It's Me! Narendra Seto
Pagi
masih gelap ketika sebuah masjid sedang menyiapkan kumandang adzan subuh-nya,
bebarengan dengan puluhan suara stater Toyota Vios saling bersahutan dari pool
taksi tepat disebelah masjid. Dan tepat pukul 4 pagi belasan taksi keluar dari
poolnya untuk menjemput order pertamanya dan memulai "perburuan" hari
ini. Satu taksi langsung menuju Pancoran setelah mampir untuk sholat subuh
Tamu
pertama kali ini menuju Stasiun Jatinegara, keluarga muda berpenampilan
"pesantren" dengan satu anak kecil yang tinggal di kos2an. Terdengar
pembicaraan "Nduk tikete wes to..? ra ono sing keri..?", dan mereka
ini sedang menuju kampung halamannya di Jawa Tengah
Tamu
berikutnya menuju GI, satu koko dan dua cece berlogat khas Jawa Timur "Eh
nti Selly ikut pigi ke ge-i kan?"...."Iya enake ketemune ndek mana
ya? telponen sek ae"
Tamu
berikutnya menyapa "Good Morning..." dengan logat dan wajah yang bisa
ditebak tujuannya yaitu Pasar Baru, dan begitu jalan langsung menikmati musik
Bollywood yang ia bawa sendiri sembari bergoyang kepala " ....Ishq ke din chaar pyaare... Ishq ki
parchhaaiyon... kochoom...Dhoom machaale Dhoom machaale..."
Tamu
berikutnya seorang Mister yang tinggal di apartemen tempat mangkal Pak Taksi
dan dah beberapa kali diantar oleh Pak Taksi ini, dia menyapa ramah
"Selamat Pagi" dengan terbata-bata karena Mister berpenampilan rapi
serius dan diam ini berusaha menerjemahkan dari bahasanya si Mister yaitu
"Guten Morgen"
Tamu
berikutnya membawa stick golf dan menuju Karawaci, sempat menelepon dengan
bahasa yang campur2 antara Indonesia ama Cantonese
Balik
dari Karawaci langsung menuju Jakarta, dan setelah beberapa tamu. Di SCBD tamu
kali ini seorang Englishman yang begitu sopan mengucap "Selamat Pagi"
(padahal dah siang) dan so happy begitu pak taksi menyapa balik "Good Day
Sir..." berikut menyetel lagu dari radionya "... Lookin back... Over My Shoulder..... I can
see a lookin your eyes....." -Mike & The Mechanics-
Berikutnya,
setelah beberapa tamu kali ini di Fatmawati ada yang memanggil dan langsung
menyapa "Serama sia", dia berusaha menterjemahkan dari bahasanya
yaitu "Konni chiwa". Dan menyebut tujuannya "Brokem",
membuat pak supir bingung apa itu dan setelah dia menunjuk ke satu arah...
Blok-M! iya ya brokem... :)
Lanjut...,
tamu berikutnya dari Sarinah, seorang wanita cantik yang menyapa "Met sore
pak..." dengan logat Neng Geulis-nya yang wuih... menyenangkan. Dan ia
menyebut tujuan "I-senter Menteng ya pak", "wah dimana itu ya
mbak..?", "wah saya juga ndak tau, bentar ya saya telpon dulu orang
yang mau janjian ama saya", dan dioperlah hp-nya ke Pak Taksi yg langung
menunjukkan arah2nya yang ternyata "Eye Centre".... Iya ya Jakarta
Eye Center yang di Jl Cik Di Tiro Menteng :D
Berikutnya,
adalah pasangan dengan seorang bayi. Mereka kesulitan bahasa Inggris apalagi
Indonesia, penampilan dan bahasanya seperti lakon-lakon drama sore Indosiar
seperti Full House, Winter Sonata, My Love Pattizi dll...
Mendekati
sore, tamu kali ini seorang Mister dari apartemen menuju airport, seperti
halnya englishman ia pun menyapa sopan "Selamat Sore" namun logatnya
agak beda, sempat terdengar pembicaraan di hp "Yea I'm on my may now,
after a couple years in Jakarta maybe I'll feel stranger in Glasgow, my own
town" membuat Pak Taksi-nya memutar sebuah lagu "...Caledonia you calling me now I'm going
home....." yang membuat Mister ini heran.... "Wow...how do
you know this song...??"
Siang
telah berganti malam, dan setelah beberapa tamu... yang berikutnya kali ini
beberapa orang yang menyapa "Assalamualaikum...", lalu mereka saling
berbicara dalam bahasa yang mirip pengajian tapi lebih kasar dengan tujuan yang
mudah ditebak...., Raden Saleh.....
Mendekati
time limit.... Tamu berikutnya dari Semanggi, yaitu seorang gadis imut namun
bersuara kencang dan ngobrol di hp "Lae aku da di taksi, iya mo pulang ini
dah malam Lae... jangan malam-malam lah kau nanti sakit itu paru-paru kau"
dengan logat khas Medan
Setelah
itu taksi pun pulang kembali ke pool, setelah seharian "berkeliling
dunia" cukup dengan berputar-putar gentayangan di Jakarta sejauh 250km
saja.
***
Akhirnya, gue release, dan besok gue resmi menyandang gelar co-pilot tanpa embel-embel under
training di belakang nama gue. Gue gak bisa tidur semaleman, mikirin cita-cita
gue untuk menerbangkan pesawat akhirnya terwujud. Besok gue bakal jadi supir
pesawat, bukan lagi supir taxi seperti profesi gue 3 tahun yang lalu. Cita-cita
gue dari kecil, impian terbesar gue, akhirnya menjadi nyata. 13 tahun, bukan
waktu yang sebentar, tapi itu memang adalah harga dari sebuah mimpi yang
terwujud. Gue sama sekali tidak menyesal karena telah membuang waktu belasan
tahun, hanya untuk satu tujuan, menjadi seorang pilot. Wait? Belasan tahun? Biar gue jelasin.
Gue Narendra Seto. Lahir di Bandung
27 September 1979, sempat besar di Surabaya sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta
untuk sekolah pilot, sementara keluarga gue kembali ke Bandung. Keluarga gue
rata-rata bekerja dibidang kesehatan. Dan melihat potensi kecerdasan gue,
mereka pun berharap banget gue bakal jadi dokter yang handal suatu hari nanti.
Sayangnya, gue punya keinginan lain.
Gue pengen jadi seorang penebang. Jadi seorang pilot. Waktu kecil, Bapak sering
banget ngajak gue dan Midia, adik gue, wisata murah ke kawasan Bandara Hussein
Sastranegara. Gue betah berjam-jam bengong liatin pesawat lepas landas dan
mendarat. Melihat lalu lalang pesawat, memperhatikan dengan seksama, mempertanyakan
bagaimana mungkin pesawat yang membawa ratusan penumpang itu bisa terbang.
Semenjak itulah gue pengen jadi penerbang. Gue pengen bisa nerbangin burung
besi itu.
Karena untuk
jadi pilot, diperlukan orang-orang cerdas, gue belajar lebih giat agar semua
nilai pelajaran gue sempurna. Kedua orangtua gue memang tidak pernah mengiyakan
keinginan gue, tapi gue gak nyerah semudah itu. Gue tetap berharap, ketika
sudah besar nanti, orangtua gue akan mengerti dan memberi jalan. Walaupun
ternyata mereka tetep bilang ‘enggak’.
Gue tamat SMA dengan nilai Ujian
Akhir yang rendah. Peringkat 7 terendah di sekolah, semua orang kaget, Kepala
Sekolah, guru, temen-temen, dan tentu aja, orangtua gue gak percaya, tapi emang
itu kenyataannya. Gue lelah. Gue lelah belajar dan belajar, mengejar nilai
akademis demi cita-cita gue sebagai pilot. Gue sampe gak tau rasanya
bersenang-senang. Gue gak tau girangnya waktu ngejar layangan yang putus. Gue
gak tau deg-degan waktu ngebolos. Gue gak tau pahitnya rokok di bibir gue. Gue
gak tau indahnya jatuh cinta. Gue bahkan ga tau arti persahabatan. Gue gak tau
karena gue bercinta dan bersahabat dengan buku. Gue ngerasa kehilangan
momen-momen berharga karena obsesi gue. Dan sekarang, satu-satunya impian yang
menyemangati gue selama ini bahkan gak bisa terwujud. Akhirnya gue ngerasain
apa yang selama ini gue tahan. Akhirnya gue kelelahan. Akhirnya gue menyerah.
Orang tua tetep nganjurin gue buat masuk kedokteran. Gue
gak bisa menolak, tapi gue berhasil menggagalkan diri. Selain itu, nilai-nilai
gue emang kelewat rendah buat masuk kedokteran. Meskipun gagal masuk
kedokteran, orangtua gue kekeh gak ngijinin gue sekolah pilot. Ditengah
keterpurukan gue, akhirnya gue melamar ke ITS jurusan Arsitektur.
Gak nyampe setahun, gue menyerah. Perhitungan
fisika yang dipake ternyata lebih rumit dari yang gue perkirakan. Gue mulai
sering membolos. Melihat anaknya drop sedemikian
rupa, akhirnya orangtua gue sadar juga kalo selama ini mereka terlalu memaksa
gue mengikuti keinginan mereka. Akhirnya orangtua gue mengerti, dan ngijinin
gue ambil sekolah pilot. Gue merantau ke Jakarta, dan sekolah di Delaya Flying School. Gue tau biaya yang harus
mereka keluarkan gak murah, tapi itu akan gue bayar nanti dengan tidak
mengecewakan mereka untuk kedua kalinya.
Kegigihan gue diuji waktu Bapak meninggal. Gue belum
pernah ngerasain kombinasi sedih dan sakit yang seperti ini. Ini bukan hanya
perkara ditinggal pergi oleh orang yang kita sayang. Tapi Bapak adalah guru,
sahabat, partner debat, dan orangtua yang sangat hebat. Beliau sangat
memperhatikan kesehatan kami, anak-anaknya.
Ketika semua orang dengan bebasnya menangisi
kepergian Bapak, gue tersiksa karena tidak bisa melakukan hal yang sama. Gue
terlalu sakit untuk menangis. Kita kehilangan imam dan sekaligus tulang
punggung keluarga. Karena gue adalah anak sulung, gue merasa harus bertanggung jawab atas Ibu
dan Midia, adik cewek gue yang masih SMA. Gue memutuskan untuk tidak
melanjutkan sekolah pilot gue yang terlalu banyak menguras biaya. Gue menerima
tawaran sahabat gue untuk menjadi staff
groundhandling di maskapai milik Negara.
Tapi gue gak pernah menghapus impian gue, dan berencana menabung untuk
melanjutkan sekolah pilot gue kelak
Gue bekerja sebagai staff groundhandling selama 7 tahun. Pekerjaan ini mempertemukan
gue dengan Putri, pramugari cantik di maskapai yang sama di tahun keenam gue
bekerja disana. Gue memiliki semangat baru dalam hidup, Putri ibarat bensin
yang makin mengobarkan semangat gue untuk menjadi seorang penerbang. Gue ingin
menghidupi dia lebih layak, dan bisa membahagiakan dia. Tapi gue tau, gue masih
perlu waktu untuk menambah tabungan gue. Meskipun begitu, gue mencoba
menawarkan niat baik gue untuk menikahinya,
Lamaran gue diterima dan kami
bertunangan. Kedua keluarga menyambut baik rencana kami. Pernikahanpun kami
rencanakan 10 bulan kemudian. Gue mulai sibuk kesana kemari buat cari pinjaman. Mungkin gue gak bisa
membuat perayaan termegah untuk Putri, tapi gue gak mau mengecewakan calon
pendamping hidup gue. Gue tetap akan membuat dia menjadi pengantin tercantik
yang pernah ada. Tapi ujian gak pernah bosen datengin gue. Putri beselingkuh.
Ya, dia berselingkuh tiga bulan
menjelang pernikahan kami dengan seorang staff
scheduling di perusahaan yang sama hingga Putri mengandung. Perasaan sedih
dan sakit yang sama, kembali datang, tapi kali ini bercampur emosi dan
kekecewaan. Seandainya Bapak ada, dia pasti akan memberi nasihat terbaik yang
harus gue lakukan. Gue terlalu mencintai Putri sampai melupakan fakta penting
bahwa harga diri dan kepercayaan gue sudah dikhianati. Gue memohon Putri untuk
kembali, tapi Putri menolak
Ga cukup dengan berselingkuh, Putri
makin menghancurkan gue dengan mengatakan terus terang bahwa ia lebih memilih staff scheduling daripada seorang ground staff. Ia lebih memilih pria yang
bekerja di balik meja dan terlindung dari teriknya matahari dibandingkan gue
yang harus berlari-lari di satu pesawat ke pesawat lainnya untuk mengantar
dokumen dan mengatur proses penerbangan. Dia lebih memilih pria yang selalu
mengucap kalimat suci Islam daripada pria yang lebih suka mengamalkannya
daripada sekedar mengucap.
Ditengah keterpurukan gue, gue menyerahkan setengah
dari tabungan gue untuk biaya Putri melahirkan. Gue terlalu mencintainya, dan
ingin yang terbaik untuk hidup dia dan anaknya kelak. Gue mengembalikan Putri
kepada orangtuanya di Magelang. Kedua orangtuanya memohon maaf berkali-kali,
tapi bukan mereka yang seharusnya gue maafkan. Gue hanya ingin mengembalikan
Putri baik-baik, tanpa ada niatan sedikitpun untuk mempermalukan keluarganya.
Gue pulang dengan luka yang gue gak tau, kapan hilangnya.
Gue kembali ke Bandung untuk
menceritakan kegagalan pernikahan gue. Seluruh keluarga gue murka. Ibu gue
malah jatuh pingsan. Mereka semua ingin menuntut pertanggung jawaban kepada Putri, tapi gue
menolak. Gue laki-laki, kalaupun ada yang seharusnya bertanggung jawab, itu
bukan Putri, tapi harusnya gue. Gue memohon kepada mereka untuk melupakan
kejadian ini, agar tidak membuat luka ini makin dalam. Mereka setuju dan
akhirnya bungkam. Kejadian ini kami lupakan dan anggap tidak pernah ada.
Gue resign dari perusahaan itu dan memutuskan untuk mencari pekerjaan
lain. Gue butuh pekerjaan yang mengalihkan pikiran gue dari Putri dan bisa
menghibur gue. Gue mem-blacklist maskapai
dari daftar, untuk melupakan kejadian itu, untuk menghapus trauma. Gue inget banget,
waktu itu dari bandara setelah mengurus
surat pengunduran diri gue, gue pulang ke Kalibata dengan menggunakan taxi.
“Pak,
kalibata.”
“Apartemen
Kalibata City, Mas?”
“Bukan,
komplek perumahan Kalibata Indah, Pak.”
“Siap,
Mas. Hayuk masuk,” gue masuk ke dalam taxi dan duduk di depan.
“Kenapa
atuh Mas, mukanya teh lecek amat? Ketinggalan pesawat, nyak?”tegur Pak Supir
dengan logat Sunda-nya yang khas.
“Ah,
bukan Pak,” gue menatap ke luar jendela. 7 tahun gue bolak-balik Bandara
Soekarno-Hatta, membuat tempat ini seperti rumah kedua gue. Sebenernya gue
cukup sedih karena harus meninggalkan lingkungan Bandara. Meninggalkan hobi gue
ngelamunin pesawat, ngebayangin gue yang berada di dalam cockpit, nerbangin
pesawat dari satu landasan ke landasan lainnya.
“Bapak
udah berapa lama nyupir taxi?”akhirnya gue membuka obrolan.
“Baru
kok, Mas. Baru 5 bulan. Mas kerja di bandara?”
“Dulunya,
Pak. Baru aja ngundurin diri. Enaknya kerja apa ya, Pak? Buat refreshing,”
“Nyupir taksi ae, Mas. Saya teh udah tua,
udah 63 tahun. Anak-anak udah kerja. Udah ga ada beban. Jadi materi teh bukan
yang nomor satu sekarang. Kalo Mas memang mau cari pekerjaan buat sekaligus
refreshing, saran saya mah nyupir taksi. Jalan-jalan, mengakrabkan diri dengan
Jakarta. Banyak loh Mas, gelapnya Jakarta yang terjadi di bangku belakang.
Kejadian yang biasanya Cuma bisa saya lihat di sineron, sekarang bisa saya
lihat secara live di si biru saya ini.”
Gue
merenung. Kata orang, obat stress emang jalan-jalan. Dengan kondisi keuangan
gue seperti sekarang, nyupir taksi adalah alternative yang sempurna sekali.
Gajinya gak banyak, gue yakin. Tapi gue lebih butuh refreshing. Gue butuh
jalan-jalan.
“Iya
deh, Pak. Gimana caranya?”
Akhirnya gue melamar kerja sebagai supir taksi
dibantu oleh Pak Henardi. Gue baru tau kalo ternyata Pak Henardi dulunya
seorang pengusaha sukses. Sekarang perusahaannya diurus oleh anak keduanya, sementara anak
pertamanya menetap di Singapore, bekerja sebagai dokter spesialis ginjal. Pak
Henardi menikmati masa tuanya dalam kesederhanaan. Bener-bener sosok yang patut
dicontoh.
Keluarga gue awalnya menentang keputusan gue, tapi
gue bersikeras untuk menjadi supir taksi. Gue gak mau menerima bantuan mereka.
Gue gak mau dikasihani. Ego gue terlalu tinggi untuk menerima bantuan sekecil
apapun, bahkan dari keluarga gue sendiri.
Ternyata benar, nyupir taksi merupakan salah satu
pengalaman hidup terhebat gue. Gue bisa berkeliling Indonesia dan dunia dalam satu
hari hanya dengan membawa penumpang yang berasal dari berbagai Negara dan
daerah di Indonesia. Bahkan, gue pernah membawa penumpang yang sedang
berselingkuh dengan rekan kerjanya. Pasangan yang sedang memadu kasih,
merencanakan pernikahan, hingga pasangan yang sedang mengurus perceraian
mereka. Pernah juga membawa penumpang cantik yang ternyata tertarik dan
menanyakan nomor handphone gue. Tapi hati gue masih terlalu beku untuk mulai
mencoba lagi, jadi ia tetap menjadi orang yang naik dan turun di taxi gue.
Banyak hitam-putih Jakarta, pernah terjadi di taxi gue, mengajarkan dan
menyadarkan gue akan banyak hal yang selama ini gak pernah gue dapatkan.
Dan tiba-tiba, setelah 2 tahun, tawaran itu datang.
Beasiswa pilot di salah satu maskapai swasta terbesar di Indonesia. Gue apply dan diterima, perjalanan yang
sangat mulus setelah sekian banyak ujian yang sudah gue lalui. Mungkin ini
bayaran atas ketabahan dan kegigihan gue untuk memperjuangkan apa yang gue
sebut, mimpi. Ya, akhirnya gue berhasil menerbangkan mimpi gue.
Flashback cukup, kembali ke realita, jam di
kamar gue menunjukkan pukul 3 subuh. Setelah mandi, dan mempersiapkan koper,
gue sempatkan untuk sholat subuh. Ya, semenjak berpisah dengan Putri, sedikit
demi sedikit gue memperbaiki kualitas hubungan gue dengan Tuhan. Dengan sedikit
terburu-buru gue turun dan menenteng koper gue masuk ke mobil jemputan. Di
Jakarta gue numpang tinggal di rumah Bude Windya, yang merupakan saudari Bapak.
Ternyata Bude menyusul gue keluar pagar dengan masih menggunakan daster dan rol
rambut.
“Kok pergi gak pamitan toh, le? Bude kan pengen bikinin kamu sarapan. Udah sarapan tah?”
“Udah, Bude. Tadi Rendra sarapan roti dibikinin
Hasno. Rendra kira Bude masih tidur, ga enak bangunin. Lagipula Rendra
buru-buru, Rendra ga bisa tidur saking semangatnya,” gue nyengir kuda. Bude
ketawa dan mengelus rambut gue. “Apaan sih, Bude. Rendra udah 33 tahun. Masih
aja Bude anggap kaya anak kecil.”
“Tapi kamu akan selamanya jadi Narendra kecil Bude.
Semangat ya, le. Kabari Bude kalau
sudah landing. Dan ingat kabari Ibumu!”
gue buru-buru masuk mobil jemputan sebelum Bude memulai aksi sinetronnya bikin
acara tangis-bombay di subuh-subuh begini. Gue melambaikan tangan, dan sejenak
gue melihat tatapan Bude. Ada kebanggaan besar dimatanya saat melihat kepergian
gue. Dada gue sesak, gak nyangka, perasaan itu akan semembahagiakan ini.
“Kenapa, Mas? Senyum-senyum begitu?” driver penjemput
gue menegur dengan ramah.
“Enggak, Mas. Cuma seneng aja, bisa bikin orang lain
bangga. Apalagi perjuangan saya gak mudah. Jadi rasanya mungkin agak berbeda,”
“Wah, saya yakin, Mas ini pasti masih baru. Bar
emasnya masih satu, senyumnya juga beda. Biasanya anak-anak baru kalau
berangkat terbang masih semangat. Nanti setahun-dua tahun, pasti bosan, dan
kerjanya ngomel di mobil,”
“Ah, enggak mungkin Mas. Jadi pilot itu cita-cita
saya, dan untuk bisa seperti sekarang, gak mudah. Terlalu banyak pengorbanan.
Saya pastikan semangat saya akan tetap seperti ini bertahun-tahun kemudian,”
jawab gue mantap. Enak aja nih orang nyepelein semangat gue.
“Ya, mudah-mudahan, Mas. Liat aja nanti,” sambil
masih terkekeh, driver gue menghidupkan
radio. Sebuah lagu yang gue kenal banget berkumandang,
“…caledonia,
you’re calling me, now I’m going home… now I have moved and I’ve kept on moving…” – Celtic Women.
Mata gue
terpejam, tapi senyum kecil tersungging di sudut bibir.
Komentar