Nandakita : It Hurts
“Putri?”
“Oke, kamu
dimana? Aku kesana sekarang!”
Dua kalimat itu gue ulangi, walaupun gue
tau, ternyata melakukan hal tersebut malah makin nyakitin gue sehingga membuat gue urung mengembalikan
jaket Mas Rendra. Gue yakin itu adalah Dinia Putri, mantan pacar Mas Rendra
yang pernah ia ceritakan pada gue. Dan gue yakin, dari reaksi spontannya itu,
Mas Rendra masih mencintainya. Gue kembali ke kamar dengan wajah tertunduk.
“Loh, kok jaketnya dibawa lagi? Mas
Rendranya udah pergi duluan ya?” tanya Gisa sembari menyalakan TV. Gue hanya
menggeleng, bingung harus menceritakannya seperti apa.
“Eh, cerita donk! Kok bisa jadian
sama Mas Rendra?” repet Nindya seperti mengintrogasi gue. Gue lebih memilih
diam dan ngeloyor masuk kamar, membanting pintu kemudian membaringkan tubuh.
“Kenapa gue segitu gampangnya jatuh
cinta sama orang yang baru 4 hari gue kenal? Gampangan banget lo, Kita!” gue
memaki diri sendiri dan menjambak rambut gue dengan depresi.
“Taaa…” pintu terbuka. Gue melihat
Gisa melongok di daun pintu, masuk pelan-pelan dan duduk di sudut tempat
tidurku. “Lo kenapa, Ta?”
“Gue bingung mesti cerita kaya
gimana, Ma. Gue juga bingung harus mulai dari mana,” gak lama, Nindya dan Resha
ikut-ikutan masuk kamar dan duduk di lantai. Gue menatap mereka satu-persatu.
Mereka adalah sahabat gue disini. Mereka juga adalah keluarga baru dimasa
perantauan gue sekarang. Memang hanya merekalah tempat gue bercerita.
“Gue sama Mas Rendra belum pacaran.
Kita terbang bareng 4 hari kemarin. Gue akuin, gue tertarik dari awal. Gue udah
jatuh cinta dari awal penerbangan. Tapi gue gak pernah berusaha menariknya.
Kita ternyata emang saling mengagumi,” gue menarik nafas sebentar. “Masalahnya,
gue dan Mas Rendra beda 14 tahun. Gue tahun ini baru 20 tahun, sementara Mas
Rendra udah 34 tahun. Mas Rendra tuh nyari istri, masa iya gue nikah semuda
itu? Gue masih pengen nabung, Pa. Gue masih mengejar impian gue buat lanjutin
kuliah gue di sekolah seni.”
“Yaelah, umur itu Cuma angka, Ta!
Bukan berarti ketika lo udah berumur 25 tahun, lo udah siap buat menikah. Jadi
karena faktor umur, lo nolak Mas Rendra? Lo yakin gak sih, lo emang cinta sama
Mas Rendra? Kalo cinta, pasti gak semudah itu lo bilang ‘enggak!’ Kalo niat lo
sama Mas Rendra tuh baik, Insya Allah bakal selalu ada jalan kok,” Nindya yang
biasanya melawak, ternyata bisa juga berkata sedikit keras.
“Gue cinta sama dia, Pa. Even Cuma 4 hari, gue tau, ini cinta.
Gue bahagia banget sama dia, dan gue pengen ngasi kebahagiaan yang sama. Sebenernya
gue rela, melepaskan masa muda gue buat menikah sama Mas Rendra asal dia
bahagia. Tapi nikah kan gak semudah itu! Sekali Mas Rendra nyematin cincin di
jari manis tangan kanan gue, itu berarti gue bakal jadi milik dia. Gue harus
ninggalin keluarga gue, dan gue gak mau! Gue gak mau milih orang yang baru 4
hari gue kenal, orang yang janjiin kebahagiaan, ketimbang keluarga gue di Bali
yang bertahun-tahun ngasi gue kehidupan dan jelas-jelas udah ngasi gue
kebahagiaan yang berlimpah!”
“Ya ampun, Kita! Dimana-mana kan
emang gitu, normalnya ya emang gitu. Cewek masuk ke keluarga cowok. Bukan
berarti dengan lo nikah, lo bakal ninggalin
keluarga lo. Tapi itu kan emang satu phase kehidupan yang setiap orang harus
jalanin. Terus, lo gak bakal nikah gitu? Sampe lo masuk liang kubur?” balas
Nindya emosi. Ia mungkin lupa, orang Hindu harusnya dikremasi, bukan dikubur.
“Tapi gue sama Mas Rendra beda
agama, NYET! Jelas aja gue harus ninggalin agama gue dan masuk ke agama dia, that’s why gue bilang, gue ninggalin keluarga
gue karena kalo gue milih Mas Rendra, itu berarti gue harus pindah agama!”
bentak gue kasar. Nindya kaget, tapi kemudian wajahnya seperti meminta maaf.
“Lah, Mas Rendra bukan orang Hindu?
Wah, kalo kaya gitu, pikir baik-baik. Pindah agama itu bukan perkara gampang.
Kamu harus mempelajari agama baru itu dulu, setelah yakin baru memutuskan untuk
pindah. Karena kalo lo pindah, kemudian lo mendalami agama baru lo, bukan gak
mungkin ditengah jalan lo nemuin bahwa lo gak cocok sama ajarannya. Ujungnya,
lo bakal balik ke agama lama lo. Itu gak baik, Ta. Namanya mempermainkan
agama,” kata Gisa lembut. Gue emang gak perlu menyangsikan nasihat dari Gisa.
Ia adalah sosok yang religius, namun tidak fanatik. Sosok gadis yang cantik
luar dalam.
‘’Iya, Ma. Gue ngerasa nyaman sama
agama gue sekarang, jadi gue gak perlu mempelajari agama baru. Toh menurut gue,
semua agama sama. Walaupun kualitas sisi religius gue gak bagus-bagus amat, gue
sebisa mungkin selalu percaya dengan keberadaaannya, menuruti perintah-Nya dan
menghindari larangan-Nya. Point yang sama, meskipun mungkin dengan aturan dan
cara yang berbeda.
“Gue cinta, Ma, Gue juga tau, cinta
itu buta. Tapi gue masih punya hati yang bisa melihat. Hati yang masih bisa
bersuara. Dan hati gue bilang ‘enggak’. Gue tau nantinya bakal berat buat
ngelepas Mas Rendra. Dia baik sekali. Bayangkan, lelaki mana yang masih tetap
mencintai gadis yang dulu berselingkuh 3 bulan menjelang pernikahannya? Mas
Rendra memiliki cinta yang benar-benar tulus, walaupun belakangan gue tau,
cintanya itu gak Cuma buat gue. Mantannya masih menduduki posisi tertinggi di
hati Mas Rendra,” gue mulai terisak. Dada gue ngerasa sesak banget.
“Astaga, gue gak nyangka masih ada
cowok kaya Mas Rendra. Memang sangat disayangkan kalo lo harus ngelepas dia,
Kak. Tapi kalo itu emang keputusan lo, gue akan selalu dukung. We are family, rite? Keluarga akan
selalu ngedukung dan ada untuk elo. Dan biarkan waktu mengobati luka elo itu.”
Resha ngelus-ngelus punggung gue. hal yang selalu kita lakukan untuk menghibur
satu sama lain.
“Salah, Dek. Waktu bukan mengobati
luka. Waktu hanya akan mengajari kita, bagaimana kita bisa tetap hidup dengan
luka itu,” gue memeluk mereka semua. Pelukan hangat dari seorang Sahabat.
Dan demikianlah, gue memberi
keputusan hanya melalui sebuah pesan singkat. Gue membulatkan tekad. Gue gak
siap untuk Mas Rendra, dan gue gak siap untuk menikah.
“Mas, aku sudah
memikirkan semua. Aku tidak bisa. Aku mencintaimu, tapi untuk menikah, kita
tidak hanya membutuhkan cinta. Kita harus memiliki satu jalan, satu komitmen.
Tapi bagaimana mungkin nantinya kita tinggal dalam satu rumah, dengan dupa dan
sajadah? Terima kasih untuk cinta yang Mas tawarkan. Aku tidak semulia itu yang
pantas menerimanya. Putri lebih pantas mendapatkannya kembali.”
***
Gue kembali menarik koper. Ini adalah
minggu kelima setelah gue dan Mas Rendra akhirnya memutuskan untuk menjalankan
kehidupan kami masing-masing. Gue belum pernah sekalipun bertemu dengan Mas
Rendra baik di FLOPS Cengkareng ataupun di daerah. Gue sangat merindukannya,
hingga diam-diam gue selalu melihat kontak BBMnya. Gue melihat foto-foto ketika
kami bersama. Melepas kebahagiaan itu adalah hal sulit, gue yakin lo semua tau
rasanya seperti apa.
Hari ini gue terbang rute dua hari dari
Cengkareng-Denpasar-Cengkareng-Denpasar/RON. Ini adalah schedule mendadak,
karena awalnya schedule gue adalah Cengkareng-Manado-Surabaya/RON. Kemarin
malam gue mendapat revise dari pihak
scheduling sehingga gue bahkan gak sempat mengabari keluarga gue kalo gue punya
schedule ke Denpasar. Setelah gue pikir-pikir, gue memang lebih baik tidak
mengabari mereka. Gue pengen sendiri dulu.
Gue terbang dengan Mbak Didy, senior gue
dengan nomor ID tahun 2009. Gue udah pernah terbang bareng dia sebelumnya, dia
adalah salah satu dari sekian senior yang masuk jajaran ‘peri baik hati’.
Gue memasuki FLOPS dan segera melakukan
ritual wajib ‘lebaran’ gue itu. Setelah ritual selesai, gue segera mencatat
nama-nama crew gue dan mengecek
registrasi pesawat yang akan gue pakai, serta lokasi parkirnya. Gue melihat Captain Gusti sedang membaca flight plan dihadapannya dengan seksama.
“Siang Captain. Ke Denpasar Capt? Ikutan
ya?” sapa gue. Baru aja kemarin kita menjalankan rute 2 hari bersama, sekarang
gue terbang bareng beliau lagi. Sesuatu yang jarang terjadi di maskapai.
“Oh, saya emang sengaja request ke pihak Scheduling. Kebetulan crew saya kan masih kurang, jadi saya
masukin nama kamu. Lebih enak ke Denpasar kan daripada ke Surabaya? Kan bisa
pulang,” kata Captain Gusti ramah.
Gue agak kaget, ada apa Captain hingga
merequestnya dengan sengaja seperti
itu.
“Lah, emang kenapa Capt? Kok request saya?”
tanya gue bego.
“Ya, karena emang pengen terbang sama
kamu. Gak masalah kan? Kalo kamu keberatan, bisa di cancel kok,” gue langsung mengeleng cepat-cepat.
“Gak kok, Capt. Saya Cuma kaget aja. Saya sih terbang kemana aja oke. Toh
saya nanti gak bisa ijin pulang, terlalu mendadak. Saya gak sempat berkabar
sama keluarga di kampung. Kan Captain tau
sendiri, Singaraja itu jauh,” gue dan Captain
memang sama-sama berasal dari Singaraja. Penerbangan sebelumnya gue sempet
kaget karena ternyata berasal dari kampung halaman yang sama. Menemukan
seseorang yang berasal dari daerah yang sama di rimba Jakarta membuat gue dan Captain dekat. Menurut gue, hubungan
kedekatan kami hanya karena kami berasal dari tanah yang sama, gak lebih. Captain Gusti sudah berusia 36 tahun dan
memiliki seorang istri dan seorang anak. Dari ceritanya gue tau kalo saat ini
ia sedang mengurus perceraiannya dengan istrinya itu. Istrinya yang ternyata
bukan dari kalangan penerbangan itu tidak bisa menerima pekerjaan suaminya yang
tidak terikat waktu. Captain Gusti
memang sangat sibuk, sebagai seorang Captain
dengan jam terbang tinggi dan seorang Flight
Instructur, wajar Captain Gusti
tidak memiliki banyak waktu untuk keluarganya. Setelah 10 tahun bersama,
istrinya mengugat cerai.
“Oh, gitu. Sayang ya? Well, kalo gitu nanti kita bisa susun
acara sendiri. Gimana?” tawarnya. Gue memasang ekpresi pasrah.
“Terserah Captain sama crew lainnya
aja deh. Aku ke crew room ya, Capt.”
Gue mencari-cari Mbak Didy dan menemukan
baru saja datang memasuki FLOPS. Gue pun menghampirinya dan menyapa Mbak Didy
dengan cipika pipi kiri-kanan.
“Mbak, Kita ikutan yah? Ini registrasi
pesawat, lokasi parkir, dan nama crew kita,” aku menyodorkan catatan kecil gue.
“Wah asik, terbang bareng lo lagi! Eh,
gue belom pernah nih terbang sama Captain
Gusti Made Agastya Devantara ini. Gimana?” selidik Mbak Didy. Sebagai Cabin 1, pasti yang ditakutkan Mbak Didy
adalah terbang dengan cockpit crew yang
rese, tukang marah-marah dan menyebalkan.
“Baik banget, Mbak. Kemarin aku baru
abis terbang, eh sekarang terbang lagi. Gak rese kok, tenaaanngg…” kata gue
promosi.
“Wah, lo di request nih ceritanya? Jiah, junior gue satu ini udah di request aja. Hahaha. Eh, briefing yuk?” gue mengangguk dan
mencari-cari crew lainnya. Setelah kami semua berkumpul di crew briefing room, Mbak Didy memulai briefing-nya
“Ok, selamat Siang. Gue Diyanti, panggil
aja Mbak Didy. Gue senior awak kabin di penerbangan ini. Gue tunjuk sesuai ID
aja ya? Nandakita jadi cabin 2, Yunita cabin 3, Aminah cabin 4, dan Ainur
Sayidah cabin 5. Kita terbang yah, Denpasar PP, Denpasar/RON. Gue standar aja,
penerbangan dibuat enak. Jangan ada complain
dari penumpang, kalaupun ada, itu harus beralasan, dan alasan kita kuat
sehingga bisa kita pertanggung jawabkan di depan chief nantinya. Sejauh ini ada pertanyaan?”
“Ngg, anu Mbak. Saya, baru first flight,” potong cabin 5 gue. Gue
memperhatikan dia dari atas sampai bawah. Persis gue setahun lalu, rambut di
potong pendek, dandanan seadanya. Wajah kamipun mirip, meskipun gue tau dia
adalah orang Jawa tulen.
“Ok, nanti kalo ada yang mau kamu
tanyain, bisa kamu tanya ke senior kamu di belakang. Ingat, sebelum melakukan
apapun kamu harus seijin senior-senior kamu Ngerti?” kata Mbak Didy. Ainur
mengangguk cepat. Kamipun segera berdoa dan segera berkenalan dengan Captain dan co-pilot.
***
“Jadi, nanti kita mau kemana?” tanya
Captain Gusti kepada kita semua
setelah memasuki mobil jemputan dari pihak hotel. Mbak Didy terlihat paling
semangat mengajukan Boshe sebagai tujuan.
“Dugem di Boshe aja, Capt. Kan besok schedulenya jam 7 malam.
Gimana? Yang lain mau ikut ga?” gue segera menyetujui usulan itu. Ntah karena
penat berkepanjangan atau gue emang sekedar pengen ngelupain Mas Rendra, tapi
yang jelas usul Mbak Didy muncul di saat yang tepat. Gue melirik junior-junior
gue lainnya yang terlihat sangat bersemangat, kecuali Ainur.
“Wah, boleh Mbak! Mumpung di Bali terus
waktu istirahatnya lama kan?” seru Yunita gak kalah semangat. Ainur menundukkan
kepala makin dalam. Gue yang duduk di tengah Ainur dan Captain Gusti penasaran dengan apa yang dipikirkan Ainur.
“Kenapa, Nur? Kok manyun gitu?”
“Saya takut Mbak, ke tempat
begituan. Saya ndak pernah ke
diskotik, ndak tau mesti ngapain,”
oalah! Ternyata itu yang ditakutkan gadis lugu di samping gue ini.
“Jangan diskotik lah, Mbak. Kita ke bar aja. Tequila bar sounds great,” usul gue. Semua crew mengiyakan usulan gue.
Sesampainya di hotel, kami segera
masuk kamar masing-masing, gue kebagian tidur bareng Ainur. Kami semua berganti
baju dan segera berkumpul di lobby untuk kemudian naik taxi ke tequila bar.
“Tenang aja, Nur. Bar gak serem kok. Tempatnya terbuka,
dan gak seramai diskotik,” kata gue menenangkan. Ainur mengangguk dan dari
sorot matanya ia berterimakasih sama gue.
Gue memesan satu gelas besar insomnia dan membaginya dengan Captain Gusti. Kami asik mengobrol
ngalur ngidul sambil menikmati musik. Gak kerasa kami sudah menghabiskan 3 jam
buat nongkrong bareng. co-pilot gue,
Mbak Didy dan junior-junior gue mulai menguap dan mengajak kembali ke hotel.
Sementara gue masih betah bergalau ria dengan sebungkus rokok yang tinggal
beberapa 4 batang dan seperempat gelas minuman. Jadi kami berpisah. Gue dan Captain Gusti gak ikut rombongan buat
balik ke hotel. Kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk saling bercerita
dari hati ke hati.
“Saya tidak menyesali kegagalan
pernikahan saya, saya menyesal kenapa dulu memilih untuk menikahinya.
Seandainya dari awal saya tidak salah pilih. Saya heran, dia kok bisa-bisanya
ninggalin suami yang udah kerja keras demi dia. Yang sudah menafkahinya. Yang
tidur di samping dia 10 tahun ini,” sesal Captain
Gusti. Ia menyalakan rokok ke-tujuhnya. Mata gue yang mulai
berkunang-kunang membuat gue gak bisa berkonsentrasi dan memutuskan untuk
menjadi pendengar setia.
“Ta? Are u okay?” gue merasakan tangan Captain Gusti menggoyangkan badan gue, sementara gue hanya
tersenyum dan dengan gerakan tangan mengatakan ‘gue baek-baek aja kok’.
“Biar saya papah kamu ke taksi,”
seluruh badan gue lemas. Ini bukan pertama kalinya gue minum minuman keras,
tapi gue ngerasa tubuh gue ngedrop sampai titik terendah. Gue merasakan tangan
kekar Captain Gusti memapah gue
memasuki taksi.
“Astaga, sorry ya Ta. Gara-gara nemenin saya kamu jadi mabuk berat,” gue
kembali tersenyum dengan mata terpejam. Am
I drunk? Gue ngerasa gue gak lagi mabuk. Gue hanya ngerasa badan gue lemes
dan mata gue berkunang-kunang. Gue merasakan hembusan nafas di leher. Terlalu
dekat.
“I’m
sorry to do this,” suara itu mengakhiri sebuah bibir yang mendarat cukup
lama di bibir gue, mengulum, melumat, dan basah.
***
Gue meremas boarding pass yang ada di genggaman gue. Gue baru saja meminta ijin
kedukaan kepada Chief Flight Attendant
atau atasan untuk para pramugari. Kakak gue meninggal kemarin malam. Kakak
pertama gue, Kak Bumi, meninggal karena serangan jantung di malam yang sama
ketika gue menghabiskan waktu di tequila
bar. Gue merasa dunia runtuh. Gue menyesali keputusan gue untuk tidak
mengabari orang rumah tentang kedatangan gue di Bali. Gue menyesal karena gue
lebih memilih pergi ke bar daripada
pulang ke rumah. Karena saat itu gue masih terhitung dinas, gue harus
menyelesaikan tugas gue dan kembali ke Jakarta untuk kemudian kembali terbang
ke Bali sebagai penumpang.
Suasana Bandara Soekarno-Hatta terlihat
tidak seramai biasanya. Gue berkeliling menatap sekeliling terminal 3 ini. Walaupun
gue seorang pramugari, gue jarang bepergian dengan pesawat. Ini adalah kali
ketiga gue naik pesawat terbang sebagai penumpang. Yang pertama dan kedua, saat
gue dikirim ke Jakarta untuk mewakili sekolah dalam lomba festival film pendek
pelajar Indonesia. Dan kali ini, untuk melihat kakak gue untuk terakhir kalinya
sebelum akhirnya ia harus dikremasi.
Kemudian pengumuman terdengar, gue sudah
dipersilahkan untuk masuk ke pesawat. Gue menggunakan maskapai tempat gue
bekerja. Gue menatap ke arah Captain Gusti.
Ya, dia yang menemani gue dan selalu memberikan kata-kata penyemangatnya
semenjak kemarin gue dikabarkan kematian kakak gue itu.
“Makasi, Capt. Maaf jadi ngerepotin. Oh ya, tolong diingat-ingat yang saya
katakan barusan. Jangan pernah menyesal karena telah memilih seseorang. Captain seharusnya menyesal karena tidak
bisa membahagiakan seseorang yang telah Captain
pilih. Dan kebahagiaan tidak selamanya didapat dari uang. Klise sekali memang,
tapi bagi saya, itulah kenyataannya,”
Gue melambai ke arah Captain Gusti dan berjalan keluar menuju
pesawat. Karena gue menggunakan maskapai tempat gue bekerja, ritual ‘lebaran’
pun harus gue lakukan even gue
sekarang berstatus sebagai penumpang.
“Selamat
pagi, Mbak. Saya Angkasa Nandakita batch 125, saya ikutan ya Mbak.”
“Oh, selamat pagi. Silahkan,” sambut
Mbak Rachma dengan ramah. Gue memang belum pernah terbang dengan Mbak Rachma,
tapi kami semua mengenalnya. Seorang senior dengan ID tahun 2004 dan hati
sebaik malaikat. Ia begitu terkenal karena kebaikan hatinya terhadap junior.
Selain itu, ia pernah membantu kelahiran seorang bayi di pesawat beberapa tahun
silam, dan bayi itu selamat hingga sekarang. Mbak Rachma adalah sosok idola
bagi kita semua.
Kemudian gue menyapa semua pramugari
yang merupakan senior-senior gue. Tentu aja senior, karena gue mengawali karir
gue sebagai pramugari dari tahun 2012 awal sementara mereka adalah crew yang no ID-nya aja dimulai dengan
tahun 2010. Gue duduk di dekat jendela. Menatap ke apron (parkiran pesawat) dan pandangan gue mulai kosong.
Kak
Bumi adalah seorang kakak, sekaligus ayah, sahabat, bahkan musuh terbesar gue.
Gue inget, dia yang nganter gue imunisasi, gue inget dia ngembat jatah bubur
kacang ijo yang seharusnya buat gue. Gue inget, gue mencret di celana waktu
digendong dia dan dia lari pontang-panting pengen muntah.
Gue juga inget Kak Bumi suka ngajarin gue berantem, dia memastikan gue tumbuh
jadi cewek kuat, bukan yang bisanya Cuma nangis dan ngadu ke orangtua. Itu
sebabnya waktu SD, gue lebih milih nonjokin temen cowok gue, Rangga, sampe
berdarah-darah karena berani buka-buka rok merah dan ngintipin dalaman gue
daripada ngadu ke guru.
Setiap kali ada pasar malam, Kak Bumi dan Kak Padmi, istrinya sekarang, bakalan
ngajakin gue jalan-jalan kesana. Dan gue tau, kalo kemarin-kemarinnya dia
pulang malem, capek dan ngantuk seharian, dia pasti baru pulang kerja sambilan
di konser-konser sebagai staff audio atau bahkan hanya sebagai tukang gulung
kabel. Itu ia lakukan untuk bisa membelikan gue tas baru, atau sepatu olahraga
baru karena ibu tidak bisa membelikannya buat gue.
Ibu gue adalah seorang guru yang selalu menuntut gue untuk rajin belajar, Tapi
Kak Bumi adalah satu-satunya orang yang selalu menekankan kepada gue bahwa
pelajaran akademik bukanlah harga mati. Pengalaman hidup kita juga terdapat di
dunia luar, terlepas dari teori Einstein atau metode Phytagoras. Maka dari itu
gue selalu memanfaatkan kesempatan positif apapun yang ada. Jadi SPG, jadi
model, jadi penyiar, jadi presenter, jadi sutradara, buat naskah, buat film
pendek, semuanya berani gue coba. Gak semua orang berani mencoba, karena
terlalu fokus akan hasil akhirnya. Tapi Kak Bumi selalu mengajarkan gue bahwa
hasil akhir bukanlah yang terpenting, prosesnya adalah ilmu termahal yang bisa
kita dapatkan secara gratis asalkan kita berani mencoba dan mau berusaha.
Begitu banyak hal yang telah Kak Bumi ajarkan kepada gue. Sewaktu mutusin jadi
pramugaripun, Kak Bumi adalah salah satu orang yang mensupport gue, baik dari
mental maupun dana. Setiap berkabar, dia selalu dengerin cerita dan keluhan
gue, dan gue selalu inget nasehatnya setiap gue bilang ga tahan dengan profesi
ini, “Inget Dek, perjalanan kamu gak mudah. Gak gratis. Dan kita bukan orang
kaya, tanpa perlu hidup susah seperti sekarang, sudah banjir duit di rumah.
Hidup kita keras, Kak Bumi yakin kamu hanya sedang lemah, bukan ingin
menyerah,” dan kata-kata itu selalu menjadi spirit-booster buat gue
setiap kali gue ngerasa capek, dan pengen berhenti.
Moment terakhir gue adalah waktu Kak Bumi nganter gue ke Jakarta. Perjalanan 2
hari 1 malam itu kami habiskan dengan mengobrol. Gue inget, pesen terakhir Kak
Bumi sebelum menitipkan gue di Bogor,
“Kamu
udah ga tinggal di Bali lagi sekarang, tapi inget, kamu selamanya membawa nama
Bali, jiwa dan darahmu akan selalu seperti itu.” Gue ngerti arah pembicaraan
itu menuju kemana, Kak Bumi takut gue ketemu pasangan beda suku, ras dan agama
dan akhirnya memutuskan untuk ‘pindah’.
Sebelum nyampe rumah keluarga gue di Bogor, kita mampir di Alfamart terdekat,
“Dek, beliin rokok donk, dunhill putih. Duitnya abis, belum sempat ke ATM.
Terakhir deh minta dibeliin rokok, gak minta lagi nanti.”
Sumpah demi apapun, gue ga tau kalo kalimat
terakhirnya ini adalah pertanda. Kak Bumi setelah itu memang berhenti
merokok. Dan Kak Bumi suka menitipkan anak-istrinya pada gue, kalau gue sukses
nanti. Kak Bumi meninggal akibat serangan jantung. Penyakit yang disembunyikan
bertahun-tahun dari kami, keluarganya.
Gue gak bakal lupain hari ini. Hari dimana gue kehilangan satu-satunya orang
yang paling mengerti gue, orang yang gue sayangi lebih dari apapun. Sesek
banget, gue belum bisa mengabdi, gue belum bisa buat kakak gue bangga, gue
belum bisa membahagiakan dia, dan dia udah pergi ke tempat yang paling susah
gue hampiri.
Gue
menghapus airmata gue dan memakai sabuk pengaman. Setelah membaca doa, gue
bergumam, ‘Terimakasih untuk segalanya, Bli. Untuk segala ilmu, kasih
sayang, nasihat dan pengalaman hidup yang tidak akan terbeli oleh orang terkaya
dimanapun. Terimakasih telah memberikannya secara Cuma-Cuma, tapi akan
kupastikan, mereka tidak akan terbuang percuma. Rest in peace there, my best
brother ever.’
Komentar