Surat Ketiga

Surat Ketiga…

               Hai Gin! Senang sekali melihat Indiana Goes Down wara-wiri di layar kaca, meskipun aku kesulitan menangkap wajahmu karena kamera terlalu menyorot vokalismu. Harusnya kau dulu menurutiku untuk jadi vokalis saja. Penggebuk drum selalu mendapat posisi di belakang dan jarang terlihat. Asal kau tahu, aku akhir-akhir ini mulai menjauhi musik klasik dan keranjingan mendengar musik rock sepertimu. Iramanya membuat jantungku terasa berdetak. Aku merasa lebih hidup karenanya. 

               Omong-omong, aku masih penasaran. Ketika 5 tahun lalu, selama 6 bulan kau mengejarku tanpa putus asa. Beradaptasi dengan musik klasik favoritku, berpenampilan rapi, membawa puluhan bunga kesukaanku, belajar bermain biola meski akhirnya kau menyerah dihari kelima. Semua itu… apa karena kau sungguh-sungguh mencintaiku?
               Jika iya, lalu kenapa kau memutuskan hubungan begitu saja ketika dibulan ketujuh aku yang saat itu takut jatuh cinta mulai takluk padamu? Aku tidak habis pikir. Usaha selama 6 bulan luntur dalam hubungan yang hanya berjalan sebulan. 
               Namun jika jawabanmu tidak –kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku- maka aku tidak perlu risau. Mungkin aku yang salah mengartikan 6 bulan itu dulu. Aku terlalu berharap pada semua ucapanmu, meyakininya seperti aku yakin pada Tuhanku. 
               Masih terpatri jelas kau menungguku di depan kantor magangku selama 2 jam lamanya. Kau bahkan meminjam mobil temanmu karena tahu aku punya trauma masa kecil dengan motor besar. Di dalam mobil sudah terpajang sebuket bunga mawar merah muda yang kau bilang ungkapan hatimu yang sedang jatuh cinta. Lucu. Rocker dan sebucket mawar merah muda. Itulah akhir masa pengejaranmu. Dan awal cintaku padamu.
               Pelan-pelan tanpa terasa kau berubah. Kau tidak lagi memotong pendek rambutmu atau menguris bulu halus di dagumu. Tidak ada lagi ajakan menonton teater atau sekedar mendengar musik klasik di mobil pinjamanmu. Bahkan tidak ada lagi secangkir teh oolong yang kau akui sebagai teh favoritmu. Setelah itu aku tau kenapa kau menamai dirimu sendiri Gin-itulah minuman favoritmu sesungguhnya. Kau berubah. Aku tidak. Aku tetap mencintaimu, entah sebagai Gin sang pujangga cinta atau Gin seorang drummer band rock indie di kota besar. 
               Ketahuilah aku tidak jatuh cinta karena kau berusaha keras dalam berpura-pura. Aku mencintaimu karena aku belum pernah dicintai orang lain lebih dulu, selain orangtuaku. Semua yang kau lakukan membuatku merasa spesial. Sungguh aku tak peduli jika saat itu kau memperkenalkan diri sebagai Gin yang sebenarnya. Yang aku kecewakan adalah kau pergi dengan alasan sederhana : kau merasa tidak cukup baik untukku. Alasan konyol bagiku setelah 6 bulan hebatmu dulu. 

               Gin… Tidak perlu menjadi ‘cukup baik’ untuk mencintai seseorang. Yang kau perlukan adalah mencintainya dengan sebaik-baiknya. Seperti yang kau pernah lakukan. Dulu.

Komentar

Postingan Populer