You Will Only Believe in True Love When You Have Felt It

Judul di atas benar. Setidaknya, begitulah pengalaman mengajarkanku tentang percintaan. Aku pernah 2 kali patah hati berat yang sampai membuatku menangis histeris dan berujung bersikap skeptis sama pasangan. I still believe in love, but not the boys. Aku cukup nyaman bergonta-ganti pacar dan gak lagi menjalin hubungan serius selama beberapa tahun. Setiap kali aku merasa perasaanku terlalu dalam, aku melakukan keahlianku : selingkuh. Aku lebih takut diselingkuhi, jadi aku selalu berusaha melakukannya lebih dulu. Jangan buru-buru menyalahkan aku, kalau kamu membaca buku keduaku nanti, kamu akan tau kenapa aku begitu skeptis terhadap laki-laki.

But that's only before I met him. I just saw his eyes and knew there was something. Sesuatu yang ga bisa aku jelasin karena bekerja di luar nalar manusia : jatuh cinta pada pandangan pertama. I work soo hard to get him. Benar-benar definisi memantaskan diri untuk seseorang, bahkan, gak berlebihan kalau aku bilang, aku bener-bener mendedikasikan diri buat dia.

But one day, I woke up on the hospital, and everything just go away. After 1 year of fight, I know, I don't 'love' him anymore. I don't love him like we first met. Aku menyadari itu saat aku tidak lagi terbangun di bayang ketakutan akan kehilangannya.

Dulu aku jatuh cinta dengannya sebagai 'dia' bukan sebagai 'ayah' atau 'suami' yang rupanya ia tidak memenuhi ekspektasiku untuk dua peran itu. Ketika tekanan berkeluarga, tuntutan emosi dan banyak hal dalam rumah tangga turut serta, cinta....terasa memberatkan.

Sejak itu aku memutuskan untuk melepas hubungan kami, aku mulai menganggap cinta sejati itu semu. Cinta sejati hanya bagian dari fantasi yang manusia harapkan untuk exist, tapi tidak : cinta sejati itu tidak ada. Aku berharap sekali untuk bisa memilikinya, tapi semakin aku berharap, semakin terasa menyesakkan. Menikah puluhan tahun dan masih saling cinta? Apa itu sungguh-sungguh cinta sejati, atau hanya rasa terbiasa? Aku meragukannya.

Atau menikah puluhan tahun dengan saling menyakiti tapi tidak rela saling melepas, apakah itu cinta? Atau ego-maniac? Aku meragukannya.

Ada banyak hal yang membuatku jadi meragukan cinta. Jujur saja, aku merasa kehilangan, kesepian, sendirian dan perasaan-perasaan membuatku sedih dan menguras emosi beberapa bulan terakhir. Tapi aku tetap memutuskan untuk berpisah meski aku sadar, perasaan cinta itu masih ada, tapi bukan jenis perasaan yang cukup kuat untuk membuatku rela berjalan di bara api demi membuktikannya. Bukan jenis cinta sejati yang dulu 'kupikir' sudah aku dapatkan. Cintaku hanya sebatas 'ia adalah ayah dari anak-anakku'. Aku tidak lagi merasakan emosi yang terlalu dalam. Sedih saat berpisah, jujur saja iya. Tapi bahkan aku bersedih saat kehilangan anjingku, kehilangan rumahku dan nyaris kehilangan usahaku. Aku memang sering sekali dibuat menangis oleh dunia, tapi bukan berarti mereka semua cinta sejatiku, bukan? 

So, ya... Pada akhirnya aku hanya ingin duduk manis, berada di tempat nyamanku sekarang dimana aku tidak lagi mempercayai hal berbau cinta lagi. Terdengar angkuh, tapi manusia memang diciptakan seperti itu. Berlagak tahu akan semua hal dan paham bagaimana sistem dunia ini bekerja, padahal nyatanya tidak. 

Aku tau, sebagian orang menganggapku egois. Pernikahan bukan semacam barang yang bisa kau buang saat kau tidak menginginkannya. True. Tapi, aku bukannya tidak menginginkannya lagi. Aku justru rela melakukan apapun demi kembali ke masa-masa cintaku masih begitu besar untuknya. Aku...hanya tidak ingin merusaknya dengan pengkhianatan. Akan lebih baik aku akhiri saat aku sadar perasaanku pudar daripada diakhiri saat ia menemukanku bercinta di mobil seseorang. 

Komentar

Dewi Lastari mengatakan…
Aku cuma mau bilang, aku masih suka membaca tiap tulisan di blog kak Dinna. Aku gak bisa berkomentar apapun tentang hubungan yg terjadi dalam hidup kakak, tapi aku harap kakak selalu bahagia. Tetap semangat, kuat & selalu bersyukur ya kak. Semoga sukses !

Postingan Populer