Ibu
Sebuah Cerita
Dari Seorang Wanita Tangguh
Semua orang pasti punya Ibu. Kalaupun
ada yang Ibunya sudah meninggal, kenangan tentang Ibu pasti masih tertinggal.
Kalaupun ada yang Ibunya meninggal sebelum kalian sempat mengenangnya, paling
tidak ada foto atau jejak yang menandakan kalian punya Ibu. Lo yang
berbulan-bulan menginap di rahimnya akan dilahirkan oleh seorang Ibu, dari
lubang vaginanya. Dengan darah. Dalam perih. Jadi gue yakin, semua orang pasti
punya Ibu. Karena kalo enggak, lo gak bakalan lahir ke dunia. Lo gak bakalan
ada di sini, baca tulisan gue tentang Ibu gue sendiri.
Ibu gue diberi nama Nining Dhastrika
oleh kedua orangtuanya. Kalo Bapak gue adalah anak terakhir, maka Ibu adalah
anak pertama dari 7 bersaudara, dengan 2 adik perempuan dan 4 adik laki-laki.
Beliau dibesarkan dikeluarga sederhana yang mostly
bekerja di bidang pendidikan. Kakek buyut gue bahkan terkenal di desanya
sebagai tokoh pendidikan yang memajukan pendidikan di sekolah-sekolah desa
Tunjuk, Tabanan-Bali. Kakek, Nenek dan anak-anaknya hijrah meninggalkan Desa
untuk kemudian tinggal di Kota Denpasar, karena adanya kepindahan dinas kerja
dari kantor Kakek gue. Mereka tumbuh besar dan menempati rumah di Jalan Anyelir
10, Denpasar-Bali.
Kakek gue adalah tipikal orangtua
yang strict terhadap aturan sehingga
menimbulkan kesan otoriter di benak anak-anaknya. Ibu gue yang awalnya gak
punya cita-cita sebagai seorang guru, terpaksa mengorbankan mimpinya demi bisa
lepas dari kungkungan rumah yang dirasanya terlalu keras untuk kemudian
melanjutkan bangku kuliahnya di Singaraja. Kenapa Singaraja? Karena pada masa
itu, Universitas keguruan di Bali hanya ada di Singaraja. Kakek dengan berat
hati membiarkan gadis pertamanya merantau, namun tetap memantau dengan meminta
Ibu untuk pulang ke Denpasar seminggu sekali.
Awalnya, Ibu masih sering
bolak-balik Singaraja-Denpasar. Tapi setelah lama-lama, perjalanannya itu
menghabiskan banyak waktu, energy dan tentu saja biaya, Ibu mulai mengurangi
frekuensi kepulangannya. Harap diingat, keluarga Ibu pada masa itu sangat
sederhana. Bahkan kondisi ekonomi mereka masih sangat jauh dari kata ‘mampu’.
Meskipun pada awalnya Ibu merasa
rumah dan Kakek adalah hal paling memuakkan, tetap saja ketika mereka
berjauhan, ia merasakan kerinduan akan rumah, akan kasih sayang Kakek yang
tersembunyi di balik wajah galak dan sikap kerasnya. Ditengah kerinduan itu, ia
bertemu dengan Bapak gue. Hal baru pun Ibu rasakan, yaitu jatuh cinta. Ibu yang
dididik terlalu keras di rumahnya, hingga tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta
itu, akhirnya menjatuhkan pilihan pada Bapak. Penyiar radio idamannya yang
selalu ia dengarkan seusai kuliah, dan sebelum beranjak tidur.
Mereka bertemu untuk pertama
kalinya, dan Ibu langsung tahu bahwa Bapak adalah pilihannya. Ibu bisa melihat,
dibalik topeng ‘begajulan’ yang Bapak pakai saat itu, Bapak menyimpan luka dan
hati yang rapuh. Ibu dengan hati-hati masuk ke hidup Bapak untuk kemudian
sedikit demi sedikit mengobati luka hati Bapak. Bapak yang awalnya adalah
seorang ‘pendekar cinta’ (maklum, istilah jaman dulu emang agak lebay),
menghentikan petualangannya dan melabuhkan hati kepada Ibu sebagai
pemberhentian terakhir. Bapak yang seolah tidak memiliki keluarga itu ingin
membangun keluarga baru dengan melamar Ibu untuk menikah di usia belia. Ibu
menerima pinangan Bapak, dan meskipun mendapat penolakan dari keluarganya dan
keluarga Bapak, Ibu tetap bertahan memperjuangkan pilihan hatinya.
Hari demi hari berlalu. Ibu
mengandung kakak pertama gue, Bli Putu. Ibu mengandung sembari meneruskan
kuliahnya yang dibiayai oleh Bapak. Gue tau itu gak mudah. Berkosentrasi dengan
tugas-tugas kampus, mengurus rumah kontrakan mereka yang reyot dan berlantai
tanah, dan mati-matian menjaga kesehatan dirinya dan kandungannya. Tapi Ibu
berhasil melakukannya, dengan didampingi Bapak, di tanggal 3 Maret 1979, tangis
putra pertama mereka terdengar di dunia.
Cobaan dari awal pernikahan mereka
terus berlanjut hingga Ibu membawa sang bayi pulang. Bapak menitipkan Ibu untuk
tinggal di rumah besarnya untuk sementara hingga nanti ia bisa membuat rumah
yang lebih layak untuk mereka tempati. Kakek dan Nenek dari pihak Bapak memang
tidak menyukai kehadiran Ibu karena menganggap Ibu hanyalah gadis kota yang
manja dan hanya memperalat Bapak saja. Mereka menugasi Ibu banyak pekerjaan
rumah dan Ibu bisa menyelesaikannya dengan baik, karena Ibu memang sudah
terbiasa dengan multi-tasking mengerjakan
tugas rumahnya dulu sembari mengasuh ke-enam adik-adiknya. Sebagai wanita yang
baru saja melahirkan, tentu saja fisik Ibu masih lemah. Tapi ia tidak pernah
mengeluh dan menahan diri untuk tidak mengadu kepada Bapak tentang perlakuan
mertuanya kepada Ibu. Ia bertekad untuk mengambil hati mertuanya dan
membuktikan bahwa ia tak selemah yang mereka pikirkan.
Saat itu Ibu ditugaskan sebagai guru
Bahasa Inggris di kecamatan Busung Biu, yang memang agak jauh dari rumah
mertuanya di desa Bengkel. Ia mulai merasa kelabakan antara mengurus rumah,
mengurus anak dan bekerja. Ia akhirnya menitipkan kakak pertama gue di
Denpasar, di rumah orangtuanya. Kakak gue terpaksa tumbuh besar berjauhan
dengan kasih sayang Ibu dan Bapak. Kemudian, Ibu harus merasakan kepedihan
kembali ketika ia terpaksa harus melahirkan di seorang bidan kecil di desa kami
tanpa kehadiran Bapak. Setelah sekian banyak penderitaan yang Ibu rasakan, rasa
cinta pun perlahan mulai memudar.
Hilangnya cinta membuat rumah tangga
mereka mudah sekali mendapat cobaan. Yang terberat adalah ketika Bapak
memutuskan untuk menikah lagi. Padahal Bapak baru saja berhasil mengontrak
rumah kecil untuk mereka tempati dan Ibu lolos tes Pegawai Negeri Sipil dan
resmi menjadi guru tetap di sebuah SMP swasta di Kota Singaraja. Bapak
merasakan cinta Ibu makin lama makin berkurang, sementara ia membutuhkan
seseorang dengan segudang cinta untuk menyemangatinya menjalani hidupnya yang
keras dan melarat. Bapak bukan orang yang terbuka dan terbiasa menceritakan isi
hatinya. Jadi ketika ada wanita yang mampu membaca perasaannya dan memberikan
cinta yang telah hilang, Bapak pun kembali jatuh hati.
Ibu merasa sangat tertampar dengan
kejadian itu. Berbagai pikiran buruk untuk mengakhiri hidupnya berkali-kali
muncul dan menggodanya. Untuk apa lagi ia tetap hidup dengan kondisi melarat
tak berkesudahan, dan memiliki suami yang berpoligami? Tapi melihat kedua anak
lelakinya, ia menepis semua pikiran itu jauh-jauh. Ia akan bertahan hidup demi
anak-anaknya, meskipun tanpa kehadiran Bapak. Cukup lama ia menenangkan diri di
tempat sahabat baiknya untuk memutuskan apakah perceraian dibutuhkan saat itu.
Cukup lama ia merenung. Hingga akhirnya masa ‘cukup lama’ tersebut menghasilkan
jawaban atas tindakan Bapak. Manusia pasti pernah melakukan kesalahan, dan
Bapak adalah salah satu dari manusia biasa itu. Bapak berpaling juga akibat
kesalahannya. Akibat cintanya yang sempat hilang. Akibat kelemahan Ibu menahan
kerasnya hidup mereka berdua. Ibu memutuskan untuk menerima istri kedua Bapak
dengan lapang dada dan bahkan menemani istri keduanya melahirkan anak tirinya.
Sungguh mulia hatinya sebagai seorang istri yang penuh maaf, cinta dan pengabdian.
Ibu menjadi inspirasi gue untuk
menjadi istri di masa depan, dan Bapak adalah inspirasi gue untuk menjadi
orangtua nantinya. Mereka berdua adalah kedua panutan gue, penyemangat gue,
yang selalu mengingatkan gue ketika gue ingin ‘berbelok’ dari jalur gue. Mereka
lah yang membuat gue gak ngerasa iri dengan teman-teman gue lainnya yang bisa
hura-hura, yang bisa berpesta mewah, dan gak perlu hidup melarat. Mereka gak
punya orangtua dengan cerita hebat seperti kedua orangtua gue.
Komentar
Tapi ya gitulah, setiap ibu kita adalah malaikat tanpa sayap yang sesungguhnya..
"Lo yakin nikah ma pilot? Ga takut diselingkuhin?" dan dgn tenang gw jawab.
"Awalnya takut banget. Takut banget smp gw melakukan kslahan bodoh dgn menyerah. Tp trnyata gw terlalu cinta, dan itu gak mudah dihilangkan. Kalau suatu saat dia slingkuh, gw akan berkaca pd diri gw. Apa kesalahan gw? Apa kekurangan gw? Gw sgt percaya hukum sebab akibat. Dan gw belajar dr pengalaman ibu gw. selama suami gw masih mempertahankan gw, berarti masih ada cinta yg kuat yg wajib diberi kesempatan kedua."