Captain Zul
Awal gue liat nama Captain di penerbangan gue, rasanya gue
langsung pengen ngebolos. Gimana engga? Captain
yang akan menjadi PIC (Pilot In Command) dipenerbangan selama 3 hari
kedepan adalah Captain Zul. Let me repeat it! CAPTAIN ZUL!!! Ah,
kalian pasti gak tau siapa beliau. Captain
Zul adalah salah satu Captain yang
terkenal karena suka nge-briefing dan
mengejek para awak kabinnya. Briefing
yang gue maksud disini bukanlah briefing standar
seperti :
“Nanti cuaca sepanjang perjalanan
cerah yaa!” atau “Nanti kita terbang pada ketinggian 36.000 kaki yaa!”
Sayangnya, briefing yang biasa ia lakukan bisa serumit hubungan gue dan
Maherda kalo dilanda orang ketiga. Misalnya seperti :
“Apa yang akan kamu lakukan pada
saat saya memberi command ‘EVACUATE’?”
gue, sebagai pramugalau bisa saja menjawab sesimple ini “saya akan mengingatkan
Captain untuk command dua kali, menjadi ‘EVACUATE EVACUATE’. Lebih keren didenger”
dan gue bakal langsung ditendang dari jendela darurat.
Dan dia akan terus melakukan
sesi tanya jawab hingga ia merasa yakin bahwa awak kabinnya sudah siap terbang.
Dan menghadapi kenyataan gue akan menghabiskan 3 hari kedepan dengan seorang
yang hobi tanya jawab sepertinya, wajar gue lemes mendadak. Gue buru-buru ambil
catatan kecil gue yang berisi prosedur-prosedur pada keadaan darurat untuk
sekedar refreshment.
Singkat
cerita, waktu pembantaian tiba. Gue duduk berhadapan dengan Captain Zul dan keempat awak kabin
lainnya. Setelah memberi briefing
tentang cuaca, ketinggian dan lama perjalanan, Captain Zul memulai kebiasaannya.
“Saya ingin tau seberapa siap
anda terbang hari ini, jadi boleh saya melakukan tanya jawab dengan anda semua?”
JENG JENG JEEENNGGG! Gue tiba-tiba ngerasa lagi ada di kuis Who Wants To Be A Millionare. Gue yang
udah curi start dengan belajar di
rumah tentu merasa siap. Hahaha.
“Jadi siapa yang paling junior?
Kamu ya? Baiklah, saya mau tau, apa yang akan kamu lakukan ketika saya memberi command ‘BRACE’. Saya ingin tau tindakan
kamu dari awal hingga akhir evakuasi. Kasus yang kita bicarakan adalah emergency landing on terrain. Silahkan
dijawab,” tunjuknya pada Hilene, junior bontot gue dipenerbangan kali ini. Gue
liat jelas ekspresinya yang tegang. Iyalah, gue diposisi Hilene juga pasti
tegang. Namanya juga ditanya dengan kondisi dibawah tekanan.
“Ng.. Command ‘BRACE’ diberikan 1 menit atau 500 feet sebelum pesawat mengalami benturan. Ketika saya mendengar command tersebut, saya akan
menginstruksikan kepada penumpang ‘EMERGENCY – BEND DOWN – HOLD YOUR KNEES –
BAHAYA – MEMBUNGKUK – PELUK LUTUT’. Setelah pesawat mendarat dan berhenti
dengan sempurna, saya menunggu command selanjutnya
sambil menghitung hingga 10 detik. Kalau PIC memberi command ‘ATTENTION CREW ON STATION’ saya akan melepas shoulder harness saya, melihat kondisi
diluar tidak ada api, asap atau halangan. Kemudian melihat keadaan penumpang.
Memastikan kembali slide (pelampung)
pada posisi ARM (siap mengembang). Berdiri pada posisi DAS (Dedicated Assist
Space) dan menunggu instruksi selanjutnya-“
“Lalu bagaimana kalau dalam
waktu 10 detik saya tidak kunjung memberi instruksi selanjutnya?” potong Captain Zul cepat. Hilene mulai
kehilangan kelancaran jawabannya.
“Nggg… Mmphh…Kalau dalam waktu
10 detik tidak ada command.. Mm-“ gue rasanya pengen banget memberi bantuan.
Tapi berhubung ini bukan didalam kuis Siapa Berani, gue lebih milih mingkem.
Gue berusaha mentransfer jawaban dari dalam hati, mengira gue dan Hilene punya
kemampuan telepati.
“Kalau tidak ada command, FA 1 akan masuk ke dalam cockpit untuk
memastikan awak pilot belum koleps. Kalau itu terjadi, maka mengacu pada
persyaratan initiating evacuation, kita diharuskan melakukan evakuasi
secepatnya,” kata gue dalem hati. Bukannya menangkap suara hati gue, Hilene
terlihat makin gugup.
“Boleh tidak kalian melakukan
evakuasi tanpa command dari saya?”
lanjut Captain lagi. “Bagaimana
Hilene? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaan saya? Kalau begitu, bisakah kamu
memperagakan safety demonstration kepada
saya? Silahkan berdiri. Sekarang,” ntah kenapa gue merasa Captain Zul adalah orang yang sangat dingin, meskipun ia berbicara
dengan senyum tanpa putus dari bibirnya. Hilene berdiri pada posisi Safety demo dan dengan bantuan announcement dari FA 1 gue, ia pun
memperagakan safety demo.
“Baik. Cukup. Bagaimana bisa
kamu hafal dengan gerakan safety demo
sementara kamu tidak hafal dengan prosedur pada saat keadaan darurat? Karena
kamu melakukan safety demo hampir setiap
hari, sementara kamu menghapal prosedur hanya ketika berhadapan dengan Captain seperti saya. Benar?” JLEB!
Sumpah, itu JLEB banget! Gue bener-bener merasa malu.
“Kalian bergantung gak dengan
kemampuan saya mengemudikan pesawat?” kami serempak mengangguk. “Begitupun
penumpang sangat bergantung dengan kalian. Semenyebalkan apapun mereka pada
kondisi normal, mereka tetap akan bergantung padamu pada kondisi darurat. Saya
tidak pernah berani menjamin, nanti atau esok, kalian masih hidup. Saya tidak
pernah berani menjaminnya. Setiap kali saya mendorong tuas untuk lepas landas,
saya selalu berfikir ‘inikah take off
terakhir saya?’ Saya selalu berpikir demikian. Saya yang selalu membekali
diri saya dengan safety saja masih
merasa takut, bagaimana mungkin kalian tidak? Kita tidak pernah tau, Nona. Kita
tidak pernah tau kapan bencana itu datang.”
Gue merinding. Gue yang awalnya
sangat malas karena harus terbang bersama Captain
Zul, kini berubah 180 derajat. Gue sangat mengaguminya. Pertama, briefing yang ia lakukan sangat
bermanfaat. Berbeda dengan beberapa Captain
lain yang kadang suka mem-brieifing
diluar emergency procedurs. Misalnya,
‘berapa durasi penggunaan halon (alat
semprot untuk memadamkan kebakaran) di pesawat kita?’ atau ‘berapa pressure minimum pada slide
dipesawat kita?’. Banyak hal penting yang lebih pantas dibahas dari sekedar
durasi atau pressure slide. Toh kalau
isi dari halon sudah habis, kita tidak akan menggunakannya lagi. Kita tidak
perlu repot-repot menghitung 1-10 detik untuk tau bahwa isinya sudah habis.
Dan kedua, Captain Zul tidak suka menurunkan awak kabinnya. Menurunkan disini
berarti mengganti awak kabin yang ia anggap tidak qualified dan menggantikannya dengan awak kabin yang sedang reserve atau istilah gaholnya mereka
yang lagi nyerep. Daripada menurunkan, ia lebih memilih untuk terus membimbing
para awak kabinnya.
“Saya yakin kok, kalian
sebenarnya bisa menjawab semua pertanyaan saya. Saya yakin, karena kalian sudah
berhasil melalui serangkaian proses berat untuk bisa menggunakan seragam itu.
Kalian adalah orang-orang pilihan. Coba teman kalian yang bukan pramugari,
kalian pinjami seragam itu. Apakah mereka lantas menjadi seorang pramugari? Tidak.
Pramugari itu berasal dari pikiran, dan juga hati. Itu yang membedakan kalian
dengan para penumpang.
“Nah, karena kalian istimewa, saya yakin
pertanyaan-pertanyaan saya tadi sebenarnya mudah bagi kalian. Hanya saja,
karena saya duduk disini, kalian menjadi tertekan dan tiba-tiba semua ingatan
kalian hilang. Saya maklum, tapi kalian harus tau, tekanan yang saya berikan
tidak seberapa dibanding tekanan yang akan kalian terima pada keadaan darurat.
Raungan korban, anak-anak yang kehilangan Ibunya, darah yang berceceran. Itu
tekanan yang hebat. Saya hanya ingin memastikan, kalian bisa menghadapinya.
Jadi yang saya inginkan, mulai besok, 15 menit sebelum leaving hotel, kalian berkumpul di lobby dan melakukan review. Mengerti?” kami semua mengangguk
semangat.
“Dan satu lagi, kalau di
penerbangan kita nantinya ada penumpang yang melecehkan kalian, ataupun
bertindak dengan mengganggu keselamatan penerbangan, segera informasikan kepada
saya. Saya akan memanggil pihak security untuk
menurunkan penumpang tersebut dan ground staff
yang akan mengurusnya. Kita punya dasar hukum yang kuat. Dibawa ke pengadilan
manapun, kita pasti menang.
“Saya mau penerbangan saya safe. Saya tidak akan membiarkan satu orangpun membahayakan
penerbangan saya. Jadi saya mohon bantuan kalian, agar penumpang tidak
menyepelekan aspek keamanan dan keselamatan kita. Baiklah, saya tutup briefing kali ini. Silahkan FA 1
melanjutkan untuk membimbing adik-adiknya ya?” Captain Zul meninggalkan kami di ruangan brieifing. Siang itu, gue merasa sangat malu pada diri gue sendiri.
Dan siang itu juga, gue sangat mengidolakannya. Seorang Captain yang berbeda dan sangat mem-back up awak kabinnya. ‘Ah…
Maafkan saya Captain Zul…’
Komentar
Quote of the day:
"setiap kali saya mendorong tuas untuk lepas landas, saya selalu berfikir inikah take off terakhir saya?" ~Captain Zul
“Saya mau penerbangan saya safe. Saya tidak akan membiarkan satu orangpun membahayakan penerbangan saya. Jadi saya mohon bantuan kalian, agar penumpang tidak menyepelekan aspek keamanan dan keselamatan kita" ~Captain Zul
Seems he always prepared for the worst, great captain.
titip nanti kalo isieng kumpulin quote2 keren ya.. (pas g iseng tapi galau juga boleh) kalo bisa dirangkum jadi satu.. hehe...
Btw, sosok Capt.Zul dalam bayanganku mirip Capt. Koda di dorama jepang Good Luck.. Hehe
Semoga cerita ini bermanfaat buat smua, jadi pelajaran kalau jangan menilai sesuatu itu terlalu cepat. Setiap orang pasti punya alasan & tujuan kenapa mereka begitu.. *ini gue ngomong apa sihhh -____-*
Dulu ketika terbang ke Bengkulu seingatku kaptennya bilang ke penumpang, "Penumpang yang terhormat, anda bisa melihat di sisi kiri jendela terdampar deretan pegunungan Bengkulu yang luar biasa indah."
Seumur-umur naik pesawat baru sekali itu aku ketemu Captain yang demen cerita ke penumpang. Dan, seingatku nama Captainnya Zul hehe :)
Pilot yg sama bkn mbk?
hehehehe
salam kenal dina, td gueh yg mention di twitter...