CERITA PENDEK : Anak Perempuan

Ayu memandang keriuhan teman-teman seangkatannya mencorat-coret baju seragam mereka. Bahagia sekali mereka tampaknya, tidak seperti Ayu yang termenung lama dengan wajah muram. Ia tidak mengijinkan seorangpun menandatangi seragamnya, pun belum sekalipun ia menyemprotkan cat pylox di tangannya ke seragam anak lain. Ia hanya duduk diam di bawah pohon kamboja, dekat kantin sekolah dengan pikiran yang campur aduk.

Bagi anak lain, hari ini adalah hari terakhir mereka menjadi anak sekolahan. Namun bagi Ayu, hari ini adalah hari terakhirnya menjadi seorang anak-anak. Karena kalau anak lain akan melanjutkan esok sebagai anak kuliahan atau pekerja pabrik, esok Ayu akan melanjutkan hidup menjadi istri seseorang. Jangan kaget. Ayu memang lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang berpikiran bahwa SMA adalah jenjang pendidikan tertinggi yang berhak diperoleh anak perempuan. Tidak perlu sekolah terlampau tinggi untuk bisa masak, mengurus rumah dan membuat anak, bukan? Sekolah bukan investasi yang tepat jika kalian bisa memahami pola pikir orangtua pelaku perkawinan usia anak seperti orangtua Ayu.

Bu Nanik melihat salah satu siswi kesayangannya dari jendela aula. Ayu memang bukan tergolong pelajar berprestasi, tapi ia sangat giat belajar. Bonusnya, ia juga murid yang sopan dan ringan tangan membantu siapapun. Dengan karakter demikian, Bu Nanik yakin Ayu akan memiliki karir cemerlang di dunia kerja, apapun bidangnya. Selain itu, tentu saja ia merasa kehilangan siswi favorit yang senantiasa membantunya mengetik laporan bahkan mengecek silang hasil ulangan kelas sebelah secara diam-diam. Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja di kepalanya. Cepat-cepat ia berjalan ke arah kantin, mendekati Ayu.

“Yu, ibu punya tawaran!”

Ayu menaikkan sebelah alisnya. “Tawaran apa, Bu?”

“Gimana kalau kamu ikut ibu? Ibu carikan beasiswa, nanti sisa biayanya serahin ke Ibu aja. Kamu cukup belajar dan bantu-bantu ibu di rumah kalau kamu senggang.”

Ayu menarik nafas. Berat. Seandainya ia bisa menjelaskan ke Bu Nanik bahwa biaya bukanlah masalah, namun pola pikir keluarganya. 

“Makasih banyak Bu, tawarannya. Ibu baik banget sama Ayu. Jujur, Ayu pengen banget kuliah. Tapi… Orangtua Ayu pasti ga setuju.”

“Mereka ga boleh egois gitu dong, kamu punya hak untuk sekolah setinggi-tingginya. Itu resiko mereka punya anak, apalagi ini kan gak membebani mereka. Ibu akan bantu urus semuanya. Soalnya ibu yakin banget, Yu, kamu itu anak baik. Kamu punya masa depan yang cerah. Sayang sekali kalau ga lanjut kuliah.”

“Bapak sama ibu bukannya egois, Bu. Mereka justru khawatir sekali dengan Ayu makanya pengen Ayu segera nikah. Ayu bersyukur masih dibiayai sampai SMA, banyak sepupu perempuan Ayu yang bahkan baru tamat SMP sudah dinikahkan.”

Bu Nanik tak kuasa menahan rasa harunya dan memeluk Ayu. “Ibu masih gak ngerti pola pikir keluargamu, Yu. Tapi Ibu sedih, kamu masih semuda ini sudah harus bersikap dewasa terhadap mereka yang sudah tua.”

“Ibu jangan sedih, Ayu ikhlas kok. Sedih, pastinya. Tapi Ayu sadar, ini demi kebaikan Ayu juga. Kalau Ayu cepat nikah, Ayu gak akan terseret arus pergaulan bebas. Ayu bisa menjalankan kodrat sebagai perempuan sesuai alurnya. Walau gak bisa jadi guru hebat seperti Ibu, Ayu masih bisa jadi istri dan ibu yang hebat untuk anak-anak Ayu.”

            Bu Nanik mengangguk. “Kalau itu memang sudah jadi keputusan Ayu, Ibu hargai. Ibu hanya mohon, kalau bisa ini berhenti di Ayu. Kelak saat Ayu punya anak perempuan, beri ia pilihan yang sama seperti anak lelaki. Jangan paksa mereka dibalik alasan kodrat, karena sekolah dan karir itu bukan hanya milik laki-laki. Kita juga berhak memilikinya, berhak memilihnya.”

            Ayu menggenggam tangan Bu Nanik. “Seandainya Ayu bisa punya keberanian sebesar itu untuk menghentikannya, Ayu pasti akan terima tawaran Ibu sekarang. Sekarang Ayu hanya bisa berdoa, bukan berdoa supaya anak-anak perempuan Ayu tidak bernasib sama. Ayu berdoa agar hanya melahirkan anak laki-laki saja.”

            Merubah nasib dan mengatur jenis kelamin anak dalam kandungan itu sama saja sulitnya. Tapi bagi Ayu dan keluarganya yang sederhana, berdoa kepada Tuhan untuk memiliki anak lelaki jauh lebih memungkinkan daripada menuntut kesetaraan. 

 

 

Komentar

Postingan Populer