My Holly-Days Part II
Tanggal 18 September yang merupakan
hari suci ketiga gue, akhirnya gue pakai untuk pulang ke kota kecil kelahiran
gue di Bali utara itu, Singaraja. Karena gak tega minta orangtua gue menempuh
perjalanan 2,5 jam dari Singaraja ke Denpasar hanya untuk menjemput gue, maka
gue memutuskan untuk pulang sendiri. Naik apa? Awalnya berniat naik travel.
Tapi setelah agen travel membatalkan janji secara mendadak, dengan setengah
terpaksa gue (lagi-lagi) meminta bantuan Adit mengantar gue ke terminal Ubung.
Gue putuskan untuk kembali ngebolang pulang menggunakan isuzu. Mobilnya kecil,
muat untuk 7-10 orang saja. ACnya pake AC alam, bau ketek, bau jigong bercampur
jadi satu dan memaksa masuk ke hidung gue. Ongkosnya murah, Cuma 25 ribu
perorang. Gue harus bayar tarif 2 orang karena barang bawaan gue yang banyak
kaya orang bedol desa. Setelah menunggu selama 1 jam, akhirnya mobil ini
berangkat juga. Whuuzzz… Perjalanan 2,5 jam berhasil gue lalui tanpa perlu
nafas buatan.
Mobil merah itu yang akan gue tumpangi. |
Sesampainya di terminal Sangket,
Sukasada, kedua orangtua gue datang menjemput gue. Ciuman dan pelukan
bertubi-tubi mendarat, tapi gue sangat menikmatinya. Dulu gue memang menganggap
yang mereka lakukan sangat memuakkan, membuat gue terlihat seperti anak kecil
berusia 5 tahun. Tapi kali ini gue menikmatinya, bahkan sejujurnya gue sangat
merindukannya. Kami segera mencari makanan favorit gue, SIOBAK KHE LOK khas
Singaraja yang lokasinya sangat dekat dengan rumah gue. Bangga banget sekarang
bisa traktir orangtua gue makan di tempat yang lumayan nguras kantong seperti
ini.
Sesampainya di rumah, gue
beristirahat sembari mengobrol ngalor ngidul bersama kedua orangtua gue
tercinta. Gue sengaja tidak melakukan aktifitas lain di hari itu karena Bapak
gue kebetulan sedang berada di rumah. Bapak kan supir gaol yang sibuk, schedule
nyupirnya padat banget. Artis-artis mah kalaaahhh! Makanya gue gak mau
kehilangan quality time bersama
beliau. Karena dari tanggal 19 hingga 25 Bapak gak bakal ada di rumah. Ia harus
berangkat kerja, melanglang buana untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Ah,
kasian Ibu. Harus saingan jablay sama istrinya Bang Toyib.
***
19 September, gue punya schedule yang
padat hari ini. Dimulai dari aktifitas ngojek Ibu dan Bapak ke tempat kerja
mereka, Ibu ke sekolah dan Bapak ke gudang truknya. Kemudian beres-beres rumah,
cuci piring dan jemur pakaian. Lalu jemput Ibu di sekolah. Jam setengah 3 siang
gue ke SMANSA, sekolah gue dulu, latihan teater bareng adik-adik kelas gue yang
sebentar lagi akan menghadapi lomba tahunan ETEC. Lanjut jam setengah 6
bersembahyang bersama Ibu tercinta di Pura Jagatnatha. Dan acara terakhir,
menjemput sahabat gue yang seorang calon Ibu, untuk menghabiskan malam di rumah
gue.
Ngomong-ngomong soal latihan teater,
rasanya kembali pada hobby lama itu sangat menyenangkan! Agak gugup sih,
bagaimanapun juga, udah hampir 2 tahun gue gak akrab lagi sama dunia satu ini. Rasanya
melihat adik-adik kelas gue berlatih teater, mempersiapkan diri untuk ETEC,
membuat gue teringat kenangan 2 tahun lalu ketika gue ada di posisi mereka.
Saat itu, gue dipercaya untuk membuat
sendiri naskah yang akan sekolah kami pentaskan. Naskah yang gue buat saat itu
berjudul Jalan Sempit Untuk Pulang. Menceritakan tentang 4 orang pekerja di
dunia prostitusi dari latar belakang yang berbeda. Sebenarnya gue ingin
mengambil tugas sebagai sutradara, karena bagaimanapun gue lebih senang menjadi
orang di belakang layar. Tapi karena minimnya pemain, gue pun bergabung menjadi
salah satu pelacur yang sengaja melacurkan diri agar bisa menyebarkan penyakit
AIDS yang dideritanya. Pementasan sekolah gue yang menggunakan naskah orisinil
gue bersaing dengan pementasan sekolah lain seluruh Bali dan Nusa Tenggara yang
kebanyakan menggunakan naskah teater yang memang sudah terkenal dan dari segi
kualitas gak perlu diragukan lagi. Awalnya gue minder dengan naskah bikinan gue,
tapi dengan masukan-masukan berharga dari Mbok Sonia dan kakak kedua gue yang
juga seorang aktifis teater, gue pun mulai percaya diri dan berusaha
menampilkan teater.
Meskipun menjadi seorang pemain, gue
seringkali bertindak layaknya sutradara. Ini adalah salah satu sifat buruk gue
yang ingin menjadi ‘sang pengatur’. Padahal dalam berteater, kita tidak bisa
pentas sendirian, dan mengatur segala halnya sendirian. Seiring bertambahnya
usia, sifat jelek gue itu bisa diredam juga sekarang. Nah, pementasan itu
menghadiahi gue sebuah sertifikat yang menyatakan gue sebagai juara kedua
pemeran utama terbaik wanita. Rasanya sangat menyenangkan!
Cukup bernostalgia, gue kembali
memperhatikan lakon para pemain. Gue menemukan banyak slot yang bisa
ditambahkan joke yang nantinya akan
mengundang interaksi penonton. Gue menyarankan pada sutradara, dan syukurnya
saran gue diterima dengan baik. Gue pun mulai kembali cerewet untuk urusan
suara dan acting para pemain. Senjata utama pemain teater adalah suara. Acting
sebagus apapun, kalo ia tidak bisa bersuara keras, maka itu akan menjadi poin
minus saat penjurian. Itulah yang membedakan pemain teater dengan pemain
sinetron. Seorang pemain teater memiliki kemampuan olah vocal yang baik. Karena
berteater tidak menggunakan mike, hanya mengandalkan suara sang pemain. Kalau
suaranya kecil dan artikulasinya gak jelas, bagaimana mungkin penonton bisa
mendengar apa yang mereka percakapkan? Selain itu, pemain teater cenderung
lebih lemuh dan bisa dibilang lebih lebay. Tapi lebay disini bukan lebay yang
sama ketika lo ditinggal pacar 1 jam dan lo udah nangis Bombay ngacem mau bunuh
diri. Bukan lebay begitu juga! Pemain teater dituntut bisa mengekplorasi
kemampuan acting mereka lebih kuat dari seorang pemain sinetron. Ketika ia
menangis, maka seluruh tubuhnya harus memperlihatkan bahwa ia memang
benar-benar sedang menangis. Ntah bahunya yang bergetar, tangannya yang
mengusap airmata atau kakinya yang lemas. Dan nangisnya juga harus on the spot, alias saat itu juga. Beda
dengan sinetron, yang disorot cuman muka lo yang lagi mewek, itu pun sebelumnya
sempet pake air mata buatan dulu.
Kompak gak alay. |
Kompak ngalay. |
Pemeran Kakek dan Nenek. LONGLAST YAH! |
1,5 jam berlalu, gue harus pamit
karena akan melanjutkan acara persembahyangan bersama Ibunda tercinta. –to be continued-
Komentar
Udah cukup lama gue tungguin.. Tiap hari ngecek blog ini tp blom ada postingan terbaru...
Entahlahh... Sejak nemu blog ini gue jd ketagihan,, ini blog pasti di pakein jampi2 nih ampe ketagihan gini..muahahah
Suka sama setiap tulisannya, gaya penulisannya, semua2nya lahh.. Terus ngeblog yaa meskipun nanti akan sibuk bangett.. Soalnya banyak bgt yg kaya gitu,, yg berawal dr ngeblog, keluarin buku, sibuk sana sini dan blog ditinggalin.. Pliss jangan kaya gituuuu...hehehe.. Cuma saran aja sekaligus mengingatkann :D
Sukses teruss yaa..
ahhh, udalah,, ntar peletnya gue cabut aja. susah juga kalo trlalu bikin orang kecanduan. hahaha