Surat Kedua

Surat Kedua…

               Selamat ulang tahun Bi… Pasti hatimu saat ini sibuk bertanya, siapa gerangan pengirim surat tanpa nama ini. Aku tidak akan menjawabnya. Tapi aku akan menceritakan sesuatu. Cerita yang selama ini aku simpan darimu. Dari siapapun yang mengenalmu dan mengetahui hubungan kita 8 tahun yang lalu. 

               Aku mencintaimu. Aku mencintaimu selama 4 tahun dalam diam dan rasa itu makin membuncah pada suatu malam. Di pesta ulang tahun Adam.
 Ingat? Itu lah kali pertama kau menyebut namaku.
               “Gue Bian. Temen SMA Adam. Kata Adam, lo sekampus sama gue ya?”
               Aku berpura-pura tidak mengenalmu. Padahal aku menyimpan semua detail tentangmu di buku harianku. Bukan. Aku bukannya malu karena begitu memujamu dulu. Saat itu, aku ingin menatapmu lebih dekat, mendengar gurauanmu lebih lama, dan memperhatikan setiap detail tubuhmu lebih cermat. 
               Sepanjang pesta kita berada di sudut sofa. Semakin malam, semakin dekat saja jarak di antara kita. Hingga kemudian alkohol mengambil alih kendali otakmu. Rasa khawatir membuatku menawarkan diri untuk mengantarmu pulang dengan mobilku. 
               Diperjalanan, entah berapa kali lambungmu memompa keluar makanan dan minuman yang baru kau cerna. Aku menepikan mobil dan memapahmu keluar agar bisa leluasa mengeluarkannya. Sama sekali tidak ada rasa jijik atau kesal karena mobil yang baru saja dilunaskan oleh orangtuaku itu, kau kotori dengan aneka makanan di pesta.
               Aku hapal betul alamat kostmu. Tapi akan aneh jika nanti kau bertanya, darimana aku tahu alamat tempat tinggalmu. Sementara aku mengaku tidak pernah mengenalmu di kampus. Jadi kuputuskan untuk membawamu ke apartemenku dulu.
               Namun kau cukup sadar untuk membuat waktu berjalan lambat. Aku mendapati diriku mendekapmu erat. Sementara dengkuran halus melantun dengan cepat. Tidak ada selembar kainpun diantara kita. Kulitku… Kulitmu… Berdampingan dengan polosnya. Satu-satunya yang bisa menjadi pengingat hanyalah tetes darah dan bekasnya di alas tidurku. 
               Keesokan harinya, suasana menjadi canggung. Kau meminta maaf. Awalnya aku tidak mengerti karena apa. Kau tidak pernah memaksa, apa salahnya memberi malam pertama dengan pria yang kau cinta? 
               “Maaf gue.. Eh, aku.. Tidak bermaksud…”
               Ah… Senyum di bibirku memudar. Ada perasaan tidak mengenakkan yang mendadak hinggap mendengarmu mengubah gaya bicara. 
               “Kamu pasti tidak masalah kan, kalau kita… melupakannya? Maksudku… Yah, kau pasti mengerti. Ini pasti bukan yang pertama kali.”
               Aku mengerti maksudmu. Kugeser posisi dudukku untuk menutupi noda merah itu.
               “Baiklah. Gue… eh, Aku… Pergi dulu. Nanti kalau kita ketemu di kampus, sapa-sapa ya!” 
               Kau berdiri di daun pintu. Menatapku cukup lama. Mungkin kau berharap aku akan menahan langkahmu. Tapi tidak. Aku diam bukan karena membencimu, seperti yang kau kira selama ini.
               Aku memilih diam karena tidak ingin membebanimu. Kubiarkan kau berpikir bahwa aku terbiasa melakukannya dengan banyak pria agar kakimu ringan melangkah pergi dari kamarku. Hatiku sakit, jauh lebih sakit dari yang dirasakan liang vaginaku. Tapi akan jauh lebih sakit di kemudian hari jika aku memaksamu tinggal hanya karena itu adalah malamku yang pertama. Maka kuberikan senyum terbaikku untuk mengantar kepergianmu.
               “Aku baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya ada pria menghabiskan malam dan pergi saat mentari datang. Pergilah… Aku butuh istirahat.”
               Apakah cerita ini menjawab tanyamu, Bi?  

              

Komentar

Postingan Populer