It's Me! Angkasa Nandakita
Gue menatap
bangunan di hadapan gue. Apartment baru yang akan gue huni bersama 3 sahabat
terbaik gue, Resha, Nindya dan Gisa untuk menjalani hari-hari kami sebagai
pramugari di salah satu maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia. Sebelumnya kami tinggal terpisah-pisah. Tapi sekarang
setelah permintaan khusus, kami mendapat 1 unit untuk ditempati bersama.
Biar gue perkenalkan ketiga sahabat
sekaligus keluarga baru gue ini. Pertama, Anindya Latisa yang biasa kami
panggil ‘Apa’. Orangnya item sepet, di kasi duit gopek juga sebenarnya kami gak
percaya dia orang Palembang. Kulit dan kontur mukanya persis orang Jawa tulen.
Apa ini adalah sahabat serba ‘iya’. Setiap kita minta tolong atau bilang
apapun, dia dipastikan akan selalu
bilang ‘iya’. Pernah, gue jail aja ngatain dia, “Apa, kok jelek ya?” dan
seperti biasa, dia pasti bilang ‘iya’. Hahahaha, kasian Apa, sahabat tertindas.
Apa bergabung di maskapai gue 1 bulan setelah gue dan Resha masuk. Dia masuk
angkatan atau yang biasa kami sebut batch
127.
Dan Resha Hervy Ana yang berasal dari
Bengkulu mendapat julukan ‘Adik’. Cantik dan mulusnya boleh diadu, tapi sayang,
kalau penyakit lemotnya kumat, kemampuan otaknya bakal lebih rendah dari
protozoa. Resha ini semacam Bank di lingkaran pertemanan kami. Kami biasa
ngutang tanpa bunga, karena memang Resha lah yang keadaan ekonomi keluarganya
paling bagus diantara kami semua. Gue dan Resha emang masuknya rada deketan.
Dia keterima 2 minggu setelah gue tanda tangan kontrak, sehingga masuk di batch 126.
Kemudian Gisa Nur Fitria yang akrab
dipanggil ‘Ama’. Dia yang sebenarnya berusia paling muda diantara kami, tapi
karena cerewetnya sama kaya para Ibu-ibu kami di rumah, kami sepakat memberi
predikat ‘Ama’ untuknya. Peranakan Lampung+Jawa yang rajin sholat dan khatam
semua isi Al-quran ini mungkin ditakdirkan menjadi spesies paling terakhir yang
memiliki pasangan karena memang tidak pernah tertarik dengan pria. Ama yang
paling junior di antara kami, masuk 2 bulan setelah Apa. Dia gabung di batch 130.
Sementara gue? Komang Angkasa Nandakita.
Orang Bali 100 persen, yang biasa di panggil ‘Kakak’ karena gue yang paling tua
diantara mereka. Gue gabung di batch 125
dan saat ini sudah genap setahun terbang sebagai crew aktif.
“Masuk, yuk! Gue gak sabar
beres-beres. Lagipula besok gue harus terbang pagi,” gue mengajak mereka semua
sambil menarik paksa atau lebih tepatnya menyeret mereka memasuki lift.
Kami membuka pintu apartemen kami
dan terpana. Ruangan itu bagus sekali, dengan dua kamar tidur, satu kamar
mandi, satu dapur dan satu ruang tamu. Ada TV layar datar berukuran besar di
tengah ruang tamu kami, dengan sofa berwarna coklat dan meja kayu kecil. Gue
melirik dapur dan menemukan kitchen set disamping kulkas 2 pintu. Waaooww! Kami
loncat-loncat kegirangan dan terus memuji betapa keren unit apartemen kami.
Unit itu memang disewakan secara
Cuma-Cuma kepada kami sebagai salah satu bentuk fasilitas akomodasi dari
perusahaan. Kami juga mendapat antar-jemput untuk setiap jadwal penerbangan.
Hidup kami benar-benar seperti ratu, dengan fasilitas semenyenangkan itu.
Apalagi di dekat kawasan apartemen kami terdapat supermarket yang bisa dijangkau
cukup dengan berjalan kaki. Kami juga tidak kesulitan mencari makan karena
terdapat banyak kantin yang menjual makanan enak dengan harga yang bersahabat.
Bisa dipastikan kami akan kerasan tinggal disini.
“Eh, tinggal bareng gini, gue jadi
inget kejadian setahun yang lalu, pas Resha first
flight. Kalian masih inget ga?” kata Gisa mengawali nostalgia. Ingatan gue
kembali ke memori 1 tahun yang lalu, ketika gue udah 2 minggu lebih terbang
sebagai crew aktif dan Resha baru
saja akan menjalani pengalaman first
flight-nya.
“Tenang, first flight gak semengerikan kata orang-orang. Sereman juga pocong
bencong. Serius! Lo bayangin pocong pake kain kafan warna pink dengan renda dan
motif bunga bangkai,” kata gue berusaha menghibur meskipun keliatannya gagal
total.
“Ga usah ngelawak deh, Kak. Gue mesti gimana
nih besok?”
“Siapin koper, siapin handbag. Naik mobil jemputan ke bandara,
terbang deh. Urusan lo dimakan atau diemut sama senior, belakangan aja. Lo gak
punya pilihan, Dek. Lo harus terbang, kalo lo menghindar terus, mending lo resign.”
Akhirnya kita berempat bantuin Resha
siap-siap di unit apartmentnya. Besok paginya kita semua nganter Resha sampe ke
mobil jemputan. Kita cipika-cipiki, Gisa bahkan sampe nangis dari mata dan
hidung saking terharunya.
“Sha, kabarin gue kalo udah landing ya,”
pesen Nindya.
“Inget makan ya, Sha. Kalo ada apa-apa,
telfon gue. Inget sholat, inget berdoa sebelum take-off, inget-“ sebelum Gisa
selesai menyelesaikan pesan wasiatnya, gue langsung motong.
“Inget oleh-oleh kalo pulang, Za. Awas
lo pulang bawa nama doank, gue gak punya baju item buat melayat!”
Dan tiga pasang tangan menjitak kepala
gue satu persatu.
Setelah Resha pergi, kita semua
harap-harap cemas nunggu kabar dari Resha. Even
banyak senior bilang, senior jaman sekarang udah gak seganas dulu, tapi
sisa-sisa keganasannya pasti masih ada. Dan gue yakin, keganasannya bakal
keluar ngeliat ulah junior bego apalagi model anak-anak first flight yang level kelemotan otaknya kaya si Resha. Baiklah, sejam-dua jam Resha gak ngasi
kabar. Sehari gak ngasi kabar. Kita mulai berpikir nyiapin karangan bunga dan
kata-kata penenang buat orangtua Resha. Tapi gak lama kemudian, Resha update
status BBM pake emot ‘nangis’ yang isinya, “HELP! TENDANG GUE DARI JENDELA
DARURAT!”
Kita semua ngakak, apalagi setelah
denger cerita lengkap ketololannya selama penerbangan pertamanya itu.
Bener-bener gak bakal bisa dilupain.
Gue mulai menguap. Gue memang udah
bersiap-siap untuk kepindahan ini dari subuh, berbeda dengan mereka yang sudah
bersiap-siap dari kemarin malam sehingga bisa beristirahat cukup. Kemarin dari
siang sampe malem gue ngunjungin keluarga gue yang tinggal di Cimanggu Permai,
Bogor. Siangnya gue naik kereta ke Bogor, malemnya dari Bogor gue naik Damri ke
Bandara. Gue jadi inget, ada kejadian menarik yang membuat gue sangat bangga
sama diri gue.
Ini adalah pertama kalinya gue naik
kereta dari Stasiun Tangerang. Karena setelah satu tahun aktif terbang dan
tinggal di Tangerang, gue gak pernah lagi berlibur ke Bogor. Kerjaan gue
terlalu menyita waktu dan menguras tenaga. Sebelumnya gue emang naik dari
Stasiun Kota di Jakarta Pusat, karena kost gue selama basic training di daerah Petojo sana. Gue suka banget naik kereta,
karena selain murah, kereta adalah pengalaman baru buat gue (di Bali kan ga ada
sarana transportasi satu ini).
Jadi begitulah, untuk pindah
Apartement, gue dapet libur 2 hari. Libur ini gue manfaatin buat liburan ke
Bogor lagi. Gue naik kereta dari Stasiun Tangerang dimana kemudian transit di
Stasiun Duri. Gue terpaksa nunggu cukup lama, karena kereta dengan tujuan Bogor
agak jarang melewati stasiun itu.
Sambil nunggu, gue merhatiin
pengamen-pengamen waria bolak-balik kereta ekonomi. Ada yang cantik nyaingin
Miss Indonesia, ada yang jeleknya nyaingin gue, ada yang masih keliatan laki
banget, macem-macem deh. Tapi semuanya keliatan sumringah banget. Mereka bercanda
dengan sesamanya dan penjaga warung tempat mereka biasa ‘mangkal’. Mereka
tertawa lepas, seolah gak ada beban yang mereka pikul. Tawa itu mengingatkan
masa-masa SMA gue. Kebahagiaan yang sama waktu gue ngebolos, waktu gue siaran,
waktu gue latihan teater, waktu gue menang lomba, atau waktu gue jatuh cinta.
Keadaan itu berbanding terbalik dengan keadaan gue sekarang. Ketika kebanyakan
temen seprofesi gue bisa menghabiskan uangnya untuk foya-foya di Mall dan
mengikuti perkembangan gadget terbaru, gue harus mati-matian menahan hasrat
belanja gue dan mengirit dengan menjauhkan gengsi demi beberapa nominal untuk
gue kirim ke rumah. Kebahagiaan yang gue rasain jauh berbeda. Kebahagiaan
dengan beban. Beban yang menurut gue cukup berat buat anak seusia gue yang pada
normalnya masih kuliah dan hura-hura. Tapi ini adalah pilihan gue. Gue lebih
memilih untuk bekerja sambil menabung untuk sesuatu yang gue impikan, sekolah
perfilman. Sebuah profesi ntah itu orang dibelakang layar seperti penulis
dan sutradara, atau bahkan yang berlakon
di depan layar sebagai aktris. Impian seorang gadis kampung dari pinggir pantai
Singaraja yang telah cukup jauh menginjakkan kakinya di tanah Jakarta.
Setelah bosen ngitungin waria yang
pake stocking jala warna pink, gue mutusin buat ngikutin para waria itu naik
kereta ekonomi. Toh gue beli karcis yang AC, jadi gue tetep bisa naik yang
ekonomi. Kebetulan kereta lagi rada sepi, gue kebagian tempat duduk di sebelah
cewek pake kemeja putih dan rok span item.
Kalo bukan anak kuliah, palingan SPG yang lagi pulang kerja. Di sebelah
kanan gue ada mas-mas gembrot yang ngorok kaya babi. Jadi otomatis, gue Cuma
bisa ngobrol sama mbak di sebelah kiri gue ini, yang belakangan gue tau namanya
Mbak Riske.
“Mbak ke Bogor?” sapa gue.
“Iya, Mbak. Mbak? Rumahnya di Bogor
juga?”
“Bukan Mbak. Saya ada saudara di
Cimanggu. Saya sekarang mah
tinggalnya di Tangerang.”
Kita ngobrol panjang kali lebar kali
tinggi sama dengan luas meter persegi. Dari obrolan itu, gue tau dia juga Cuma
tamatan SMA kaya gue. Udah ngelamar kerja kemana-mana, tapi gak diterima.
Terakhir dia ngelamar jadi SPG di salah satu dealer mobil merk T di Jakata
Pusat. Katanya sih hasilnya akan dikabarkan melalui telfon, tapi dia udah hopeless. Dua minggu ini dia di tolak
terus.
“Yah, emang ngene nasib aku, Din. Hidup susah, melarat. Gak ilang-ilang. Lah,
Mbak ndak kuliah tah?” kata Mbak
Riske hopeless dengan logat Jawa
medoknya. Gue jadi kasian. Padahal, tampang Mbak Riske ga jelek-jelek amat loh.
Sebenarnya manis malah, kurang dipoles aja. Junior gue aja ada kok yang mukanya
gak cakep-cakep amat, tapi buktinya bisa diterima. Jadi pramugari kan lebih
diutamakan memiliki pribadi dan wajah yang menarik, gak Cuma cantik. Dan
menurut gue, Mbak Riske punya kriteria menarik tu.
“Ah, saya gak punya duit buat
kuliah, Mbak. Eh, kenapa Mbak Riske gak jadi pramugari aja? Sekarang kalo
ngelamar langsung ke maskapainya gampang, Mbak. Ga perlu keluar uang buat
sekolahnya. Gratis semua!” kata gue penuh promosi.
“Oalah, Diiinn. Saya tau diri, saya iku siapa. Mana bisa jadi pramugari,
mana bisa di terima sama lingkungan’e.
Iku lho Din, aku wes nonton di tipi-tipi, pramugari iku wes pasti dadi selingkuan’e pilot. Gawe’e hura-hura,
narkoba. Hiii, ndak ah! Aku takut!”
Gue bengong. Gue selalu ngira di luar
sana banyak yang mengelu-elukan profesi gue ini. Banyak yang pengen jadi
pramugari. Bahkan kalo anak kecil ditanya, udah gede mau jadi apa, pramugari
masuk deretan cita-cita favorit anak-anak kecil itu, disandingkan dengan
dokter, polisi, suster, pengacara, dll. Gue bener-bener ngerasa ditampar dengan
keluguan Mbak Riske merespon tawaran gue.
“Mbak Riske boleh percaya, boleh engga.
Gak semua pramugari seperti itu. Saya itu seorang pramugari, Mbak. Kadang saya
memang merokok, kalau penat. Kadang saya minum ataupun dugem, tapi gak juga
sampe teler atau bangun pagi di samping cowok yang gak saya kenal. Saya pakai
obat, tapi bukan yang terlarang dan bikin kecanduan. Gaji saya sebulan lebih
dari 10 juta sebulan, tapi masih bisa saya tabung dan saya kirim ke orangtua
untuk bayar cicilan hutang. Saya gak operasi satu bagianpun dari tubuh saya. Dan
akhlak saya gak serendah itu buat ganggu rumah tangga orang dengan jadi cewek
simpenan. Hura-hura? Mbak bisa liat sendiri, saya lagi naik apa sekarang.
Kereta, yang kelas ekonomi pula. Jadi? Itu tergantung pribadi masing-masing,
Mbak. Kalo emang diniati buat ‘lurus’, ya kita bakalan ‘lurus’, itu baru mental
juara. Justru kalo Mbak dari awal bilang takut karena gak mau ‘belok-belok’,
itu yang nunjukin mental Mbak ga lebih dari seorang pecundang.”
Giliran Mbak Riske yang bengong,
mukanya keliatan nyesel abis. Tapi gue Cuma senyum. Gue gak emosi, ataupun
marah. Mbak Riske Cuma satu dari sekian banyak orang yang salah persepsi
tentang profesi gue ini. Gara-gar ulah oknum, mereka jadi main pukul rata. Gue
kena imbas negative image-nya. Gak kerasa kita udah sampe di Stasiun Bogor.
Sebelum pisah, Mbak Riske nyalamin gue dan bilang,
“Doain aku yo, Din. Aku jadi pengen coba ngelamar. Keterima ya Alhamdullilah,
ga keterima juga ga papa. Maaf ya, buat
yang tadi, “ gue balas dengan senyum dan berdadah-dadah ria karena buru-buru
ngejer angkot nomor 12 dengan tujuan Cimanggu Permai.
Setiap inget kejadian itu, gue jadi
selalu ngerasa bangga sama diri gue. Kurang lebih 1 tahun gue disini, make
seragam pramugari. Tapi gue masih gue yang dulu. Gak banyak berubah. Gue masih
dengan prinsip gue, dan astungkara
akan selalu demikian.
“Heh, bengong aja! Buruan beres-beres!”
tepuk Gisa ngagetin gue. Gue gak buang waktu lagi dan langsung beres-beres.
Dalam waktu dua jam saja, apartemen kami sudah penuh terisi barang. Kami
membagi kamar, gue tidur sekamar bersama Resha. Nindya tidur bersama Gisa.
“Mau keluar makan dulu gak? Gue mau
sekalian cari roti buat sarapan besok. Harus ada tenaga ekstra. Besok gue
terbang sama senior semua, yang tahun IDnya jaman jebot pula. Katanya terbang
sama mereka-mereka itu bakal lebih parah daripada ospeknya angkatan militer,”
kata gue menakuti mereka semua.
“Emangnya kita bakal di suruh
push-up di pesawat, Kak? Seragaman gitu? Ciyus miyapah?” Nindya menanggapi
dengan polos-polos mengarah ke bloon. Tampangnya dibikin sok imut, dengan bibir
monyong-monyong kaya bebek dan mata dibikin melotot kaya kesetanan. Niatnya sih
biar keliatan imut, tapi gue yakin, kalo Nindya liat kaca, dia juga pasti mules
liat kembarannya Omas berusaha keras biar keliatan imut menyaingi personil
girlband Cherybelle.
“Ya engga push-up juga, Pa. Tapi gue
denger si Amel diteriakin ‘tolol’, ‘bego’, ‘gak punya otak’, yah semacam itu
lah, karena kerjanya gak bener. Namanya juga kerja di bawah pressure. Ya susah donk buat
konsentrasi,” tambah gue. Kami tertawa, Cuma Gisa yang terlihat paling stress.
“Duh, gue takut beneran. Gak
kebayang deh kalo gue yang bakal diteriakin kaya gitu. Orang tua gue aja ngga
pernah marah sampai teriak-teriak. Macem penyanyi metal aja. Padahal kita udah
setahun loh disini, tapi senioritas gak ilang-ilang! Gue pengen jadi pramugari,
tapi ga kaya gini juga kali. Kadang gue nyesel, tapi ini cita-cita gue dari
kecil. Jadi serba salah gue,” Gisa mulai merengut. Kami tidak bisa menjawab.
Banyak alasan yang melatarbelakangi gue
dan juga temen-temen gue buat jadi pramugari. Resha misalnya, dia memang ga
pernah kepikiran sedikitpun buat kuliah karena males belajar, dan satu-satunya
pekerjaan yang Cuma perlu ijazah SMA dengan penghasilan tinggi ya Cuma jadi
Pramugari. Resha yang udah punya modal awal buat jadi pramugari berupa cantik,
mulus, dan putih itu mutusin untuk merantau jauh ke Jakarta dari kota asalnya
di Bengkulu. “Ngapain capek-capek kuliah, toh jadi pramugari gajinya udah lebih
banyak daripada pegawai kantoran yang katanya sarjana lulusan terbaik itu,”
alasan Resha.
Beda lagi dengan Nindya. Dia awalnya
tidak berminat menjadi pramugari, tapi hasrat untuk membawa perubahan pada
keadaan ekonomi keluarga menjadi pemicunya. Setelah mencari info kesana kemari,
ia mengikuti jejak Resha untuk merantau di Jakarta. “Gue bosen melarat, gue
bosen ngutang sana-sini. Gue sekarang enak, bisa ngirim ke orangtua. Bisa
biayain sekolah adik-adik gue. Bisa cakep, saingan sama artis-artis Jakarta,”
kata Nindya suatu kali.
Tapi yang memiliki cerita paling
berbeda, memang Cuma Gisa. Kalau kami semua tidak terlalu memimpikan profesi
ini, Gisa malah mencita-citakannya dari kecil. Awalnya, orangtua Gisa melarang
dan memaksa Gisa untuk kuliah. Tapi ia memberontak dan memperjuangkan
cita-citanya dengan nekat kabur ke Jakata. Justru seorang Gisa yang muslimah
sejati inilah yang benar-benar memimpikan seragam pramugari melekat di badannya.
Gue inget dia pernah bilang, “Pramugari
itu profesi yang mulia sekali. Mengutamakan nyawa penumpang dibanding nyawa kita sendiri. Kalaupun ada
oknum yang merusak citranya dimata masyarakat, ia gak akan pernah bisa merusaknya di mata gue. Menjadi pramugari
akan tetap menjadi profesi mulia dimata gue. titik.”
Kalo gue? Complicated banget. Gue gak pernah pengen buat jadi pramugari. Mimpi
aja gak pernah. Jaman SMA gue abisin untuk teater, film, nulis naskah, siaran
radio, nari dan kegiatan diluar akademik sekolah. Gue emang gak suka belajar.
Kerjaan gue cuma ngebolos di kantin atau UKS. Kalaupun gue insyaf buat masuk
kelas, gue pasti molor dan ujung-ujungnya gue berkunjung ke klinik tongfang alias
ruang BK. Atau kalau udah kronis, gue bakal dikirim buat berobat ke ruang
Kepala Sekolah. Gue juga gak jenius kaya abang-abang gue yang doyan ikutan
olimpade. Piagam gue semuanya berkat film dan teater. Mengenaskan.
Selain itu, gue slenge’an. Selera fashion
gue parah. Mungkin kalo Victoria Beckham ketemu gue, dia bakal kremasi gue hidup-hidup
karena gue adalah bencana fashion menurutnya. Gue itu tipe orang yang suka cari
sensasi dengan menghalalkan segala cara. Gue inget banget, gue pernah ajak
anjing kesayangan gue yang nama FB-nya P3nnie Ch! Sh!tzchu im0ed c1ncAh d@m4i
(baca : penny si shitzu imut anti kekerasan dan benda tajam), jalan di pantai.
Penny udah cakep, abis gue mandiin kembang 7 rupa, pake pita pink rumbai-rumbai
kesayangan di kepalanya. Sementara gue? Pake baju barong merah norak najong
yang dipadu padanin sama celana piyama bulukan yang udah 3 tahun nemenin gue
tiap malem plus sandal jepit swallow yang udah gak layak pakai lagi. See? Gue suka orang-orang ngeliatin gue.
Gue gak peduli mereka ketawa, mereka najis, atau bahkan mereka muntaber, yang
penting gue dapetin sensasinya. Maklum lah, artist
wanna be syndrome.
Well,
back to to the topic, kelas 3 SMA adalah masa tergalau gue sebagai remaja
alay. Temen-temen gue udah ada pegangan, atau paling engga tujuan buat lanjutin
masa depannya. Ada yang udah keterima di UI, UGM, ITB, ITS dan kampus-kampus
ternama lainnya. Ada juga yang udah ngelamar di kampus yang gak punya nama demi
gengsi semata. Sebodo deh seminggu jadwal kuliahnya cuma senin-kamis, yang
penting judulnya kuliah. Bahkan ada yang udah nikah sebelom kita semua dapet
ijazah. Gue malah stuck sendirian, ga
tau mesti ngapain. Keinginan sih ada, kuliah di sekolah seni kaya IKJ atau ISI.
Tapi Ibu gue menolak keras keinginan gue yang satu itu karena mengangap seniman
itu gak punya masa depan. Beliau malah menganjurkan gue mengikuti jejaknya
masuk keguruan jurusan Bahasa Inggris. Then, one day orangtua nanya juga prihal
masa depan bangku kuliah gue yang agaknya suram itu. Tentu aja gue kelabakan. Gue
tau cepet atau lambat, orangtua bakal mempertanyakan nasib bangku kuliah gue. Tapi gue belum siap sedikitpun buat jawabannya.
Jadi gue Cuma diem sambil pasang muka
‘bunuh aja gueh, Maakk!!!’. Seperti yang gue tebak, Ibu ngasi jalan keluar,
“gimana kalo kamu lanjut ke IPDN aja?”
JDEERRR!!! Kalian tau IPDN kan?
Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Sekolah yang terkenal sama aksi
pembantaiannya. Pertama, gue pikir emak Ibu udah segitu hopeless sama gue, jadi pengen gue mati dalam damai di sana. Next, gue mikir, gak mungkin lah orangtugue
setega itu. Jadi gue memikirkan alasan lain yang bikin orangtugue tega nawarin
IPDN sebagai jalan keluar. Kemungkinan kedua, karena orangtua ngeliat tingkah
gue yang sangar abis. Atau mungkin karena biaya sekolahnya gratis. Dan mungkin
karena setelah lulus dari sana gue gak perlu repot cari kerja karena emang udah
ikatan dinas. Banyak kemungkinan, tapi gue gak pernah berani nanya alasan yang
sebenernya karena gue takut. Sumpah gue takut kalo ternyata emang bener mereka
ngirim gue kesana buat nyingkirin gue dari daftar nama di kartu keluarga
mereka.
Tapi akhirnya gue mengiyakan tawaran
Ibu. Secara, gue gak punya pilihan lain. Dan lagipula, gue pengen bikin orangtugue
bangga, meskipun hanya sekali. Gue mulai aktif ngegym, semangat ’45 buat persiapan
ke IPDN. Singkat cerita, gue mulai ikutan tahap awal dari seleksi Praja baru
IPDN, psikotest. Karena gue masih waras, wajarlah ya gue lolos ke tahap berikutnya.
Gue juga lolos tes kesehatan karena gue memang bebas rokok dan minuman
berakohol. #ehemm
Masalah muncul justru ketika
detik-detik menuju tes baris-berbaris. Gue makin banyak denger cerita-cerita
system kuliah disana, punishment yang
bakal diberikan ke praja-praja yang melanggar, dan banyak lagi. Gue mulai jiper
dan mikir-mikir ulang, sampe akhirnya gue mutusin buat ngomong ke Ibu, gue gak
siap. Gak siap dan gak minat lagi lebih tepatnya. Sebagai Ibu yang demokratis
dan menjunjung tinggi suara rakyat jelata, Ibu ngijinin gue kuliah, dimanapun gue
mau dan akan mengusahakan biayanya bagaimanapun caranya.
Masalahnya adalah, kampus tujuan gue
udah penutupan buat daftar ulang. Good!
Gue ga mau kuliah di kampus swasta ga jelas, tapi gue juga ga mau nganggur nunggu
tahun ajaran baru. Gue ga mau diospek sama temen gue sendiri, tengsin gila!
Lagipula, libur semester yang Cuma beberapa minggu aja, otak gue kering
kerontang saking ga pernah dipake. Apalagi nganggur setahun? Udah ada sarang
laba-labanya kali tuh otak.
Gue depresi berat. Tapi gue mikir,
stress ga bakal ngasi solusi buat masalah gue. Tiba-tiba aja gue inget sama Kak
Andy, abangnya Ria, yang jadi pramugara. ‘Aha! Kenapa gue gak nyoba jadi
pramugari aja?’ pikir gue saat itu. Ibu yang denger keinginan gue langsung
ngelus dada.
“Kamu yakin? Kita orang susah, apa
iya bisa diterima?” kata ibu sangsi.
“Lah, emang profesi mengenal kasta?
Kalo orang susah, ga bisa jadi sukses? Pokoknya Kita pengen hidup sukses di
Jakarta!”
“Sukses itu bukan ditentukan dari
pekerjaan seseorang, nak. Belum tentu kamu bekerja sebagai dokter, berarti kamu
sudah sukses. Dan belum tentu, seorang supir bukanlah orang sukses. Kesuksesan
seseorang sebenarnya dinilai dari pribadi orang tersebut, bukan title yang disandangnya.” Ibu gue mulai
mengeluarkan ceramah paginya.
“Iya deh, iya. Intinya Kita mau coba
merantau ke Jakarta, Bu. Tolong Bu, tapi kalo Kita gak lulus, Kita akan balik
ke Bali, dan kuliah tahun depan.” Ibu mendesah, tapi dengan berat hati akhirnya
beliau mengangguk.
“Tapi Ibu mohon, jangan kecewakan
Ibu dan kercayaan kita semua ya, Ta,” gue tersenyum dalam tangis. Tidak banyak
Ibu yang berani memberikan kepercayaan sebesar itu kepada anak gadisnya untuk
merantau ke kota besar setamat SMA. Gue beruntung sekali memiliki ibu seperti
Ibu gue ini.
“Tidak ibu sangka, nama pemberian
Ibu adalah pertanda, dimana kalian akan bekerja kelak. Kak Bumi sebagai
wartawan, Kak Air yang bekerja di kapal pesiar, dan kamu Angkasa, astungkara akan melanglang buana dengan
burung besi di atas sana,” ibu terkekeh geli sendiri. Benar juga ya?
Komentar