The Butler dan Hubungannya Dengan Awak Kabin

     Sebenarnya, gue gak pernah memasukkan film The Butler ke dalam list film-film yang ingin gue tonton. Karena sedikit trauma akan film Gravity yang gue tonton berdasarkan rekomendasi banyak orang, tanpa sedikitpun mencari tau thrillernya seperti apa. Rencananya adalah, malam minggu kali ini akan gue habiskan dengan menonton midnight movie berjudul Escape Plan. Sebuah film action yang dibintangi Om-Om ganteng seperti Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger. Gue sempat beberapa kali melihat thrillernya dan gue memang sangat tertarik dengan tema film ini, selain juga karena gue adalah salah satu fans Om-Om itu.

     Acara nonton midnight gue buyar karena mendadak Maherda direvise untuk terbang ke Jayapura kemarin malam. Akhirnya menjandalah gue sepanjang akhir pekan nanti karena Maherda baru akan kembali pada Minggu siang besok. Sebelum memberitahukan bencana ini, Maherda terlebih dahulu merayu-rayu gue melalui telfon di hari Kamis siang.
Maherda : "Sayang, kamu mau ketemu ga ntar sore?"
Gue         : "Ga usah lah Mas. Kan Jum'at ketemu, trus Sabtu mau nonton midnight. Lagian, ada apa kamu nelfon gini? Curiga deh!"
Maherda : "Ga kok, aku pengen jemput sayang ke Balaraja. Om Herda kangen nih! Kalo gitu nontonnya ntar sore aja ya sayangku?"
Gue         : "Idih, kamu kenapa sih? Kepentok panel di cockpit ya?"
Maherda : "Ngga sayang, aku kangen banget sama sayang. Soalnya kan Jum'at aku mesti terbang ke Jayapura..." (kalimat terakhir sengaja diucapkan pelan-pelan)
Gue        : "HAH?! APAAN! KAN LO TERBANG KE PEKANBARU DOANK? TRUS BALIK JAKARTA JUM'AT SIANG?"
Maherda : "Zhhh, tenang sayang. Udah ga ada co-pilot lagi. Yang lain harinya ga cukup. Ga papa ya sayang, nanti kita nonton di Summarecon deh. Yah?"
Gue        : "Oke deh!"
     Hahaha... Gue akhirnya mengalah karena tawaran menggiurkan buat nonton di Summarecon Mall Serpong. Maherda paling gak mau diajak kesana karena Summarecon dikenal sebagai Mall AirCrew, dimana lo bakalan ngeliat, walaupun bukan dari Lion Air, pasti ada dari airlines lain yang lagi kongkow disitu, setiap harinya. Masalahnya adalah, Mall kesayangan gue ya disana. Gue suka suasana Downtown Walk di Mall ini yang seringkali diisi live music atau pernah suatu kali diisi oleh para penari line dance yang membuat mall ini terlihat semarak dengan acara-acaranya dan membuat gue merasa betah berlama-lama disana.
Sumber : disini
     Akhirnya gue mencari-cari film yang sekiranya bagus untuk gue tonton. Pilihannya hanya dua, Captain Philips atau The Butler.
     Captain Phillips yang merupakan kisah nyata dari tragedi pembajakan di tahun 2009 oleh para perompak Somalia. Kasus ini adalah pembajakan kapal kargo pertama di Amerika selama 200 tahun terakhir. Gue cukup tertarik karena gue suka film yang diangkat dari kisah nyata. Dan Tom Hanks bisa jadi jaminan untuk kualitas film ini. Seperti yang kita tau, Tom Hanks juga adalah salah satu aktor senior yang punya kelas tersendiri di dunia perfilman Hollywood.

     Sementara The Butler adalah sebuah film yang diangkat dari kisah Eugene Allen, seorang kepala pelayan di Gedung Putih United States yang mengabdi selama 34 tahun dibawah masa kepemimpinan 8 presiden. Kemampuannya dalam menjilat orang kulit putih menariknya dari seorang kepala pelayan salah satu hotel di DC, menjadi salah satu kepala pelayan di Gedung Putih.
     Setelah memperhatikan review film ini dari situs review favorit gue di metacritic.com, gue akhirnya memutuskan untuk memilih The Butler. Kenapa? Karena gue melihat bahwa akan ada pelajaran berharga yang bisa gue dapat dari film ini. Meskipun Metacritic hanya memberi nilai 66 untuk The Butler dan 83 untuk Captain Phillips, dan gue juga masih sangat awam dengan kasus perbudakan kaum Negro atau yang biasa disebut Afro-Americans. Gue pernah menonton film beberapa tahun lalu berjudul Abraham Lincoln yang menceritakan tentang usaha seorang pemuda bernama Abraham untuk menghapus perbudakan. Setelah ia dilantik menjadi Presiden AS di tahun 1860, ia harus dihadapkan dengan perang melawan Vampire. Ntahlah kenapa ada unsur Vampire yang masuk ke film ini, tapi film tersebut termasuk reccomended dari segi ceritanya yang unik.
     Meskipun perbudakan bangsa Afro-Americans telah dihapus melalui status hukum di tahn 1863, perbedaan ras masih dirasakan hingga kemudian muncul kelompok-kelompok di era tahun 1960-an, salah satunya adalah Gerakan Hak Asasi Manusia dibawah pimpinan Dr. Martin Luther King dan Roy Wilkins.
     Di film The Butler yang mengambil setting waktu tahun 1950-an ini diceritakan bahwa pemeran utama kita, Cecil Gaines (diperankan oleh Forest Whitaker) adalah anak seorang buruh di kebun kapas. Ayahnya ditembak mati oleh majikan laki-laki, dan Ibunya gila dan mulai jarang berbicara. Ia dipungut dan diasuh oleh Ibu dari sang majikan untuk kemudian diajari menjadi seorang pelayan. Tidak sekedar pelayan seperti Mbok Ijah dirumah orang kaya, tapi menjadi seorang pelayan yang beretiket.
     Setelah dewasa, ia memutuskan untuk pergi dan merantau. Ternyata dunia di luar rumah majikannya lebih keras dari yang ia bayangkan. Tak ada yang memberinya makan, tak ada yang memberinya pekerjaan, atau bahkan tempat berteduh. Ia mulai kelaparan, dan yang ia inginkan hanya makan. Ditengah malam ia terpaksa memecahkan kaca sebuah bar dan memakan roti yang ada. Setelah tertangkap tangan, ia kemudian dipekerjakan oleh salah satu pelayan yang juga berkulit hitam di bar itu. Cecil mempelajari banyak hal baru, termasuk untuk mengontrol emosinya dihadapan para tamu kulit putih yang seringkali mempergunjingkan kaumnya didepan matanya.
     Cecil kemudian ditawari pekerjaan baru untuk menjadi seorang kepala pelayan di salah satu hotel mewah di DC. Ia menjalani kehidupannya bersama sang istri, Gloria (diperankan oleh Oprah Winfrey) dan kedua putranya Louis dan Chalie. Cecil Gaines ditemukan oleh salah satu staff di Gedung Putih yang tertarik dengan pelayanan Cecil dan kemampuannya mengendalikan emosi saat diminta pendapat tentang 'bagaimana jika sekolah orang kulit hitam dan putih digabungkan'. Cecil memberi jawaban diplomatis yang terkesan 'menjilat' para tamu. Itulah yang kemudian menariknya untuk kemudian bekerja di istana presiden itu dimasa jabatan Dwight Eisenhower (diperankan oleh Robin William).
      Saat Kennedy menjabat, ia menjadi salah satu kepala pelayan yang paling sering dimintai pendapat tentang permasalahan ras di Amerika. Bahkan saat putranya, Cecil Gaines yang terlibat di komunitas Pengendara Kebebasan dan masuk penjara karena sikap pembangkangnya terhadap hukum, Cecil tetap bisa mengendalikan emosinya di depan Kennedy yang memiliki hubungan baik dengannya dan tidak pernah meminta bantuan presiden untuk membebaskan putranya. Ketika Kennedy ditembak karena upayanya untuk menghapus rasisme di Amerika, ia digantikan oleh Lyndon Johnson. Amerika berganti pemimpin dan Cecil tetap mengabdi demi pahlawan yang membela kaumnya, Kennedy. Ia menjadi seorang kepala pelayan yang disegani oleh kedelapan presiden itu. Ia bahkan diundang oleh Presiden Ronald Reagan untuk menghadiri jamuan makan malam sebaga tamu lengkap bersama sang istri. Itu adalah sebuah penghargaan besar baginya.
     Lalu pelajaran apa yang gue ambil dari film ini? Hanya satu, yaitu mengenai etiket. Etiket, atau dalam bahasa Prancis Etiquette bisa dibilang adalah tata cara yang berlaku dalam masyarakat beradab dengan hubungannya untuk membina hubungan baik dengan sesama. Cecil Gaines mengajarkan pada gue bahwa etiket itu sangat penting. Dengan etiket, ia mendapatkan respect dari orang lain. Dengan etiket, ia mampu membina hubungan baik dengan para presiden. Pelajaran etiket sangat gue butuhkan, terutama karena gue bekerja sebagai seorang Flight Attendant. Gue bukan seorang pembantu, gue ingin mendapat respect dari para penumpang sehingga mereka sadar bahwa gue bukan sekedar pembantu di pesawat. Pembantu tidak akan mengerti safety. Pembantu tidak diharuskan cerdas. Sayangnya, ga semua penumpang mengetahui itu dan akibat ketidaktahuannya, mereka menjadi semena-mena. That's why I need etiquette! Gue harus mendalami ilmu itu, belajar bersikap tenang dan mampu mengontrol emosi gue, seberat apapun masalah yang ada dipikiran gue saat itu. Ya, film The Butler memberi pesan moral akan pentingnya pelajaran etiket.
     Nah, jadi ketika kalian menemukan awak kabin yang ramah, anggun dan sopan, tapi kalian masih terus mencaci-makinya dengan katakata kasar, gue sarankan kalian ke ahli jiwa. Mungkin ada kelainan mental yang kalian idap tanpa kalian sadari. Jangan sampai, kalian melihat Kate Middleton di pesawat dan kalian nekat memakinya juga yaa :)

NB : psst, tau gak sih? Meskipun Kate adalah warga sipil biasa, tapi mengapa ia bisa masuk dan diterima lingkungan kerajaan Inggris? Salah satu kuncinya adalah karena etiket baik yang ia tunjukkan, hasil didikan sang Ibu yang merupakan ex flight attendant di British Airways. Gue jadi pengen punya anak perempuan nih, siapa tau kalo besar nanti bisa jadi istri dari anak pasangan Kate dan Prince William.    

Komentar

ouch mengatakan…
mbak, mbak... warning dong, *spoiler inside* gitu... buat yang belum nonton
Unknown mengatakan…
Awalnya saya nggak ngerti ini filem apaan...., tapi sedikit tertarik karena embel2 based on true story (penggemar sejarah gitu lho) yang berkisah di era Perang Dingin dimana nama2 presiden US yang terlibat saat itu sekarang sudah menjadi nama kapal2 induk angkatan laut-nya (cara US menghormati pahlawan-nya yang masih sulit kita tiru)

Begitu detik2 pertama openingnya jreengg....., salah satu PH yang menggarapnya bernama New Orleans yang tebak2 isinya bakal negro semua dengan kehidupan Afro-American di US secara pernah baca cerita dan foto dari Armin Silaen, teman Indoflyer yang tinggal disana...

Dan beneran deh...., kisahnya seperti yang dah dikupas di blog ini, lengkap dengan lagu2 pengiringnya berupa Jazz bernuansa New Orleans dan suasana yang persis dalam gambaran cerita foto dari Bang Armin, dan cinematografi yang mirip ama filem Forrest Gump

Walau ritme filem-nya lumayan cepat dan bakal sulit dimengerti bagi yang gak begitu tau sejarah Amerika di era itu (mirip ritme film Habibie&Ainun), tapi moral of the story-nya tentang etika disini dapet banget, membuatku teringat akan cerita bagaimana Soekarno-Hatta dkk, Dr.Soetomo dkk dengan Boedi Oetomo-nya dll. bisa diterima "masuk dalam pergaulan" penjajah untuk kemudian berjuang untuk kita kaum pribumi yang saat itu disebut "Inlander". Mereka menggunakan senjata yang sama yaitu etika, dan mendapat hadiah yang sama yaitu respect (dari seluruh dunia).

Filem sejenis The Butler yang menggambarkan "bagian jelek dari Amerika" suka banyak tapi biasanya gak terkenal (apalagi Box Office), paling adanya di Cinemax dengan judul yang gak jelas/menarik padahal ceritanya sangat bagus dengan moral of story yang kuat. Salah satu filem yang nyambung ama The Butler ini adalah karya Steven Spielberg yang berjudul Amistad

Intinya sih...., untuk saya filem ini termasuk "gak sengaja nonton bagus banget lho" kaya' kalo lagi liat2 HBO atau Cinemax yang filem2nya lagi muterin yang gak terkenal. Termasuk membuatku yakin kalo tanah airku ini sebetulnya cuma tertinggal beberapa era aja ama USA selebihnya nyaris sama, karena merdeka-nya duluan Amrik sono 169 tahun..........

Postingan Populer