bis yang akan mengantar gue ke terminal kedatangan,
gue menelfon Adit, Kakak Sepupu gue tercinta yang ganteng luar biasa! Adit
memang selalu bisa diandalkan setiap kali gue butuh pertolongan. Malam nantipun
Adit yang akan menemani gue ke Sky Garden, tentu dengan imbalan gue
membayarinya tiket masuk. Tapi itu gak sebanding dengan apa yang selalu ia
lakukan buat gue.
Malam pun tiba. Gue bersiap-siap dari
jam 10 malam untuk berangkat jam 11 malam. Niatnya sih ngincer free entry for ladies. Tapi sayang,
ternyata free entry hanya berlaku
buat yang masuk jam 10 malam. Jadilah kami merogoh kocek 75 ribu perorang. Ah,
segini sih masih murah kalo dibandingkan dengan harga di Jakarta dengan
kualitas hiburan yang tidak seberapa. Gue, Adit, dan ketiga teman Adit segera
naik ke roof top. Berbeda dengan
Boshe, Sky Garden memang terdiri dari beberapa lantai. Setiap lantai memiliki
aliran musik yang berbeda. Di lantai kedua lo bisa melihat gadis cantik dan seksi
yang meliuk indah dengan bikininya di atas bar sementara bartender di
belakangnya berusaha berkosentrasi meracik minuman yang terlihat tidak tertarik
memperhatikan sang gadis menari-nari.
Kami sampai di roof top dan segera memesan minuman. Gue yang sedang gak enak badan
membulatkan tekad untuk tidak minum alcohol jenis apapun, satu tetespun. Gue
memesan air mineral ukuran kecil, itu membuat gue terlihat cupu dilautan bule
yang mengangkat gelas atau botol beer mereka. Lama-lama gue tersiksa juga
karena tidak bisa menikmati musik. Gue mengalah. Vodka mix Smirnoff pun
mengalir tetes demi tetes di kerongkongan gue. Beberapa menit kemudian, gue
mulai bisa mengangkat tangan dan ikut meliukkan tubuh. Gue memang sangat lemah
dengan alcohol. 1-2 gelas sudah cukup membuat gue sedikit lupa diri. 5 gelas
cukup membuat gue kejang-kejang.
Jam 3 pagi, pesta berakhir. Lebih
tepatnya, kami memutuskan untuk mengakhiri pesta ini dan mendului pestawan-pestawati
lainnya yang sama sekali tidak terlihat kelelahan padahal gue udah gak mampu
lagi jalan lurus. Bukan karena gue mabuk, tapi karena kelelahan dan sedikit
pusing. Meskipun begitu, gue sangat menikmati malam ini. Terlepas dari crew dan pesawat. Paling tidak, gue bisa
puas menikmati malam itu tanpa harus mengingat budaya ‘mbak ijin ini-itu’. Gue
puas karena bisa menjadi diri gue sendiri, bebas mengangkat gelas dan
menyalakan rokok, menari dengan siapa saja. Bebas yang masih bisa gue
pertanggungjawabkan. Sebuah kebebasan yang masih bisa gue kontrol batasannya.
Dan gue merasa tidak ada salahnya sekali-sekali menikmati hidup seperti itu.
Kita punya cara berbeda untuk merefreshing diri masing-masing, bukan?
Sebelum pulang, nyempetin dulu jadi anak alay. |
Jam setengah 4 pagi gue sampai rumah
Adit di kawasan Panjer, Denpasar. Gue langsung terlelap dan memulai orchestra
ngorok. Gue harus beristirahat cukup karena jam 9 pagi harus melanjutkan
perjalanan menuju Singaraja, kota kelahiran gue di Bali Utara. So… goodbye Skies. Thanks for the greatest
night… -to be continued-
Komentar