Nandakita : Welcome to Airlines!!!



          Gue terlalu takut untuk memejamkan mata, apalagi tertidur. Rasanya hampir sama kaya dulu, semalam sebelum gue ngalamin first flight gue. Gue takut banget karena ngebayangin harus terbang dengan para senior yang udah ‘lawas’ di perusahaan gue ini. Sementara itu, Resha, Gisa dan Nindya sudah tertidur dengan lelapnya. Gisa malah sudah memulai konser duet ngoroknya bersama Nindya. Gue jadi inget pengalaman first flight gue dulu yang cukup lucu.
Well, gue gak tau kalo ada hukum aneh di profesi gue ini dimana pramugari yang paling junior harus jalan dibelakang seniornya. Berkat ketidaktahuan gue ini, gue berhasil jadi finalis ‘Miss Junat 2012’. Gue pasikan kalian gak tau, junat itu apaan, bener kan? Junat alias Junior Laknat itu adalah istilah yang dipake para senior buat ngatain junior yang males kerja, songong, bego dan ga pernah excuse di depan mereka.
 First flight gue saat itu rute 2 hari yang bermalam di Tarakan. Kalo lo ga tau Tarakan di sebelah mananya Monas, mending lu balik kelas Geografi deh. Kebetulan sih, senior cabin 1 gue baiknya nyaingin kader pejabat sebelum PEMILU, namanya Mbak Novi Ardiana.  Sayang, senior lainnya mungkin lagi kena demam senioritas yang pengen juniornya ngehormatin mereka lebih kaya babu ke majikannya, bukan hormat adik ke kakaknya. Dan gue, berhubung bukan cenayang yang bisa tau semua keinginan mereka, melakukan kesalahan fatal.
            Setelah briefing before flight kelar, kita langsung menuju ke pesawat. Maklum lah ya, gue paling junior, jadi ga ada yang ngajakin ngobrol (tapi belakangan gue tau, tenyata junior harus lebih aktif duluan ngajakin ngobrol seniornya). Karena menurut gue, senior-senior gue tu jalannya lelet, (iyalah lelet, mereka jalan sambil ngegossip) gue ambil inisiatif tingkat kaisar buat jalan duluan nyusulin Captain dan co-pilot gue yang udah jauh di depan. Masalahnya, gue ngelewatin mereka tanpa embel-embel ‘maaf Mbak, duluan’. Gue emang sempet liat ekspresi mereka bengong-kaget-ga nyangka. Tapi gue jalan biasa kaya gak berdosa.
            Begitu sampai di parkiran pesawat yang akan dipakai, kita nunggu change crew kita turun. Setelah mereka turun dan salam-salim, gue liat senior gue asik report keadaan cabin pesawat, nyapa haha-hihi yang ga begitu penting. Inisiatif lagi gue jalan duluan tanpa minta ijin ke senior gue. Baru juga naik tangga 4 langkah, cabin 2 gue manggil gue agak kenceng,
“Heh, NANDAKITA! Lo cabin berapa?”
 “Cabin 5, Mbak. Kenapa Mbak?”
 “Gue cabin berapa?”
 “Cabin 2, Mbak,” gue pasang tampang pilon.
“Lo sama gue, senioran siapa?”
“Ya, senioran Mbak,” masih belum ngerti arah pembicaraan ini, gue mulai garuk-garuk pantat.
“Terus kenapa daritadi lo jalan di depan kita terus? Gak ijin pula! Bilang kek, ‘maaf mbak, saya ijin jalan duluan’. Lo gak pernah di ajarin grooming ya?”
 “Maap, Mbak. Saya gak tau,” muka gue langsung berubah shock kaya baru ngeliat kuntilanak medok Madura yang jualan sate.
 “Junior tuh jalan di belakang, ya! Nyadar diri aja lah lo,” bentak senior gue. Gue pun kucluk-kucluk mundur teratur.
            Semenjak kejadian itu, gue selalu jalan sesuai urutan senior-junior dalam crew gue. Trauma juga, walaupun kebanyakan senior gak peduli mau gue jalan di depan, di belakang, di samping asal gak ngesot atau ngerayap, mereka sabodo teing. Gue juga gak tau dan gak pengen tau siapa pencetus aturan tidak tertulis yang mengharuskan junior jalan d belakang senior. Sampe botak kepala gue baca buku sikap, gue gak nemu juga halaman berapa yang ngebahas tentang peraturan itu.
Pikiran gue kembali ke kamar. Dengan hati-hati, gue membereskan koper, mandi dan kemudian bersiap-siap. Gak lupa gue sempatkan membakar dupa dan bersembahyang. Setelah tiba waktunya, gue turun lift dan menghampiri mobil jemputan.
            “Pagi, Pak. Ke terminal 1B ya, Pak!” sapa gue ramah. Driver jemputan gue tersenyum dan langsung memasukkan koper gue ke bagasi belakang.
            “Terbang berapa hari, Mbak?”
            “4 hari, Pak. Schedule-nya sih jam 5 pagi. Perjalanan ke bandara nyampe 1 jam gak ya, Pak? Soalnya saya yang paling junior, harus dateng paling awal,” driver gue yang ternyata bernama Pak Totok terlihat kaget.
            “Masa iya? Saya kira, Mbak sudah senior. Cantik sih,” wah, pagi-pagi gue udah digombalin driver sendiri.
            “Masa sih, Pak? Memang junior gak ada yang cantik?”
            “Ya, biasanya junior kan dandannya suka berlebihan, jadinya malah norak dan keliatan kaya ondel-ondel. Tapi Mbak kayanya udah pinter dandan, kaya udah senior aja lah, pokoknya,” gue Cuma tersenyum. Justru karena gue gak pinter dandan, makanya gue dandan alakadarnya. Gue tidak lagi mengobrol dengan Pak Totok, karena kelihatannya Pak Totok fokus kepada jalanan di depan kami.
            Sesampainya di bandara, Pak Totok membuka pintu dan menurunkan koper gue. Tak lupa gue mengucapkan terimakasih dan menyelipkan uang tips untuknya. Gue menarik koper dengan anggun. Banyak mata menatap gue, dan gue bisa dengan jelas merasakannya. Gue memang belum terbiasa dengan suasana seperti ini, menjadi pusat perhatian, sehingga benar-benar harus menjaga tingkah laku gue. Saat melewati x-ray, ada seorang anak kecil yang menarik tangan gue dan mengganggu perhatian gue, “kenapa, dik?” sapa gue ramah.
            “Kakak, mau foto donk, kak!” rupa-rupanya si adik kecil ini bercita-cita menjadi pramugari dan merengek kepada ibunya untuk berfoto bersama gue. Gue tersenyum geli. Mungkin seperti ini rasanya kalau jadi artis.
            Gue kembali melanjutkan langkah gue menuju FLOPS (flight operations). Sesuai kepanjangannya, di dalam FLOPS terdapat crew briefing room yaitu ruangan crew melakukan briefing sebelum terbang. Kemudian ada juga crew room yaitu seacam ruang tunggu crew member entah itu untuk menunggu pesawat, menunggu crew lainnya, atau bisa juga digunakan bagi mereka yang standby di bandara, menggantikan crew yang tiba-tiba berhalangan. Sesampainya di FLOPS, gue melakukan ritual wajib junior untuk menyalami semua senior yang gue temui. Hal ini mengingatkan gue pada suasana lebaran, mungkin hanya  kurang  kue dan opor ayam plus ketupatnya, suasananya akan  sama persis dengan lebaran.
            “Selamat pagi, Mbak. Saya Angkasa Nandakita, dari batch 125,” kalimat itu gue ucapkan berkali-kali sembari bersalaman kepada semua senior yang gue temui. Batch atau angkatan sangat penting di dunia pramugari ini. Beda 1 batch di atas, tetap saja dia senior, dan kita harus menghormatinya dari ujung rambut sampai jempol kaki. Setelah gue mencatat nama crew di penerbangan gue, gue mulai mencari-cari senior dengan melirik-lirik name plate di seragam mereka. Rupanya belum satupun cabin crew yang hadir selain gue. Lagipula, gue memang hadir terlalu pagi, 3 jam sebelum ETD (Estimate Time Departure) alias perkiraan waktu keberangkatan. Gue mencoba melihat ke ruang pilot, gue mencari pilot dan co-pilot gue. Gue melihat laki-laki muda dengan satu bar emas di pundaknya. Gue bingung, apa boleh anak first flight kenalan duluan sama awak cockpit-nya? Mati aja kalo ujung-ujungnya gue diabisin senior Cuma karena hal sepele gini. Lagipula belum tentu dia co-pilot dengan schedule yang sama dengan gue.
Gue kembali ke tempat crew room, gue tunggu dengan sabar, dan akhirnya satu-persatu crew gue berdatangan. Gue kembali melakukan ritual ’lebaran’ dan menyalami mereka sambil memasang tampang lugu agar lolos dari sasaran calon mangsa. Gue terbang dengan Instruktur yang nomor ID tahun 2005 sebagai cabin 1 gue, dan itu menandakan dia lumayan ‘dedengkot’ di perusahaan ini. Gue mulai membaca doa-doa suci Hindu apapun yang gue ingat, bahkan doa sebelum makanpun terpaksa gue baca saking kehabisan ide untuk menyelamatkan diri. Jalan terakhir memang memohon  pertolongan Tuhan.
“Selamat Pagi, Mbak Arin. Saya Angkasa Nandakita, batch 125. Hari ini saya menjalankan schedule rute 4 hari dengan Mbak. Mohon bimbingannya,” gak disangka, Mbak Arin tersenyum ramah sekali.
“Ya udah sih, santai aja. Kita briefing dulu, yuk!” gue mengekor di belakang Mbak Arin dan ketiga senior lainnya untuk briefing. Seperti biasa, Mbak Arin me-review­ kembali tentang safety, kemungkinan-kemungkinan emergency dan tindakan yang harus kami lakukan. Gue ditunjuk menjadi cabin 4, yang berarti akan 1 galley bersama Mbak Arin. Tentu aja gue stress berat. Urutan cabin ini biasanya disesuaikan dengan nomor ID. Karena gue paling junior, gue harusnya menjadi cabin 5. Tapi sepertinya Mbak Arin punya pertimbangan lain sehingga memilih gue untuk menjadi cabin 4 yang tugas utamanya adalah assist cabin 1, yaitu membantu dia sendiri.
“Dek, kamu ke cockpit room ya. Kalo pilot dan co-pilotnya udah dateng, kamu kenalan duluan aja. Nanti info ke kita,” perintah Mbak Arin lembut.
“Iya, Mbak. Saya ijin ya, Mbak,” aneh memang. Tapi begitulah kenyataannya, kami harus minta ijin senior tiap melakukan apapun, even itu adalah hal yang mereka perintahkan. ‘Mbak, ijin minum’, ‘mbak ijin ke cockpit’, ‘mbak ijin ambil ini’. Dan untuk sekedar kalian ketahui, haram hukumnya bagi kami untuk melakukan sesuatu tanpa ijin dari senior. Bayangin, buat makan jatah meal crew aja kita harus nunggu senior kita berbaik hati nyuruh kita makan. Kalo ternyata lupa? Kita harus cukup puas dengan oxygen di pesawat.
Gue berhenti sebentar sebelum memutuskan untuk menghampiri co-pilot gue. Gue mulai menyusun scenario. Mulai dari obrolan sok tau seperti ‘Mas terbang Jakarta-Denpasar-Jakarta-Medan/ron gak? Sampai ke obrolan maksa seperti ‘Mas terbang Jakarta-Denpasar-Jakarta-Medan/ron kan? Iya kan? Saya pusing kalo harus nyar-nyari co-pilot saya! FYI, ron atau Rest Over Night adalah istilah penerbangan yang artinya sama aja dengan menginap di hotel daerah luar Jakarta.
“Mm, selamat pagi, Mas. Terbang kemana?” sapa gue akhirnya.  Gue perhatiin nama di kalung ID-nya, ‘Narendra Seto’. Rupa-rupanya, laki-laki dihadapan gue ini adalah co-pilot gue.
            “Hm, gue Jakarta-Denpasar-Jakarta-Medan/ron,” jawabnya sambil melirik name plate di seragam gue, “oh, elo Angkasa Nandakita? Lo bareng gue, bukan?”
            “Iya, Mas Narendra. Saya ikutan. Panggil Kita aja.
            “Ok. Panggil gue Rendra. Kita first flight terbang bareng kan? Nama lo asing, tapi muka lo familiar,” Mas Rendra tersenyum. Gue bengong. ‘GANTENG BANGET LO, NJING!’ teriak gue dalam hati.
 “Kita? Haloo? Ta?” Mas Rendra membuyarkan lamunan gue yang membayangkan gue dan Mas Rendra joget India di balik pohon. Gue jadi malu sendiri, ketauan melamun seperti itu.
“Eh, iya! Iya, kita baru kali ini terbang bareng,” kata gue salah tingkah. Mas Rendra menyodorkan kertas.
“Ok. Eh, coba cek nama-nama ini, bener kan nama-nama crew kita semua?” Mas Rendra menyodorkan kertas yang berisi VR alias Voyage Report yang isinya daftar nama crew member.
“Capt Aji Darko, FO Narendra Seto, FA Arin Fyzna, FA Silvi Dharmapatni, FA Shandy Theodora, FA Jea Fuchia, FA Komang Angkasa Nandakita. Sama semua kok Mas,” kata gue setelah mencocokkan nama di VR dengan nama di catatan gue.
Cabin crew  yang lain belum ada yang dateng ya? Kalo udah, tolong kasi tau gue juga ya, barusan gue telfon Capt Aji, dia udah on the way. 10 menit lagi nyampe bandara,”
“Oh, mereka udah dateng semua kok, Mas. Biar saya kasi tau mereka kalo Mas udah dateng ya, permisi,” gue pamit dengan muka merah.  ‘Geez, how could I fall in love at the first sight?’
Gue buru-buru balik ke crew room dan mengabarkan kalo FO gue udah dateng, sementara Captain  sudah on the way.
“Baiklah, nanti kita langsung ke pesawat setelah briefing dari Captain. Ingat, senyum adalah senjata kalian. Yang ramah sama penumpang. Kita buat penerbangan ini sersan ya, serius tapi santai, dan tanpa complain dari penumpang. Tapi tentu saja, bukan berarti penumpang bisa semena-mena dan melecehkan profesi kita. Kalau toh nantinya ada penumpang yang buat ulah, segera report ke saya, saya akan panggil security bandara untuk menurunkan penumpang tersebut. Ada yang belum jelas atau mau ditambahkan?” kami semua menggeleng. “Baiklah, kalau tidak ada, kita berdoa dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing agar kita dan seluruh penumpang selamat sampai tujuan. Berdoa dipersilahkan.”
Gue memejamkan mata dan mengucap dalam hati, ‘Om avighnam astu namo siddham’.Itu adalah doa di agama gue sebelum mengawali pekerjaan. Atau mungkin, mengawali kematian?
Proses boarding dimulai. Sebagai junior yang baik dan budiman, gue emang harus kerja lebih ‘extra’ dari para senior gue. Boarding lebih cepet, bolak balik kaya setrikaan di cabin pesawat, itu udah biasa. Rasa capeknya kaya abis ngeburuh di pabrik seharian full. Okeh, baiklah, even gue gak tau rasanya jadi buruh, intinya gue capek banget saat itu. Setelah diinget-inget, gue baru ngeh kalo gue terbang 6-1 (6 hari kerja, 1 hari libur) selama 3 minggu berturut-turut dengan schedule yang terkenal bikin gempor. That’s why, kemarin malem gue mencomot 4 lembar koyo punya Nindya buat persiapan terbang hari ini yang pastinya bakal melelahkan juga.
            Malem sebelum tidur gue coba pake koyo di pinggang, punggung dan pantat. Gue bingung kenapa kemarin gue pake koyo di pantat, tapi rasanya enak, coba deh! Keesokan paginya, badan gue berasa enakan. Masih pegel sih tapi lebih mending lah daripada yang kemarin-kemarin. Karena enak, gue pasang 2 lembar lagi buat penerbangan Cengkareng-Denpasar-Cengkareng-Medan/ron kali ini. 3 landing dengan bagasi penumpang yang bisa dipastikan naudzubillah banyaknya. Gue tempel di pinggang, punggung dan gak lupa di pantat. Sayangnya, posisi koyo itu bawa musibah memalukan sepanjang sejarah gue sebagai pramugalau.
            Awalnya proses boarding berjalan biasa aja. Gue emang ngerasa aneh, kenapa banyak penumpang ngelirik gue terus ketawa ngakak. Gue pikir karena mereka ngeliat gue mirip banget sama Dian Sastro (walaupun gue masih bingung, kenapa pula mereka harus ketawa?).
            Dan ternyata, penerbangan Cengkareng-Denpasar mengundang beberapa MASTENG alias Mas Tengil yang bau badannya apek Naudzugilleh! Begitu beberapa ekor ‘masteng’ onboard, gue langsung cium bau boker (yang bikin gue ikutan pengen boker) menuhin pesawat. ANJEENNGG! Mulut gue mulai megap-megap kaya ikan mujaer kurangan air. Rasanya mau gue comot aja masker oksigen terus gue pasang dimuka, sebodo deh gue boarding kaya pasien kanker, yang penting paru-paru gue tercinta ini selamat walafiat. Tapi sebagai pramugari yang professional dan sakti mandraguna, gue boarding sambil nafas lewat mulut donnkk! Segitunya pengorbanan guehh… Eh, gak lama….
            “Pegel, Kakak?” sapa salah seorang penumpang yang gue yakin, orang Kupang asli. Tampang dan logatnya itu lohh. Mungkin dia lagi wisata, liburan ke Jakarta dan Denpasar.
            “Ah, enggak kok, Mas. Biasa aja,” jawab gue sambil senyum kiyud imyud. Eh dia malah ketawain gue, dan lanjutan kalimatnya langsung bikin gue kaya kesamber petir yang cetar membahana.
            “Ah, masa? Tapi kok pake koyo? Nongol tuh,Kakak!” dia dan kawan-kawan ‘masteng’nya langsung ketawa ngakak.
            “Kita juga pakai kok, Kakak! Yang cabe pulak!” MARMUT, KECOAK, JIGONG BULUUKKK!!! Demi apapun, gue malu gilak!!! Gue langsung ngabur ke depan dan mencomot koyo yang ada dipinggang gue. Rupa-rupanya, koyo itu gue pasang agak ke bawah, jadi begitu seragam gue naik dikiiittt aja, tuh koyo bakal nampakin diri dengan jumawanya. Gue jadi nyesel, tiap kali dapet rute ‘masteng’, gue pasti ngeluh dengan aroma-aroma khasnya yang naudzubillah bin dzalik deh! Tapi penerbangan itu nyadarin gue, ternyata gue dan mereka masih punya kesamaan. Kalo pegel ya andelannya koyo juga. Duh, maaf ya Mas-Mas, gak lagi-lagi deh ngeluhin kalian, bagaimanapun ‘aroma’ kalian, kalian tetep penumpang gue deh!
            Gue balik ke cabin dengan ekpresi gak berdosa dan muka tebel meskipun masteng-masteng itu masih asik cekikikan sambil nunjuk-nunjuk ke arah gue. Setelah penumpang complete, dan memastikan semua penumpang yang membawa bayi dibawah 2 tahun sudah duduk di baris nomor genap (karena spare masker oxygen hanya ada di baris genap) dan dibagikan baju pelampung, gue kembali ke galley depan dan membantu Mbak Arin mengurus document penerbangan.
          All document complete, cabin ready for take-off. Captain memberi commandFlight attendant take-off station” yang berarti gue dan awak kabin lainnya sudah duduk di jumpseat station masing-masing dan bersiap-siap untuk lepas landas. Gue melihat keluar jendela dan mengagumi betapa hebatnya pesawat ini mengangkut ratusan penumpang, ribuan kilo beban di dalamnya, melayang ke atas, hingga ketinggian 36 ribu kaki.  Setelah fasten seatbelt sign padam, gue dan Mbak Arin melepaskan seatbelt dan shoulder harness kami dan bersiap-siap untuk assisting awak cockpit kami.
            “Dek, kamu siapin meal crew, aku mau announce buat sky sale dulu,” gue mengangguk dan dengan sigap segera memasukkan makanan ke dalam oven dan menghangatkannya.
            ‘Well, time to work, Kita!’







Komentar

Unknown mengatakan…
Yah segitu ajakah padahal penasaran banget ending nya kk lucu deh

Postingan Populer