Maaf Mbak, Cuma Ngerjain Kok
Gimana
rasanya kalo lo dikerjain orang yang bikin emosi lo nyampe ubun-ubun, tapi lo
gak berdaya buat ngelawan, malah harus maksa bibir buat senyum manis ke orang
itu? Nah, gue tau banget rasanya. Gue berkali-kali dibikin jengkel sama
penumpang, tapi kenapa kali ini jadi berbeda? Karena kali ini, penumpang
tersebut dengan terang-terangan dan tanpa-merasa-berdosa malah mengakui kalo
dia Cuma ngerjain gue doank.
Kejadiannya kala itu adalah saat
penerbangan dari Makassar menuju Denpasar. Gue yang in charge sebagai FA (Flight
Attendant) 4 kerja di galley depan
menjadi asisten Mas Rizky yang saat itu menjadi cabin 1 gue. Tiba-tiba terdengar bunyi ‘TUNG’ yang menandakan adanya pax-call
atau ada penumpang yang menekan attendant-call
di panel yang terdapat di atas mereka. Setelah gue perhatikan, pax-call datang dari seat nomor 4D cukup
dengan dari gue saat itu. Jadi tanpa mendapat firasat buruk, gue menghampiri
Mas-Mas ganteng tersebut.
“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa
saya bantu?”
“Saya mau minum donk, Mbak!” katanya
agak ketus.
“Kami hanya menyediakan minuman
untuk di jual, Mas. Sebentar lagi awak kabin kami akan menawarkan penjualan
tersebut. Ditunggu ya, Mas. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Duh, saya udah haus berat! Saya mau
sekarang donk, Mbak!” katanya makin ketus. Sebenernya gue sebel sama penumpang
model ginian, kita ngomongnya baik-baik, tapi dia jawabnya kasar banget. Tapi
karena gue adalah pramugalau yang berprikegalauan, gue putusin buat ambilin dia
minuman ke galley belakang (yang notabene, gue harus jalan cukup jauh melalui
35 baris tempat duduk untuk sampai kesana dan 35 baris lagi untuk kembali ke
tempat duduknya).
“Baik mau minuman apa, Pak?”
“Air mineral!” gue segera berjalan
dan mengambil pesanannya. Setelah gue mendapat air mineral, gue segera
mengantarnya ke ‘boss besar’ itu.
“Ini Mas, air mineralnya,” kata gue.
Ketika ia menyodorkan selembar uang 100 ribuan, gue kembali berbalik ke galley
belakang untuk mengambil kembalian.
“Kok bolak-balik sih, Din? Ini kita
bentar lagi udah mau jualan kok,” kata senior gue, Mbak Risnia, yang rada
kasian juga liat gue harus bolak-balik kaya setrikaan.
“Gak papa, Mbak. Anggap aja
olahraga, tread mill di cabin pesawat, “ jawab gue ngasal. Gue
segera membawakan kembalian Rp 90.000,- itu ke penumpang 4D tadi.
“Ini Mas, kembaliannya Rp 90.000,-
ya. Terima kasih,” belum sempat gue membalikkan badan, ‘boss besar’ udah
menekan attendant-call-button untuk
kedua kalinya. Gue kembali menatap dia.
“Ada yang bisa saya bantu lagi,
Mas?”
“Kalo gak salah, ada teh botol gitu
kan? Yang less sugar. Iya kan? Saya
mau minta tukar aja deh, harganya sama kan?” gue melotot, rasanya pengen
mukul-mukul dada kaya gorilla ngamuk! Tapi apa daya, penumpang adalah raja.
Pantang menolak permintaan raja tanpa alasan yang jelas. Dan karena tidak
menemukan alasan tepat untuk menolak keinginan sang raja besar, gue pun
terpaksa berjalan di cabin bolak-balik untuk menukarkan air mineral dengan teh
botol less sugar keinginannya.
“Ini Mas, teh botol less sugar-nya, dan ini kembaliannya.
Terima ka-“ dia menyodorkan teh botolnya ke depan mata gue, membuat gue
menggantung kalimat gue barusan.
“Bukain donk,” katanya lagi. Gue segera membantunya
membuka tutup botol yang ternyata sangat mudah untuk dibuka. Gue menyerahkannya
dengan senyum tanpa berbasa-basi menawarkan kalimat wajin ‘ada lagi yang bisa
saya bantu’ karena gue yakin, dia bakal memanfaatkan tawaran gue tersebut.
“Ehh, Mbak!” tuh kan! Gue bilang
juga apa! Gue gak tawarin aja dia masih ngerepotin gue. Padahal kan gue punya
kesibukan di galley depan. Dia melanjutkan omongannya, gak peduli ngeliat
tanduk di atas kepala gue, “saya mau es batu ya? Di taruh di gelas aja.”
“Wah, maaf sekali Mas. Kita tidak
menyediakan es batu untuk penumpang,” HAH! Nih orang ngira pesawat tuh warteg
ya, minta es batu segala! ‘Noh, ntar
pas pesawat ngetem, lu buka aja pintu darurat trus pesen nasi jinggo sekalian!’
batin gue.
“Ohh, saya lupa! Kan di sini gak full service yah? Oh ya, saya mau beli
cemilan kotakan donk, Mbak. Bisa dibawa kesini sekarang? Sekarang ya Mbak!”
katanya belagak pilon. GOLOK! MANA GOLOKK!!!
“Ada yang bisa kami bantu Mas?” kata
senior gue mengagetkan. Gue terpaksa mundur memberi jalan.
“Iya, Mbak. Mas ini mau beli
cemilan. Saya ke depan dulu ya, Mbak!” kata gue kepada senior gue dan buru-buru
kabur ke galley depan. Memanaskan meal
crew untuk Captain dan segera
menghidangkannya ke dalam cockpit.
Setelah gue menceritakan tragedi
tadi ke Mas Rizky, dia Cuma ketawa-ketawa aja.
“Udah, penumpang kaya gitu mah banyak. Gua udah 3 tahun jadi
pramugara, udah terlalu sering ketemu penumpang nyebelin+reseh kaya gitu. Yang
sabar atuh,” katanya dengan logat
Sunda yang masih kental. Gue hanya cemberut, memonyongkan bibir agar terlihat
seimut babi.
“Iya Mas, sukur dianya ganteng. Kalo
jelek udah aku flush di toilet!” kata
gue emosi.
Singkat cerita, pesawat sudah
mendarat di Bandar Udara Internasioal Ngurah Rai Denpasar-Bali. Setelah semua
penumpang keluar dan pesawat sudah sepi dari penumpang, kami mengecek baju
pelampung yang terdapat di bawah kursi penumpang, kalau-kalau ada yang hilang.
Ternyata Mas nyebelin yang duduk di no 4D itu gak ikutan keluar. Dia gak sedang
ketiduran, dia terlihat sedang menunggu sesuatu. Atau menunggu seseorang?
Karena setelah gue samperin, dia langsung berkata,
“Ah, ini dia si Mbak! Maaf ya, gue
pasti nyebelin banget tadi. Cuman pengen tau, pramugari itu ramah-ramah atau
enggak. Eh ternyata bener loh! Padahal udah dikerjain segitu rupa, masih ramah
banget. Hehehe… Maaf Mbak, Cuma ngerjain kok!” katanya tanpa rasa bersalah. Ia
menyelipkan selembar tissue dan segera berjalan keluar. Gue membuka lipatan
tissue itu, dengan bego mengira bahwa bakalan ada PIN BB atau no HP tertulis di
tissue tersebut. Apa daya, pas gue buka, gue melihat lendir-lendir transparan
dengan beberapa butir upil kehijauan disana.
“AAA!!! INGUS!!!!”
Komentar
ntr klo In-Flight ama mbak Dinna bs dcoba kyknya *tanduk setannya muncul*
#GuesimpenfotoLo biar tau lo yg mana hahah