Tugas Rumahan Pramugari
Menjadi pramugari, bukan berarti lo harus punya gelar S3 di bidang tata rias. Tapi lo harus punya sertifikat buat uji kesabaran, uji kejijikan, dan uji keramahan. Itu wajib banget! Cantik tapi gak punya 3 hal itu, karir lo sebagai pramugari patut dipertanyakan. Beberapa cerita di bawah ini bisa menjadi gambaran, apa yang akan lo hadapi setelah menjadi pramugari.
Karena gue bekerja di maskapai penyandang low cost carrier, dimana itu berarti harga tiket maskapai gue sangat terjangkau dompet, maka gue dipastikan akan bertemu berbaga tipe penumpang dari berbagai kalangan. Ntah itu niang-niang Padang, masteng-masteng Banjarmasin, bule-bule Denpasar atau Koko-Koko Surabaya. Dari penumpang yang baru pertama kali naik pesawat, penumpang yang terlalu sering naik pesawat, sampai penumpang yang ngira pesawat sama dengan angkutan kota bisa gue temui tiap harinya.
Gue pernah bertemu dengan seorang nenek-nenek yang sudah sangat renta. Untuk berdiri saja ia susah, harus terus dipapah anak lelakinya. Nenek itu menggunakan toilet untuk buang air besar sambil ditunggui anaknya. Cukup lama si nenek berada di dalam toilet. Begitu pintu di buka, aroma busuk langsung merebak memenuhi galley belakang. Gue dan 2 junior gue langsung menutup hidung dan megap-megap cari oksigen segar. Si Nenek dengan susah payah berusaha keluar dari toilet. Dengan sopan, junior gue menegur si Nenek.
"Nek, kalau sudah selesai, tombol birunya di tekan ya!" ujar salah satu junior gue sembari masih menutup hidung. Gue mendengus kesal. Cara bicaranya memang sopan, tapi sikapnya menutup hidung itu bagi gue bisa membuat orang lain tersinggung. Gue berdiri dan memperhatikan si Nenek sambil tersenyum. Ia hanya melihat junior gue dan anak lelakinya bergantian dengan tatapa tidak mengerti. Junior gue ingin angkat bicara lagi, tapi segera gue potong.
"Udah Mas, jalan dulu aja. Biar saya yang bersihkan," ucap gue sambil tersenyum. Kedua junior gue yang sebelumnya diam tiba-tiba berebut mau membersihkan toilet.
"Gak papa, biar gue aja."
Sebenernya gue kecewa dengan kedua junior gue ini. Mereka terlatih sigap membantu senior, bukannya membantu penumpang. Ada yang salah disini. Kenapa loyalitas mereka terhadap senior malah lebih tinggi daripada ke penumpang. Gue membuka pintu toilet dan melihat setengah closet penuh berisi tai encer seperti mencret. Mungkin memang mencret, dan banyaknya pake banget. Hebat juga tuh nenek-nenek, gue aja boker gak pernah sebanyak ini!
Gue menekan tombol 'flush' dan whuzzhh, kotoran tersedot ke dimensi lain. Tapi sayangnya, meskipun udah gue flush berkali-kali, masih ada kotoran bandel yang melekat di sisi closet. Penerbangan masih panjang, kalo gue harus menutup satu toilet, kasihan kalau nanti banyak yang mau menggunakannya. Akhirnya gue mengambil airsickness bag dan membersihkan sendiri kotoran itu. Ya, dengan tangan gue yang dibungkus kantung muntah. Rasa mual, jijik, dan baunya yang belum hilang menyatu dan membuat gue ingin muntah. Akhirnya dalam 5 menit, toilet itu bersih seperti sedia kala.
Ada cerita lagi, saat gue in charge sebagai FA 5 dan menjabat sebagai FA paling junior di penerbangan itu. Seorang Bapak-Bapak yang belum terlalu tua muntah di wastafel. Karena gue adalah FA junior, maka gue lah yang wajib membersihkan muntahan si Bapak. Ntah lah siapa pembuat hukum ini, tapi memang begitulah keadaannya di lapangan. Gue harus menyiram wastafel dengan air, membilasnya, mengisi air lagi, dibilas lagi. Setelah agak bersih baru gue bilas sisanya menggunakan tissue.
Pernah lagi gue harus memegangi kemaluan seorang anak kecil berusia 4 tahun yang ingin pipis. Ibunya sibuk dengan seorang bayi dan anaknya yang lain. Jadilah gue setengah mengangkat si anak dan memegangi tititnya (sumpah, gue berasa tante pedofil kalo kaya gini) supaya air kencingnya gak berceceran.
Semua rasa jijik, mual, ingin muntah pasti ada. Tapi toh gue tetap melakukannya. Gue berusaha mengingat Ibu yang tanpa ragu melakukan itu semua kepada gue saat gue kecil. Padahal gue tidak membayar jasa Ibu sepeserpun. Jadi ketika penumpang gue membutuhkan perhatian ekstra karena ketidaktahuannya atau keterbatasannya, maka wajib bagi gue untuk membantu mereka. Bagaimanapun, penumpanglah yang membayar gaji gue. Membuat gue bisa makan enak tiap harinya, selalu bisa mengirim uang ke rumah tiap bulannya.
Jadi, sekarang udah tau kan, dibalik anggunnya seragam pramugari, kadangkala ada tugas 'rumahan' yang harus bisa lo kerjakan. Bagi gue, tugas ini bisa jadi sebagai latihan gue untuk nantinya merawat Ibu gue dan bahkan Ibu mertua gue saat beliau membutuhkan. Seperti pengabdian Ibu kepada nenek yang merupakan Ibu mertuanya, maka gue bertekad bahwa nanti gue pun akan berbakti seperti beliau. Dan ini, adalah saatnya gue membiasakan diri. :))
Karena gue bekerja di maskapai penyandang low cost carrier, dimana itu berarti harga tiket maskapai gue sangat terjangkau dompet, maka gue dipastikan akan bertemu berbaga tipe penumpang dari berbagai kalangan. Ntah itu niang-niang Padang, masteng-masteng Banjarmasin, bule-bule Denpasar atau Koko-Koko Surabaya. Dari penumpang yang baru pertama kali naik pesawat, penumpang yang terlalu sering naik pesawat, sampai penumpang yang ngira pesawat sama dengan angkutan kota bisa gue temui tiap harinya.
Gue pernah bertemu dengan seorang nenek-nenek yang sudah sangat renta. Untuk berdiri saja ia susah, harus terus dipapah anak lelakinya. Nenek itu menggunakan toilet untuk buang air besar sambil ditunggui anaknya. Cukup lama si nenek berada di dalam toilet. Begitu pintu di buka, aroma busuk langsung merebak memenuhi galley belakang. Gue dan 2 junior gue langsung menutup hidung dan megap-megap cari oksigen segar. Si Nenek dengan susah payah berusaha keluar dari toilet. Dengan sopan, junior gue menegur si Nenek.
"Nek, kalau sudah selesai, tombol birunya di tekan ya!" ujar salah satu junior gue sembari masih menutup hidung. Gue mendengus kesal. Cara bicaranya memang sopan, tapi sikapnya menutup hidung itu bagi gue bisa membuat orang lain tersinggung. Gue berdiri dan memperhatikan si Nenek sambil tersenyum. Ia hanya melihat junior gue dan anak lelakinya bergantian dengan tatapa tidak mengerti. Junior gue ingin angkat bicara lagi, tapi segera gue potong.
"Udah Mas, jalan dulu aja. Biar saya yang bersihkan," ucap gue sambil tersenyum. Kedua junior gue yang sebelumnya diam tiba-tiba berebut mau membersihkan toilet.
"Gak papa, biar gue aja."
Sebenernya gue kecewa dengan kedua junior gue ini. Mereka terlatih sigap membantu senior, bukannya membantu penumpang. Ada yang salah disini. Kenapa loyalitas mereka terhadap senior malah lebih tinggi daripada ke penumpang. Gue membuka pintu toilet dan melihat setengah closet penuh berisi tai encer seperti mencret. Mungkin memang mencret, dan banyaknya pake banget. Hebat juga tuh nenek-nenek, gue aja boker gak pernah sebanyak ini!
Gue menekan tombol 'flush' dan whuzzhh, kotoran tersedot ke dimensi lain. Tapi sayangnya, meskipun udah gue flush berkali-kali, masih ada kotoran bandel yang melekat di sisi closet. Penerbangan masih panjang, kalo gue harus menutup satu toilet, kasihan kalau nanti banyak yang mau menggunakannya. Akhirnya gue mengambil airsickness bag dan membersihkan sendiri kotoran itu. Ya, dengan tangan gue yang dibungkus kantung muntah. Rasa mual, jijik, dan baunya yang belum hilang menyatu dan membuat gue ingin muntah. Akhirnya dalam 5 menit, toilet itu bersih seperti sedia kala.
Ada cerita lagi, saat gue in charge sebagai FA 5 dan menjabat sebagai FA paling junior di penerbangan itu. Seorang Bapak-Bapak yang belum terlalu tua muntah di wastafel. Karena gue adalah FA junior, maka gue lah yang wajib membersihkan muntahan si Bapak. Ntah lah siapa pembuat hukum ini, tapi memang begitulah keadaannya di lapangan. Gue harus menyiram wastafel dengan air, membilasnya, mengisi air lagi, dibilas lagi. Setelah agak bersih baru gue bilas sisanya menggunakan tissue.
Pernah lagi gue harus memegangi kemaluan seorang anak kecil berusia 4 tahun yang ingin pipis. Ibunya sibuk dengan seorang bayi dan anaknya yang lain. Jadilah gue setengah mengangkat si anak dan memegangi tititnya (sumpah, gue berasa tante pedofil kalo kaya gini) supaya air kencingnya gak berceceran.
Semua rasa jijik, mual, ingin muntah pasti ada. Tapi toh gue tetap melakukannya. Gue berusaha mengingat Ibu yang tanpa ragu melakukan itu semua kepada gue saat gue kecil. Padahal gue tidak membayar jasa Ibu sepeserpun. Jadi ketika penumpang gue membutuhkan perhatian ekstra karena ketidaktahuannya atau keterbatasannya, maka wajib bagi gue untuk membantu mereka. Bagaimanapun, penumpanglah yang membayar gaji gue. Membuat gue bisa makan enak tiap harinya, selalu bisa mengirim uang ke rumah tiap bulannya.
Jadi, sekarang udah tau kan, dibalik anggunnya seragam pramugari, kadangkala ada tugas 'rumahan' yang harus bisa lo kerjakan. Bagi gue, tugas ini bisa jadi sebagai latihan gue untuk nantinya merawat Ibu gue dan bahkan Ibu mertua gue saat beliau membutuhkan. Seperti pengabdian Ibu kepada nenek yang merupakan Ibu mertuanya, maka gue bertekad bahwa nanti gue pun akan berbakti seperti beliau. Dan ini, adalah saatnya gue membiasakan diri. :))
Komentar
Lo hebatttt.... Salut dehh..
Makanya lo pantes buat naik tingkat ke batik air.. Selamat yaa din.. Smoga di tempat baru lo gaada senioritasnya..
sukses buat lo... Have fun buat liburannyaa.. :)
Oya saran donkk.. Itu pliss ilangin verifikasi buat nge post komentarnya.. Jujurr tiap komen di blog lo, bikin gue semaput, seratus kalii musti coba itu kode verifikasinya.. Mata gue agak siwerr liatinn kodenyaa.. Sarannya smoga diterima :)
Setuju sama saran mas Rahman Yusuf di atas. Verifikasinya diilangin aja. Aku juga kadang stress ngadepinnya buahahaha
Salam kenal ya, mbak.. Ikut ngeramein GA ku yuuk ^^
http://noniq.blogspot.com/2013/08/1-giveaway-noniq-diary-x-firmoo.html
Salam kenal . Nanti aku mampir yaa
dan orang yang benar2 jelek akan menunjukan kebaikan.. 4 thumbs up.. for you sis..
Januari 2012 gw ke Jakarta berdua doang sama anak gw yg wkt itu msh umur 6 bulan. Berangkat pake GA, pulang pake JT.
Disitulah keliatan beda bgt antara mugari GA dan JT. Dr mulai masuk pesawat, gw waktu itu hanya bawa 1 tas ransel sama 1 tas tangan, Krn males ngebagasiin tas ransel gw yg gedenya nggak seberapa dan males ngantri bagasi saat di bandara nanti, jd gw bawa ke cabin. Mugari GA dg sigap langsung bantu gw taruh tas ransel gw di headrack, mugari JT gw hrs minta tlg dulu ke mereka. Gw tau itu bukan tugas mereka untuk naruhin barang penumpang ke headrack, tapi setidaknya mugari bs lihat mana org yg bener2 butuh untuk dibantu.
Yg Kedua, ga tau kenapa anak gw demen bgt pup kalo lg di pesawat. Pas di GA, anak gw pup, gw langsung bawa ke lavatory. Mugari GA dg sigap bukain pintu lavatory dan bantu nyiapin meja yg u/ bayi di dlm lavatory (gw ga tau namanya apa). Gw ngerasa sangat dibantu banget. Pas naik JT anak gw pup juga dan langsung gw bawa ke lavatory, tp ga ada mugari yg bukain pintu lavatory (gw lg ngeliat mugari lg becanda2 di galley). Trus di dlm lavatory gw bingung kok ga ada meja yg bs dibuka u/ bayi2 itu. Trus gw tanya ke mugari yg lg becanda2 itu dan mereka baru bantu gw.
Sorry ya Mbak, bukannya gw mau ngejelek2in maskapai tempat Mbak Dinna kerja, tp itu pengalaman pribadi gw. Gw tau GA sm JT emang beda, yg 1 full service dan yg satu lg LCC, tp tolong service mugari u/ hal2 yg seperti itu jangan dikurangi, Krn itu bukan lg masalah harga tiket yg beda jauh, tp masalah rasa kemanusiaan.
Coba kalo di penerbangan gw waktu itu mugarinya Mbak Dinna pasti gw ga bakalan ngalamin pengalaman yg lumayan nggak ngenakin sm JT. :)
Nah, pengalaman berbeda gw dapatkan justru ketika gw naik AA. Saat itu gw terbang dr jakarta menuju Jogja. Pengalaman gw saat mengerjai salah satu FA dr maskapai ini sempat gw ceritakan juga diblog. Nah, keramahan mrk sangat gw acungi jempol. Mrka lcc sama sprti gw, tp mrka tetep menunjukkan mrka pramugari. Karena kepramugarian seseorang gak diliat dr maskapai yg menaunginya, tp dr dirinya sndiri. :)) Gw prcaya, pengalaman buruk mbk di JT dan gw di GA tdk langsung serta merta menciptakan 'bad image'. Mudah-mudahan kalo banyak pramugari yg baca curhatan kita ini, mrk akan sadar untuk kembali memperbaiki kualitas kepramugarian mereka. :)
Psst, kalo soal bagasi, gw juga gak mau loh angkatin barang penumpang, kecuali dlm keadaan terpaksa. Paling banter gw membantu, jd kopernya diangkat berdua. Gw gak mau membiasakan penumpang gw melihat 'o, bisa nyuruh pramugarinya angkatin barang'. Lama-kelamaan itu yg buat penumpang jd semena mena sama kami. Kadang gw malah memberitahu penumpang gw, dgn baik baik tentunya, agar barang mereka dibagasikan saja. selain gak merepotkan mereka, toh kalo amit amit kecelakaan, barang yg akan diganti rugi oleh maskapai adala barang yg terdata di bagasikan di bawah alias di cargo compartment. Kalau mereka kekeh ga mau membagasikan krn alasan mrka gak mw antri lama saat ambil bagasi, ya itu resiko mereka ktika di pesawat hrs bersusah susah taruh bagasi mrka di headrack. Jangan serta merta meminta kemanusiawian pramugari. Jadi, kalo suatu saat nanti ketemu mbak di penerbangan gw, mungkin mbak ga akan mengalami pengalaman saat di GA dmna pramugari GA dgn sigap lsg membantu mbak mengangkat brg Mbak. Krna gw scara pribadi ga akan membantu tanpa diminta. Kalaupun mbak minta pertolongan, gw akan membantu dgn angkat berdua, bukan gw angkat brg penumpang sndirian. Jadi kalo trjadi apa-apa, ntah brg yg mbak taruh ada gelasnya then gelas itu pecah, gw ga jd satu satunya org yg disalahkan. gw kan diminta bantuan? Gitu sih kalo gw mbak.
Selama ini naek pesawat cuma mratiin fasilitas pesawat dan baju2 FA yang cantik2. Laen kali mratiin kerjaan FA juga ah... hehehe...
Salut dech