How To Nge-TROLL
Oke,
saat gue menceritakan kisah Pramugari VS Polisi pada kakak kedua gue, Bli
Kadek, ia mengatakan bahwa cara gue
menyampaikan jawaban ke Pak Polisi itu kurang tepat. Mungkin pemilihan
kata-katanya bagus, tapi ada cara jitu untuk mengajak ‘perang’ dengan cara
terselubung. Cara itu disebut nge-troll.
Nge-troll adalah istilah yang baru gue
ketahui dari kakak kedua gue. Ternyata ngetroll itu adalah sebuah cara memancing emosi lawan bicara kita dengan
joke yang kita berikan.
“Harusnya
kamu bilang gini aja, ‘Bapak mau gaji
gede kaya saya ya? Ngelamar jadi pramugara aja Pak. Eh, tapi Bapak udah ga
masuk syarat umurnya sih ya? Hahaha…’ itu Bapak pasti kesel kan, tapi
karena kamu nadanya bercanda, dia pasti susah ngejawabnya. Dia emosi, tapi gak
bisa ngelawan. Kaya gitu loh, Gek!” begitulah nasihat Kakak gue.
Cukup
lama gue menimba ilmu, bertapa, mencari petunjuk hingga mencari harta karun,
untuk akhirnya bisa menguasai ilmu nge-troll.
Yak, gue kali ini akan menceritakan keberhasilan gue nge-troll penumpang yang ngamuk-ngamuk sama gue.
Alkisah
saat itu gue seharusnya menjalankan schedule
Cengkareng – Palembang – Cengkareng – Medan dimana gue akan menghabiskan
malam di Medan. Nginepnya sih di Medan, tapi pesawat gue nginepnya di
Kualanamu, yang jaraknya bisa 1 jam lebih dari bandara menuju hotel. Nah,
karena lagi musim delay, penerbangan
gue kali itu juga gak luput dari keterlambatan. Gak tanggung-tanggung, gue
delay 3 jam! TIGA JAM CEMANS-CEMANS! Yah, bisa ditebak seberapa manyun dan
seberapa sering para penumpang tercinta gue ini mengumpat.
Masuk
ke penerbangan Cengkareng – Medan, gue mulai menyiapkan diri untuk menghadapi
beberapa orang Medan yang kadang suka mengamuk dan memberi complain. Gue capek. Gue sangat-sangat capek. Kondisinya gue belum
pulih betul dari demam sebelum gue terbang ke Jogja kemarin. Tapi gue gak boleh
manja. Semua pramugari lain juga pasti capek. Kalau gue memilih turun dan
meminta pramugari lain menggantikan gue hanya karena gue capek, itu egois
sekali. Jadi gue memaksakan diri untuk terus berpikir ‘1 landing lagi. Kuat lah kuaaatttt!’.
Selesai
boarding, sebuah pax call sign menyala. Saat itu gue in-charge sebagai FA 3, dan kebetulan
penumpang yang menyalakannya duduk tepat di depan jumpseat gue. Firasat gue
langsung ga enak. Belum lagi ketika Hilene, junior gue yang in-charge sebagai FA 5 mendatangi
penumpang itu dan gue mendengar penumpang itu meneriakinya. Gue buru-buru
mendatangi mereka berdua sebelum nantinya akan ada kasus penganiayaan pramugari
untuk kesekian kalinya.
“…. Jawabanmu
itu arogan sekali! Lagipula saya gak suka ya, udah delay 3 jam lebih, kalian masih mau mengundur keberangkatan begini!
Trus kalian bolak-balik pesawat sambil senyum, seneng ya kalian?!” teriak si
Bapak. Gue gak tau apa yang Hilene jawab ataupun apa yang si Bapak tanyakan
sebelumnya. Tapi gue gak mau penerbangan ini mendapat complain karena pramugarinya memberi jawaban yang arogan atau ntah
untuk alasan apapun. Gue malas harus berurusan dengan chief.
“Ada
yang bisa saya bantu Pak?” sela gue.
“JANGAN
NAMBAH-NAMBAH DELAY MBAK! Pake bilang kalo HP masih dinyalakan maka
keberangkatan akan ditunda segala! Buruan berangkat Mbak! Nunggu apa lagi?!”
semprotnya ke gue. Oke, tampaknya si Bapak punya dua mangsa sekarang.
“Iya
Bapak. Saya mohon maaf sebelumnya-“
“GAK
USAH MINTA MAAF! BERANGKAT AJA SEKARANG!!!”
“Iya
Bapak, tapi saat ini kita sedang menghitung jumlah penumpang yang ada di
pesawat untuk disesuaikan dengan data petugas darat kami. Belum lagi-“
“Buat
apa sih Mbak? Gak penting! Sekarang saya mau, berangkatkan pesawat ini!
Sekarang juga!” ‘WAT? GAK PENTING?! Kalo
jumlah penumpangnya gak sama, dan nih pesawat kenapa-napa, menurut lo gak jadi
masalah gitu, ada jasad yang kurang atau jasad yang lebih? HAH? HAHHH?!!’
“Baik
Bapak. Maaf untuk ketidaknyaman i-“
“Sumpah
ya? Penumpang kalian itu sudah baik banget sama perusahaan kalian, tapi
perusahaan ini malah memperparah delay buat sebuah alasan-alasan gak penting!
Belum lagi-“ STOP! Gue gak tahan lagi mendengar makian, nada keras dan hal lain
yang ia tuduhkan. Gue gak peduli lagi. Kesabaran gue ada batasnya. Daripada gue
yang terpancing emosi dimana hal itu akan merusak citra pramugari yang
setidaknya berusaha gue tunjukkan di depan penumpang, gue memilih untuk pergi.
Dengan cepat gue mematikan tombol pax
call sign yang masih menyala.
“Maaf
Pak. Sekali lagi maaf. Permisi,” gue menarik tangan Hilene dan berjalan ke
cabin belakang. Gue sempat mendengar si Bapak berteriak “SAYA BELOM SELESAI
NGOMONG!” tapi gue acuhkan. Banyak pekerjaan lain yang lebih penting daripada
sekedar mendengarkan gorilla lepas dari kandangnya dan mengamuk di pesawat.
Di belakang,
gue menepuk bahu Hilene. “Sabar buat kita berdua yaa.. Lain kali kalo sama
penumpang kaya gitu, jangan sampai kita menjawab dengan nada jutek atau arogan.
Pokoknya kalo kita udah ga tahan lagi, tinggalin aja.”
Urusan
hitung-menghitung penumpang dan semua dokumen penerbangan lengkap, awak cockpit memberi command ‘FLIGHT ATTENDANT DOOR CLOSE, SLIDE ARM AND CROSS CHECK’
sebagai pertanda untuk menutup pintu pesawat dan bersiap-siap untuk
keberangkatan.
Saat
itu, jam tangan gue sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dan sialnya, untuk push-back kita harus menunggu selama 20
menit. Ini tidak seberapa dibandingkan ketika gue harus menunggu 50 menit saat
akan ke Palembang beberapa jam sebelum ini. Gerutuan penumpang berkumandang
seiring announcement yang diberikan Captain Zul.
Singkat
cerita, pesawat akhirnya mendapat giliran untuk push-back alias mundur. Phase ini disebut taxi-out. Meninggalkan apron atau tempat parkir pesawat menuju
ke runway atau landasan pacu. Gue pun
duduk di jumpseat station gue dimana itu berhadapan langsung dengan Bapak
Chinese yang baru saja gue ceritakan. Gue mempersiapkan diri untuk
mempraktekkan jurus nge-troll kalau-kalau
si Bapak mau melanjutkan amukannya tadi. Dan tebakan gue tepat sekali…
“Mbak,
tadi itu saya belum selesai bica-“
“Stop!”
potong gue. “Beri saya kesempatan lebih dahulu berbicara. Tadi saya masih
banyak pekerjaan yang belum selesai di belakang. Berhubung Bapak dan kita semua
mau cepat berangkat, jadi saya harus menyelesaikan pekerjaan say terlebih
dahulu. Benar? Nah, sekarang saya punya waktu untuk mendengarkan Bapak kalau
Bapak mau melanjutkan pembicaraan kita tadi. Tapi sebelumnya saya akan
menjelaskan sesuatu, supaya Bapak tidak marah-marah tanpa alasan. Boleh?
Baiklah…” gue menarik nafas sebentar. Fyuh.. Okeh, agak bau sedikit. It’s okay, dia gak sadar gue barusan
kentut. Lanjut.
“Hari
ini saya berangkat dari mess jam 12
untuk menjalankan schedule Cengkareng
– Palembang pukul 15.05. Sampai di bandara, saya dan crew saya harus menunggu hingga pukul 16.00 karena pesawat yang
akan kami gunakan diperkirakan tiba pukul sekian. Kami masuk pesawat hingga
proses boarding selesai sekitar pukul 16.45. Setelah tutup pintu, kita masih
diharuskan menunggu antrian untuk mundur sekitar 50 menit. Setelah mundur pun,
kami masih harus antri untuk lepas landas hingga 20 menit. Penumpang
marah-marah? Pasti. Saya mengerti. Mereka yang tidak mengerti.
“Keberangkatan
ke Palembang menjadi terlambat 3 jam dari jadwal. Tidak hanya itu, cobaan kami
ditambah saat kita gagal mendarat karena tiba-tiba ada angin yang sangat kencang
sehingga awak cockpit kami memutusan untuk go
around. Pesawat kembali menaikkan ketinggian untuk kemudian berputar dan
kembali mencoba mendarat. Syukurlah, kami bisa mendarat dengan selamat di
Palembang. Walaupun tentu saja kejadian tadi menambah keterlambatan penerbangan
kami berikutnya dari Palembang menuju Jakarta.
“Untuk
menghemat waktu, awak kabin kami rela membersihkan sendiri kabinnya karena
menunggu petugas cleaning hanya akan
membuang waktu. Begitu cabin bersih,
kami langsung boarding. Penumpang
marah-marah lagi? Sudah biasa. Tapi mereka tidak tahu, apa yang sudah kami
lakukan. Saya mengerti. Mereka yang tidak mengerti.
“Akhirnya
mendaratlah kami di Jakarta. Seperti sebelumnya, untuk menghemat waktu, kami
membersihkan cabin kami sendiri tanpa
menunggu petugas cleaning.
Keterlambatan yang sebelumnya 3,5 jam, bisa kami minimize menjadi 3 jam saja. Tapi ya mau bagaimana lagi, kita kan
harus budidayakan antri Pak. Kita harus antri untuk memundurkan pesawat selama
20 menit. Dan kita harus antri untuk lepas landas. Sekedar informasi, kita saat
ini ada di urutan ke 8. Maka disinilah kita sekarang Pak, mengantri.
“Seandainya
saya boleh nangis, saya boleh cemberut, saya boleh balas marah-marah dengan
penumpang yang memarahi saya, mungkin sudah saya lakukan dari awal. Atau dari
semenjak saya jadi pramugari. Sayangnya saya DILARANG melakukan itu. Kalau
pramugarinya saja cemberut, gimana penumpangnya? Bener ga Pak? Saya
senyum-senyum, kan supaya penumpang saya ikutan senyum. Kok Bapak malah gak
suka? Jadi Bapak lebih suka saya cemberut nih?”
“Bukan
begitu…”
“Hehehe…
Kalau boleh saya jujur, saya juga gak suka delay lama-lama Pak. Gak dihitung
sebagai uang terbang, gak dapet duit lembur, yang ada waktu istirahat saya kepotong,”
gue melirik jam tangan gue yang menunjukkan pukul 11.45. “Harusnya jam 10 malam
saya sudah mendarat di Kualanamu. Seharusnya sekarang saya sudah tidur dengan
enaknya di hotel. Tapi saya harus menerima kenyataan, jam segini saya masih
terjebak di pesawat yang sama dengan Bapak. Akan menghabiskan 2 jam 10 menit
perjalanan ke Kualanamu, dan menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai
hotel tempat saya menginap. Daaan, saya harus menerima kenyataan, besok pagi
saya bangun jam 9, untuk kemudian bersiap-siap dan meninggalkan hotel jam 11.
Tidak ada penambahan waktu istirahat walaupun saya hari ini saya delay 3 jam.
Saya menerimanya karena saya mengerti dengan keadaan seperti ini. Bagaimana
dengan Bapak? Bapak ngerti gak? Bapak masih mau marah-marah lagi gak? Kalo
masih, ya sudah. Monggo dilanjutkan, biar saya dengarkan. Mumpung kita masih
mengantri untuk lepas landas. Paling tidak, sekarang kalau Bapak masih mau
marah-marah, Bapak sudah tau alasan keterlambatan kita kali ini. Gak kaya tadi,
Bapak marah-marah tanpa tahu alasan sebenarnya. Jadi gimana Pak? Sampai mana
Bapak tadi?”
Si Bapak
membuka mulutnya hendak berbicara, tapi ia menutupnya dengan cepat. Ia
memandang gue, hendak membuka mulutnya lagi, tapi lagi-lagi ia langsung
menutupnya. Akhirnya ia membuang pandangannya keluar jendela.
“Udahlah
Mbak! Lupain aja!”
HAHAHAHAHAHA!!!
Gue senyum puas banget! Dalem hati gue ketawa hingga jungkir balik dan
tertungging-tungging. YES!! Gue berhasil nge-troll!
Thanks to Bli Dek deh, nasihatnya manjur banget kali ini!
Komentar
skr blm ada persiapan, pertama kali nyoba soalnya
*biaya kursus bs ditransfer melalui BCA/BRI atau DANAMON. Oke?
http://www.barrett.com.au/blogs/SalesBlog/wp-content/uploads/2013/06/the-troll-face.png
trus blg "U Mad Sir"
hahaha