Long Distance Motherhood

                  Sebelum aku membuat keputusan untuk menitipkan anak-anak di Bali, aku coba nanya ke beberapa temenku yang sudah lebih dulu ngerasain pisah sama anak-anaknya, entah karena harus kerja jauh atau karena bercerai. Mereka selalu meyakinkan aku bahwa ini hanya terasa berat di awal, by the time, aku akan terbiasa. Pisah sama anak gak akan mengurangi sedikitpun rasa sayang kita ke mereka, because you are still their mother even you don’t live under the same roof. Perkataan-perkataan ini lah yang membuatku mantap akhirnya menitipkan anak-anak di Bali meski proses perceraianku belum sepenuhnya selesai. Bahkan, saat ini aku sudah tidak yakin untuk mengurusnya lagi. I will tell you why.

                  Di hari aku meninggalkan anak-anak di Bali dan kembali ke Tangerang, aku sudah menangis terus-menerus. Bahkan di Bandara, Maherda sudah menyadari mataku yang bengkak. Aku langsung tinggal di ruko tempat usahaku hari itu juga, tapi aku masih perlu mengambil beberapa barang di rumah lama. Di sanalah beban yang sesungguhnya mulai terasa.

                  Aku masuk ke rumah yang penuh dengan kenangan, baik kenangan menyenangkan dan juga kenangan menyakitkan. Semua berputar kembali di kepalaku begitu aku masuk melalui pintu utama. Aku ingat TV kecil yang baru aku beli beberapa bulan lalu setelah TV sebelumnya jatuh pecah karena ditarik Gending yang main-main tanpa pengawasan yang baik ART-ku sebelumnya. Aku ingat sofabed putih kesayanganku yang dulu adalah hadiah dari Maherda untukku karena aku bisa melahirkan Gending secara normal. Aku ingat kitchen set yang dalam prosesnya membuatku bertengkar dengan tetangga sebelah rumah karena ia tidak professional dan lambat dalam pengerjaannya. Bahkan hiasan-hiasan bunga yang aku koleksi punya kenangannya tersendiri yang masih aku ingat hingga detik ini. 

                  Rasanya aku melihat Akira dan Gending berlari-lari di ruang keluarga kami, tertawa, bertengkar, menangis, memelukku dan tidur dalam pelukanku. Aku naik ke lantai 2, tempat kamar ART-ku dan menumpahkan tangisku di sana. Sesak sekali rasanya, harus menjalani ini sendirian. Tapi tiba-tiba saja Maherda memelukku. Menangis bersamaku. Di sana aku sadar, aku tidak sendiri, karena ada orang yang paham betul perasaanku dan mau berbagi beban itu denganku. Yang terpenting, aku tidak perlu berpura-pura tegar dan bebas menunjukkan sisi terlemahku di depannya.

                  Kami menangis dalam pelukan masing-masing cukup lama, meski tidak berakhir begitu saja. Saat aku beranjak masuk ke kamar utama, tangisku semakin menjadi-jadi. Sudah bukan isakan lagi, tapi teriakan yang kencang. Aku ingin ke Bali dan menjemput anak-anakku lagi. Ingin bersama mereka kembali. Kakiku lemas dan aku tersungkur menangis kencang. Anakku masih hidup dan berbahagia bersama kedua orangtuaku, tapi aku merasakan kehilangan yang dalam seolah tidak bisa bertemu mereka lagi. Mungkin ini yang membuat pasangan suami istri memperebutkan hak asuh anak saat mereka bercerai. Berpisah dari anak memang terasa sesakit itu.

                  Aku menangis hingga airmataku kering, itu terasa seperti, kamu masih merasakan kesedihan yang mendalam tapi tangismu sudah tak kunjung keluar. Saat itulah Maherda mengajakku pergi dan kembali ke ruko. Ia bahkan mengurus beberapa barang di rumah lama kami karena tidak ingin aku kembali ke sana sendiri.

                  Malamnya, aku menelfon ibuku. Minta beliau untuk menjaga anak-anak dan bilang kepada mereka betapa aku sangat menyayangi anak-anak. Aku takut sekali, suatu hari mereka membenciku karena memilih untuk bercerai dan menitipkan mereka di Bali. Aku takut, mereka tidak paham dengan alasanku. Aku takut, mereka mengira aku menelantarkan mereka. 

                  Ini fase yang berat. Jauh lebih berat dari sekedar berpisah dengan pasangan. Tapi aku berpikir, ini adalah keputusan terbaikku untuk mereka. Dengan mereka di Bali, setidaknya mereka merasakan kasih sayang yang lengkap dari kakek dan nenek yang 24 jam waktunya didedikasikan untuk cucu. Orangtuaku pun sangat senang karena anak-anak ini kembali meramaikan rumah, serasa mengulang kembali masa-masa muda mereka saat anaknya masih balita. Anak-anak tidak perlu bosan karena harus aku kurung di lantai 2 ruko sementara aku bekerja di lantai bawah, tanpa bisa bebas berjalan-jalan. Di Bali? Mereka bisa keluar kemanapun dan merasakan kebahagiaan masa kecil yang normal. 

                  Rencanaku ini memang hanya sementara. Hanya 2 tahun sampai keuanganku kembali stabil dan rumahku di Banjar Wijaya rampung untuk layak huni. Tapi aku akan mengembalikan lagi kepada mereka. 2 tahun lagi, Akira sudah bisa mengutarakan pendapat dan keinginannya. Kalau ia ingin tetap di Bali, maka aku akan mencari cara untuk memenuhinya. Kalau ia ingin ikut denganku kembali ke Tangerang, aku akan dengan senang hati berkumpul bersama. Entah sebagai keluarga utuh, ataupun tidak, tapi aku harus berani menjamin, kebahagiaan mereka tidak boleh dikorbankan lagi untuk memenuhi egoku nanti. 

Komentar

Unknown mengatakan…
Sedih bacanya bu din.. semangat bu

Postingan Populer