Nandakita : It Just The Beginning



          “Ehm, maaf Capt. Ini breakfast dan cappuccino hangat pesenan Captain,” dua pria di depan gue terlihat kaget sekali. Lagipula salah mereka yang terlalu asik mengobrol sampai-sampai gak sadar gue sudah masuk dan mendengar percakapan mereka dari 5 menit yang lalu.
            “Wah, maaf  ya. Kita ga ada yang sadar kamu masuk,” gue Cuma tersenyum sembari menyodorkan nampan yang berisi meal crew atau makanan khusus untuk para awak pesawat. Gue segera ijin pamit untuk membantu Mbak Arin di galley depan. Galley bisa disebut ‘ruang kerja’ para pramugari.
            Setelah menutup pintu cockpit, gue masih terbayang obrolan gue dengan Mas Rendra dan obrolan Mas Rendra dengan Captain Aji barusan. Perasaan gue makin aneh setiap kali mengingat Mas Rendra. Tanpa sadar, gue melamun cukup lama hingga bentakan dari Mbak Silvi menyadarkan gue.
            “Ngapain lo senyam-senyum gitu keluar cockpit?  Dasar gatel lo ya? Baru terbang setahun aja ganjennya gak ketolongan!” gue langsung shock denger Mbak Silvi ngomel kaya petasan. Pengen banget gue katain balik, segatel apa dia sama Captain Aji yang udah beranak-istri itu, tapi berhubung gue masih sayang nyawa, gue lebih memilih untuk diam dan memalingkan muka.
            “Udah, apa-apaan sih kamu, Vi? Omongannya dijaga, kamu sekarang di pesawat, kamu itu pramugari. Bukan preman pasar! Kita, kamu makan meal crew kamu sekarang,” bela Mbak Arin. Gue mematuhi Mbak Arin dan mengambil makananku dari oven.  Belum juga satu suap masuk mulut, Mbak Silvi mulai ngomel lagi. “Heh, junior gatel! Attitude lo dimana, makan gak pake ijin dulu! Lo kira gue arwah, gue gak keliatan? Lo gak liat gue disini, di depan lo?”
            Saking emosinya dikata-katain kaya gitu, gue banting sendok gue dan balas melotot kearah Mbak Silvi, “Mbak, aku punya nama! Namaku bukan junior dan aku gak gatel kaya yang Mbak bilang! Aku gak ijin karena Mbak Arin sendiri yang nyuruh aku makan! Dan lagipula, kenapa aku perlu ijin dari Mbak buat makan yang emang hak aku? Mbak itu siapa? Mbak itu Cuma senior aku! Aku ngehargain Mbak karena Mbak udah kerja lebih dulu daripada aku, bukan karena aku kerja di bawah kaki Mbak! Aku pramugari, Mbak!  Bukan BABU!” akhirnya jiwa premanku keluar juga. Gue yang emang gak biasa direndahkan akhirnya meledak. Tapi aku tidak langsung meminta maaf karena sudah membentak seniorku, dan tidak akan pernah mau meminta maaf untuk hal itu. Mbak Silvi terlihat makin geram dan memukul dinding.
            “Gila lo ya! Berapa nilai grooming lo di kelas? Telor bebek ya?”
            “Harusnya Mbak tanya itu ke diri Mbak sendiri!” kita berdua saling melotot dan kaya film laga Indonesia, dimana manusia terbang nunggangin Elang yang bisa diparkir di parkiran khusus elang di ALamart terdekat, dari kedua mata kita keluar kilatan cahaya yang saling beradu. Pertempuran kami terhenti ketika pintu cockpit terbuka dan Captain Aji keluar.
            “Gue kebelet boker nih, lavatory kosong kan?” kami semua mengangguk dan ia langsung masuk ke lavatory. Lavatory adalah bahasa lain dari toilet. Mbak Silvi keliatan masih geram banget , tapi ia memutuskan ijin kepada Mbak Arin untuk masuk ke dalam cockpit. Setelah dia masuk, lutut gue langsung lemas. Gue tidak menyesal sedikitpun karena telah membentak senior di penerbangan pertama gue ini, tapi tetap saja gue lemas membayangkan nasib gue kedepannya. Gue yakin, Mbak Silvi adalah tipe senior ‘tukang titip’. Kalau dia gak suka sama satu junior, dia bakal ‘titipin’ si junior ke semua temen atau bahkan seniornya biar siapapun yang terbang bareng gue, bakal ngerjain gue di pesawat.
            “Udah, dek. Ini, diminum dulu,” Mbak Arin menyodorkan segelas air putih yang terlihat surga banget dimataku. “Kamu gak salah kok, jadi ga usah takut. Silvi memang keterlaluan. Dia gak punya jiwa leadership, makanya dia gak pernah lulus tes untuk menjadi cabin 1. Cabin 1 itu kan punya tanggung jawab besar atas crew dan penumpang. Kalau dia sendiri suka bikin masalah, gimana anak buahnya gak pada bermasalah?”
            “Iya, Mbak. Maaf aku agak kasar. Aku gak biasa direndahin, Mbak. Kalo dimarah-marah karena aku banyak salah, aku bisa terima,”
            “Senior-senior seperti Silvi itu Cuma segelintir orang yang salah persepsi mengenai budaya senior-junior di perusahaan ini. Mereka menganggap diri mereka sudah menjadi senior dan berlagak seperti majikan. Sedangkan junior-junior seperti kalian yang harusnya dibimbing  malah diperlakukan layaknya pembantu yang bisa diperintah dan diteriakin didepan orang-orang.”
            “Tapi syukurnya gak semua senior seperti Mbak Silvi. Masih ada Mbak Arin yang pantas dipanggil dan dianggap senior. Mereka yang semena-mena dengan juniornya hanya pantas dipanggil senior, tapi gak pantas untuk dianggap sebagai senior.”
            “Ah, biasa aja kok, Ta. Aku memilih bersikap seperti ini karena merasakan seperti apa waktu dulu menjadi junior tertindas. Gak enak banget. Setiap pulang terbang pasti pake koyo karena harus kerja extra. Senior-senior pada males kerja dan nyerahin semua pekerjaannya sama aku. Dan berbagai sumpah serapahpun bakal aku kasi dengan gratis buat mereka semua. Karena merasakan itu semua, aku gak mau jadi seperti mereka. Aku gak mau junior pada nyumpahin aku yang jelek-jelek.”
            “Tapi kan banyak senior yang karena di siksa, sekarang bawaannya jadi pengen balas dendam, Mbak. Aku juga kalo nanti udah senior pengen jadi kaya Mbak Arin,” ucapku jujur. Mbak Arin menarik nafas panjang.
            “Hh, baguslah kalau aku bisa menjadi contoh buat kamu. Hal baik tolong dicontoh, tapi yang jelek dihindari. Lebih baik lagi kalau diingatkan. Bagaimanapun juga senior kan manusia, pasti pernah salah. Tapi kadang mereka perlu orang lain untuk mengingatkannya. Udah, buruan dikelarin makannya. Bentar lagi kita mendarat,”
            Gue mengangguk dan menyelesaikan makan pagi gue.
***
            Pesawat mendarat agak kasar, atau biasa kami sebut hard landing. Tapi hal demikian memang wajib dilakukan untuk menghindari overshoot alias pesawat tergelincir. Banyak penumpang yang bersorak seperti mengejek, gue kesel luar biasa. Tapi gue gak bisa berbuat apapun. Kadang penumpang memang hanya memikirkan kenyamanan mereka, tanpa tahu bahwa hal itu terkadang mengundang resiko.
            Setelah semua penumpang keluar, kami mempersilahkan cabin cleaning membersihkan pesawat. Gue berjalan di cabin pesawat untuk memastikan pesawat memang sudah bersih, sembari mengecek baju pelampung tersedia di setiap seat penumpang.
            Setelah Captain menyatakan ready for boarding petugas daratpun segera menginfokan kepada penumpang untuk segera memasuki pesawat. Gue standby di work area gue. Sebenernya sih, work area gue itu dari first row sampe row nomor 9. Tapi berhubung gue adalah junior baik hati dan budiman, tentu aja gue bakal ikut bantu-bantu Mbak senior gue supaya mereka gak capek kerja. Baik banget kan gue?
            Proses boarding berlangsung lancar. Penumpang masuk ke cabin pesawat dan langsung duduk di tempat duduk mereka. Hanya ada beberapa orang yang memerlukan bantuan kami untuk meletakkan barang-barang mereka di head rack, selebihnya mereka cukup baik dengan tidak menambah tugas kami hanya untuk meletakkan semua barang mereka satu-persatu. Setelah semua penumpang duduk, gue berjalan di tengah cabin bak pragawati. Gue melihat ke kiri dan ke kanan untuk melihat apakah ada ibu yang tengah mengandung ataupun bayi yang usianya di bawah 6 bulan untuk memastikan mereka sudah membuat Form of Indemnity alias Surat Pernyataan. Tiba-tiba langkah gue terhenti karena bunyi ‘TUNG’ yang sangat gue hapal. Bunyi pax-call! Pax-call adalah istilah kami untuk menyebut penumpang yang memanggil kami dengan cara menekan Flight Attendant Call button. Gue segera menghampiri penumpang yang ternyata seorang ibu-ibu muda nyentrik itu.
            “Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?”
            “Ini! Koper saya gak muat di atas!” gue melihat koper hitam besar, well, maksud gue, BESAR BUANGET berdiri dengan gagahnya di tengah cabin. Gue kaget, koper sebesar itu kenapa bisa lolos dari check-in counter. Seharusnya mereka sudah menahan koper sebesar itu agar tidak masuk ke dalam cabin pesawat karena sudah dipastikan ukurannya tidak muat untuk masuk ke head rack sehingga bisa dibagasikan di cargo pesawat, atau diletakkan di bagian perut pesawat.
            “Wah, maaf sekali ibu. Koper Ibu tidak bisa masuk head rack karena ukurannya terlalu besar. Bagaimana kalau saya bagasikan saja? Bisa saya lihat boarding pass Ibu?” gak disangka, si Ibu dengan kacamata Prada-nya berdiri dan berkacak pinggang.
            “HEH, MBAK! Saya berkali-kali naik pesawat dengan koper saya ini dan gak pernah dibagasikan! Selalu di head rack! Dasar kamu aja yang males, sana cari head rack yang kosong untuk koper saya!” bentak si Ibu kasar. Beberapa pasang mata melirik kearah gue walau gak satupun dari mereka berusaha membela gue yang dihina-hina sedemikian rupa. Gue tetep berusaha sabar walaupun  rasanya gue pengen nodongin bedil ke mulut si ibu dan balas teriak, ‘SOPAN DIKIT, NAPA?!’. Dengan senyum gue melihat ke head rack yang masih kosong dan mengajak si Ibu untuk melihat langsung bahwa kopernya yang segede bagong itu memang gak muat di head rack.
            “Silahkan Ibu, ikut saya. Biar Ibu lihat sendiri kalau koper Ibu gak muat di head rack pesawat kami.”
            “Ya itu urusan kamu, donk! Pokoknya digimanain kek, biar muat! Saya gak mau tau, pokoknya koper saya gak boleh ditaruh di kargo. Harus di head rack!” bentaknya lagi. Sumpah demi apapun gue pengen banget ngelempar si Ibu dari jendela darurat, tapi sayangnya, demi profesionalitas kerja, gue harus menanggapi si Ibu dengan senyum.
            “Kalo Ibu masih belum berkenan kopernya dibagasikan, kami tidak akan lepas landas, bu. Jadi menurut saya untuk efisiensi waktu, Ibu harus mengijinkan petugas darat kami untuk membagasikan koper ibu. Bagaimana Bu?”
            “Gak ada! Saya berkali-kali naik pesawat dan-“ sebuah tepukan halus mengagetkan gue.
            “Biar aku yang handle,” bisik Mbak Arin. Gue langsung mundur di belakang Mbak Arin.
            “Selamat pagi, Ibu. Maafkan pramugari kami, Bu. Biar saya coba ya, mudah-mudahan koper Ibu muat di head rack kami, karena kalau tidak, kami tidak punya pilihan lain selain membagasikan koper Ibu,” gue membantu Mbak Arin mengangkat koper yang beratnya naudzubillah itu ke atas head rack. Ha! Terbukti omongan gue, ternyata kopernya gak muat. Si Ibu melengos kesal dengan masih berkacak pinggang.
            “Aduh, Ibu. Sayang sekali, kopernya tidak muat di head rack pesawat kami. Selama ini mungkin Ibu belum pernah naik pesawat perusahaan kami, karena setiap pesawat ukuran head rack-nya beda-beda. Atau Ibu mau coba sendiri?” si Ibu gak mau menatap Mbak Arin. “Baiklah, saya akan memanggil petugas darat kami untuk menurunkan bagasi Ibu ke cargo bawah. Kalau tidak, dengan sangat terpaksa kami harus memanggil pihak security bandara untuk menyelesaikannya, karena Ibu sudah menahan penerbangan ini selama 20 menit.”
            “Ya, udah! Turunin aja! Tapi awas ya, koper saya hilang!” bentak si Ibu akhirnya. Gue tersenyum geli.
            “Ibu tenang saja, nanti Ibu akan mendapat label bagasi. Kalau bagasi Ibu hilang, akan mendapat ganti rugi uang tunai dari perusahaan kami. Memang aturannya, bagasi yang mendapat pertanggungan itu hanyalah bagasi yang tercatat, yaitu bagasi di cargo bawah. Bagasi yang masuk ke cabin pesawat justru tidak akan mendapat apapun kalau nantinya hilang atau rusak. Sudah diatur dalam undang-undang kok, Bu. Jadi tenang aja,” jelas Mbak Arin panjang lebar. Banyak koor ‘ooohh’ panjang terdengar dari penumpang disekitar kami.
            Setelah bagasi diturunkan, gue gak lupa bilang terima kasih ke Mbak Arin karena udah membantu gue.
            “Gak papa. Lain kali lebih sabar ngadepin penumpang. Kalo emang masih ngeyel, ya udah serahin ke petugas darat. Pramugari pantang manyun,” nasehat Mbak Arin. Mbak Arin emang keren, she was one of the real flight attendant.
            Setelah semua document lengkap dan pilot memberi command untuk tutup pintu, kami pun bersiap-siap untuk melakukan safety demo. Semua penumpang member perhatian kepada kami dan itu buat gue merasa sangat dihargai. Even penumpang yang keliatan udah berkali-kali naik pesawatpun masih mau meluangkan 5 menitnya untuk memperhatikan safety demo.
            After take-off, gue mengambil handphone dari tas gue dan berniat meletakkannya di dalam koper. Walaupun udah dalam posisi off, rupanya alarm bakal tetep bunyi pada waktu di set-nya. Sukur penumpang ga denger, tapi gue jadi ngerasa ga enak sama Mbak Arin.
            “Eh, coba liat BB lo, dek!” kata Mbak Arin menyodorkan tangan. Gue bingung, tapi tetep menyerahkan BB gue ke Mbak Arin.
          “Gilak, udah tahun 2013 lo masih pake ini? Ini masih pake trackball kali, dek. Ganti yang lebih baru, kenapa?” gue mengernyit. Apa salahnya dengan BB jadul? “Kemarin aja gue terbang sama junior yang baru terbang 2 bulan, dia udah pake Dakota+Galaxy Notes. Masa kamu udah setahun terbang BB-nya masih Bold 9000 gini?”
            Wah, gue mendadak inget kejadian di penerbangan gue yang lalu. Waktu itu gue terbang dan tidur di hotel satu kamar sama junior gue yang masih bisa dibilang baru banget terbang sebagai crew aktif.
            “Mbak serius, BB-nya Cuma itu? Kalo handphone yang lain?” gue menggeleng dan menunjuk Samsung flip monotone gue yang seharga 300 ribuan itu. Gue melirik tangan kanannya yang menggengam BB model Dakota dan Galaxy Notes yang tergeletak di atas tempat tidur.
            “Yah, Mbak gimana sih? Kok pramugari gadget-nya gak update. Aku malah mau tukar-tambah Dakota aku sama Blackberry Z10. Kan lagi happening banget!”
            “Ya, gimana? Gaji aku kan juga harus buat cicil hutang, buat hidup, kirim ke orangtua, buat nabung. Banyak lah,” bela gue.
            “Aku juga ga pure pake gaji aku sebagai pramugari kali, Mbak. Aku juga kerja sampingan. Kalo gak gitu, gimana bisa aku beli ini semua.”        
            “Oh, ya? Kamu kerja apa?” kata gue semangat. Waktu itu gue tertarik sama kerjaan dia yang bisa ngehasilin banyak uang itu.
            “Jadi simpenan,” jawabnya polos tanpa rasa bersalah.Gue bengong. Shock. Jadi semua gadget itu, hasilnya sebagai cewek simpenan.
            “Gak Cuma itu, cukong aku udah kredit mobil buat aku. Trus, Mbak liat deh! Tas aku ini, aku beli di Mall Grand Indonesia. Harganya 17 juta! Ada sertifikatnya di rumah! Trus, Mbak harus liat ini juga,” dia mengeluarkan kotak make-upnya. Gue melihat berbagai make-up dengan brand yang harganya selangit mulai dari L’Ancome, Bourjois, Cle De Peau hingga Bobbi Brown berserakan disana. Gue berdecak kagum. Gue memang bukan ratu make-up, tapi cewek mana sih yang gak ngiler kalo liat warna-warni indah dari brand tersebut? Ini sih sama aja kaya yang dipake artis-artis.
            Dia juga menyemprotkan parfum Bvlgari Omnia yang wanginya bener-bener gue suka, manis dengan sensasi segar seperti wangi buah-buahan. “Kalo parfum ini aku beli di Singapore, Mbak. Cuma 2 juta kurang berapaa gitu, Mbak. Aku lupa!” pamernya lagi.
            Kemudian dia mengarahkan tanganku untuk menyentuh perutnya dan meraba pipinya. “Dulunya aku overweight, Mbak. Berat aku 63. Aku harus sedot lemak. Tapi pipiku masih tembem, jadi aku harus setrika pipi. Trus, Mbak perhatiin alisku,kan? Ini namanya sulam alis, Mbak. Jadi kita gak butuh lagi yang namanya pensil alis, ribet! 2 juta doank kok! Nah,terus karena kulit aku agak gelap, aku harus suntik vitamin C. Jadi sekarang keliatan kan, kult aku cerah dan berona, gak sekedar putih. Cantik itu mahal, Mbak. Jadi gimana, Mbak mau? Aku punya kenalan kok, kalo Mbak mau,” promosi si junior ini ngingetin gue sama tukang obat di pasar malam. Gue menggangguk. Dia keliatan sumringah.
            “Iya, gue mau bisa banyak duit kaya elo. Tapi, daripada duitnya keluar dari vagina gue, upah gue ngangkang semaleman, gue mending tahan dulu deh. Kalo aja gue gak perlu kirim ke orang tua gue, gak perlu bayar hutang keluarga gue, mungkin gue juga bisa nyicil barang-barang kaya yang lo punya. Tapi buat apa? Gue merasa cukup dengan segala yang Tuhan berikan, dan gue selalu mensyukurinya. Bukan berarti gue gak mau berusaha untuk mendapat lebih, tapi kalo jalannya dengan ngelebarin selangkangan, gue gak bisa. Tapi tenang, gue gak nyalahin elo kok. Pandangan dan jalan hidup orang kan beda-beda. Gue hanya punya prinsip, dan gue akan mempertahankan itu. Even gue gak punya cukong kaya elo, gue masih punya Tuhan. Hanya pada Tuhan gue meminta, dan bila saatnya, gue yakin, Tuhan akan memberikannya. Itu aja. Tidur yuk, besok kita terbang pagi!”
            Pandangan gue kembali kepada Mbak Arin. Gue menatap dengan senyum dan binar bangga terpancar dari mata gue.
            “BB saya kan masih bagus, Mbak. Toh, saya pake buat BBM-an doank. Gaji saya harus saya pake buat biaya hidup, ngirim ke orangtua, dan bayar hutang keluarga. Nantilah, kalau saya ada rejeki lebih dan BB saya udah ga layak pakai, baru saya ganti. Itupun gak mesti yang mereknya lagi ngetrend. Yang penting bisa BBM-an,itu aja.”
           “Wah, bagus banget pemikiran kamu, Kita. Gak banyak loh pramugari yang gak kena syndrome invest gadget. Asal beli gadget terbaru tanpa tau fungsinya selain buat ajang pamer,” puji Mbak Arin yang buat gue jadi tersipu-sapi, ehm, maksud gue tersipu-sipu.
            “Iya, Mbak. Saya lagi nabung, buat bakal kuliah. Kemarin saya gak diijinin kuliah di sekolah seni, setelah luntang-lantung gak diterima di universitas manapun, baru deh orangtua saya ngijinin saya buat kuliah disana. Tapi pendaftarannya udah terlambat, buat ngisi waktu, saya iseng ngelamar pramugari, eh keterima. Sekarang udah punya uang sendiri, saya mau lanjut nabung buat biayain sekolah saya sendiri. Saya pengen jadi seorang penulis, sutradara, ataupun seorang aktris yang baik Mbak. Mungkin kedengerannya terlalu tinggi buat gadis kampung seperti saya, tapi bukan mimpi namanya kalau tidak digantung setinggi mungkin. Saya sudah terlanjur melompat jauh ke Jakarta, pantang pulang ke kampung tanpa hasil Mbak,” jawab gue. Mbak Arin berdecak kagum dan lagi-lagi memuji gue.
            “Bener banget, Ta. Bukan mimpi namanya kalau gak digantung setinggi mungkin. Melompatlah yang tinggi, Ta. Gapai mimpimu, pandang lurus kemana mimpimu tertuju. Aku doakan kamu berhasil…”
            ‘Iya, Mbak. Aku pasti berhasil!’

Komentar

Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan…
Terima kasih dinna untuk penerbangan yang sangat menyenangkan, dinna begitu enerjik,rajin dan unik. Penerbangan bersama dinna gak akan dilupakan karena akan selalu senyum-senyum sendiri mengingat seseorang yg sepatu kesayanganya ketumpahan sarden, karena dinna lah aku bisa mengenal seseorang yang jauh dibelgia sekarang dan menjadi cerita indah selama penerbanganku sebelum memutuskan untuk totaly join dibagian trainning, terima kasih untuk semangat dan moment indah itu sukses selalu dinna dan smoga bisa menggapai impian-impian dinna amin......
Unknown mengatakan…
Pramugari Batik Air ?

Really nice blog ... eh Batik Air kok kebayanya ada macam2 model ya ?
Saya lihat ada yg nutup dada hingga leher, dan ada yg low-cut dan super low-cut ..
Apa bedanya ?

Postingan Populer