Nandakita : Pasir Bercerita
Mas
Rendra nganterin gue sampai ke depan kamar. Mbak Arin, Mbak Jea dan Mbak Shandy
ternyata sudah menunggu di kamar. Padahal harusnya Mbak Jea tidur sekamar
dengan Mbak Shandy, dan gue tidur dengan Mbak Arin. Sementara Mbak Silvi tidur
di kamar yang single bed.
“Met tidur ya, Ta. Nanti BBM gue ya,
kalo mau sih,” kata Mas Rendra sambil mengacak pelan poniku sebelum akhirnya
kembali ke kamarnya. Begitu gue menutup pintu, mereka yang ternyata melihat
adegan tadi langsung memborong gue dengan pertanyaan.
“Gimana, Ta? Tadi makan dimana? Masa
makan sate padang doank selama itu? 4 jam loh!” sembur Mbak Shandy semangat.
“Iya tuh, lagian masa pilot Cuma
ngajak makan pinggir jalan. Wah, cowok ga modal tuh Mas Rendra! Harusnya tadi
kamu pake dress aja, jadi Mas Rendra
terpaksa ngajak lo dinner di
restoran,” tambah Mbak Jea.
“Sabar, sih. Biarin Kita nafas dulu.
Jadi gimana, Ta? Kita udah nungguin cerita kamu daritadi nih,” Mbak Arin
melerai mereka dan membiarkan gue bernafas untuk beberapa detik sebelum
akhirnya menceritakan semua. Kami memang menghabiskan 4 jam di warung sate
padang, dimana gue memesan 2 porsi sate padang+3 ketupat, dan membeli 2 pancake
durian yang dijajakan di pinggir jalan. Tapi 4 jam itu berlalu tanpa terasa
karena kami mengobrol banyak hal. Dimulai dari cerita pengalaman gue hingga
menjadi pramugari, dan pengalamannya hingga menjadi seorang pilot.
“Jadi Mas Rendra pernah jadi supir
taxi?” Mbak Arin kaget sebentar, kemudian melanjutkan,”bukannya dia anak orang
kaya? Adiknya aja Miss Indonesia!” tambah Mbak Arin yang bikin kita semua
tambah kaget, apalagi gue, karena Mas Rendra gak pernah cerita tentang adiknya
yang menjadi Miss Indonesia. “Dulu gue pernah terbang sama dia, dan waktu gue
gak sengaja liat wallpaper BBnya, foto dia bareng cewek, dia langsung bilang
kalo itu adik perempuannya. Gue familiar
sama mukanya. Pas diinget-inget, ternyata dia mantan Miss Indonesia.”
“Gue malah ga tau, Mbak. Yang gue
tau, sekolah pilotnya terputus karena faktor ekonomi, makanya dia terpaksa gak
lanjutin sekolahnya, dan melamar menjadi staff
groundhandling Selain itu, Mas
Rendra Cuma cerita tentang rasa sayangnya kepada adiknya itu.”
“Pantes ya, Mas Rendra ganteng. Adiknya
aja Miss Indonesia. Eh, tapi dia udah punya istri belum? Atau jangan-jangan
udah punya mantan yang ternyata senior kita,” kata Mbak Jea mengingatkan.
“Aku sih gak nanya, dan selain itu
Mas Rendra gak pernah cerita. Gak penting juga, Mbak. Aku sama Mas Rendra Cuma
ngobrol sebagai temen kok, gak lebih. Jadi gak masalah Mas Rendra punya istri
atau engga, punya pacar senior atau mantan senior disini. Aku tau
batasannya,lagipula agamaku sangat menjunjung tinggi hukum karma.”
“Tenang aja, Ta. Mas Rendra gak
punya istri ataupun mantan senior disini. Udah dua kali gue terbang sama dia
waktu dia masih U/T, tapi dia gak pernah naksir ataupun seramah ini sama
pramugari sampe ngajakin makan bareng, berduaan pula. Tipe idaman cewek banget
pokoknya!” Mbak Arin menjelaskan penuh promosi.
“Ah, tapi tetep aja beda agama, beda
umur, beda adat. Emang hubungan cukup pake cinta? Kalau perbedaan sebanyak
itu, jelas namanya penghalang, Mbak,” gue
menarik selimut menutupi setengah badanku. Mbak Shandy dan Mbak Jea yang sebenarnya
ingin mengobrol lebih lama dengan enggan menyeret tubuhnya kembali ke kamar
mereka. Mbak Arin bergegas naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya ke
arahku.
“Kadang perbedaan bukanlah
penghalang, Ta. Pernah bayangin kalau orang-orang di dunia semuanya sama?“ ucap
Mbak Arin sebelum akhirnya tertidur pulas.
***
Gue meletakkan sendok dan garpu gue
di atas piring, tanda gue sudah selesai menyantap sarapan. Gue menghabiskan 5
buah dimsum, 1 piring penuh nasi goreng lengkap dengan ayam dan telurnya. 1
gelas susu dan 1 gelas jus jambu, ditambah potongan buah nanas, semangka dan
melon. Ternyata enak banget jadi pramugari, bisa makan sehat dan enak seperti
ini di hotel berbintang.
“Lo makannya banyak juga, ya?”
celetuk Captain Aji. “Lo ngingetin
gue sama Darla, anak cewek gue yang masih SD. Mirip banget sama elo, makannya
juga banyak, tapi gak bisa gendut.”
“Iya, Capt. Kapan lagi nikmatin makanan enak kaya gini? Kalo di
apartemen, makannya gak bakal seenak dan sesehat ini,” kata gue polos. Mereka
tertawa, dan Mas Rendra yang duduk di sampingku mengelus pelan rambutku yang
sudah disanggul.
“Iya nih, Capt. Kemarin aja makan sate padang saingan sama kuntilanak, dia makannya
banyak banget!” kata Mas Rendra sambil mengarahkan dagunya ke arah gue.
“Yee, yang penting kan gue bayar
sendiri!” balas gue gak mau kalah.
“Siapa juga yang mau bayarin kamu?
Bangkrut gue!”
“Halah, kemarin rebut-rebutan bayarin!
Sekarang bilang gak mau bayarin, ah Mas Rendra nih! Gak konsisten!” ngerasa gak
bisa ngelawan gue, Mas Rendra Cuma mencubit pipiku. Kami asyik bercanda,
sementara yang lain memandangi kami sambil tersenyum, kecuali Mbak Silvi
tentunya.
“Cieh, kayanya bakal ada yang jadian nih! Eh,
bentar. Orang rumah nelfon. Gue tunggu d lobby ya,” Captain Aji menggoda gue sambil berjalan menjauhi kami. Sepertinya
yang menelfon adalah istri dan anak-anaknya di rumah. Tapi untuk pertama kalinya
gue melihat Captain Aji tersenyum
bahagia.
Ketika kami semua berkumpul di lobby
dan mobil hotel yang akan mengantar kami kembali ke Bandara Polonia Medan sudah
siap, kami segera masuk ke dalam mobil. Mbak Arin sengaja menyuruhku dan Mas
Rendra masuk lebih dulu agar bisa duduk berdua di belakang. Tanpa diduga, Mbak
Silvi menyusul di belakang sehingga kami duduk bertiga di belakang. Gue
sebenarnya gak masalah Mbak Silvi duduk bareng gue, bukan karena gue bisa duduk
lebih dekat dengan Mas Rendra, tapi gue jadi risih sendiri melihat Mbak Silvi
menyender di bahu Mas Rendra.
“Mas kemarin cari makan kok gak
ngajak gue sih?” tanya Mbak Silvi manja. Mas Rendra kelihatan kesal tapi tidak
menjauhkan kepala Mbak Silvi dari bahunya.
“Soalnya gue pengen makan bareng
Kita doank. Captain aja gak gue
ajakin kok, apalagi elo!” katanya ketus. Mbak Silvi menegakkan kepalanya karena
merasa ditampar dengan jawaban Mas Rendra. Gue berusaha cuek dengan memalingkan
kepala kearah jendela, walaupun dalam hati gue ngakak keras-keras.
“Gue juga kemarin jalan sama Captain? Iya kan, Capt?” kata Mbak Silvi yang mungkin niatnya mau pamer.
“Jalan? Kemana emang? Perasaan kita
di kamar aja deh,” Captain
ikut-ikutan mempermalukan Mbak Silvi hingga mukanya jadi merah padam. Mbak
Silvi memaki pelan ‘anjing’ dan melengos dengan kesal tingkat dewa.
Kami sampai di pesawat dan melakukan
persiapan seperti biasa. Gue tidak lagi melakukan kesalahan sesering kemarin,
sehingga mengurangi frekuensi Mbak Arin mengomel. Walaupun sebaik ibu peri,
tetap saja kalau gue melakukan kesalahan, ia akan mengomel, membuatku enggan
untuk mengulangi kesalahanku lagi. Hari ini kami berangkat dari Medan menuju
Jakarta kemudian dilanjutkan ke Surabaya dan berakhir di Makassar.
Bandar Udara Internasional Sultan
Hassanudin menurut gue adalah Bandara paling keren di Indonesia. Desain
interior dan exteriornya mewah dan memang sangat bersih. Mungkin memang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan Bandara di Medan. Gue memang belum pernah
melihat bandara di semua kota di Indonesia, tapi menurutku, Bandara di Makassar
ini memang asli keren!
Di Makassar, Mas Rendra mengajakku
mencoba Coto Gagak. Gue kira itu adalah Coto yang terbuat dari daging burung
gagak. Ternyata bukan, melainkan Coto Makassar yang beralamat di jalan Gagak.
Coto ini memang terkenal di antara pramugari dan pilot semua airlines Indonesia. Gue yang memang suka
wisata kuliner langsung mengiyakan. Lagi-lagi gue hanya pergi dengan Mas
Rendra. Mbak Arin, Mbak Shandy dan Mbak Jea bersekongkol untuk menjodohkan kami
berdua, padahal gue tau persis mereka juga mau ke Coto Gagak, tapi mereka
sengaja membiarkan kami pergi berdua lebih dulu.
Kami pergi ke Coto Gagak dengan taxi
yang dipesan di hotel. Mas Rendra memesan 1 porsi coto berisi daging dan pipi,
sementara gue ingin memesan 2 porsi coto yang hanya berisi daging tapi Mas
Rendra melarang karena masih ingin melanjutkan wisata kuliner kami di Makassar.
Kemudian gue tidak sengaja menumpahkan kecap di kaus kesayangan Mas Rendra. Mas
Rendra gemas dan mencubit pipi gue, sementara gue tertawa tanpa merasa bersalah
sedikitpun.
Kami melanjutkan perjalanan ke Baso
Ati Raja yang memang terkenal di Makassar. Basonya memang enak, walaupun gue
tidak menemukan keistimewaannya karena menurutku standar seperti Baso di
belahan dunia manapun. Gue kekenyangan tapi tetap tidak menolak ketika Mas
Rendra mengajak untuk mencoba pisang goreng nugget di dekat Mall Panakukang
Makassar dan mencoba pisang jampea. Ternyata rasanya tidak mengecewakan! Gue
merekomendasikan pisang goreng nugget dengan baluran coklat+keju+palm sugar. Gue benar-benar kekenyangan
dan mulai mengantuk.
“Dasar babi, habis makan langsung
tidur!” kata Mas Rendra sambil mengacak-ngacak rambut gue. Ah, Mas Rendra memang
suka banget mengacak rambut gue seperti ini.
“Biarin sih, Mas. Kok Mas sewot?
Yee!” balasku gak mau kalah. Mas Rendra tersenyum dan kemudian mencium kening
gue. Hening.
“Eh, maaf ya. Kebawa perasaan,” kata
Mas Rendra gak enak. Gue jadi salah tingkah dan gak tau mesti jawab apa. “Biar
gue anter ke depan kamar lo.”
Gue menurut dan berjalan di belakang
Mas Rendra yang rupanya hapal dengan nomor kamarku. Gue buru-buru masuk kamar
tanpa berpamitan dengan Mas Rendra. Hatiku deg-degan gak karuan setelah ciuman
romantis di kening barusan. Oh-My-Jin,
gue bener-bener falling in love!
“I’ve
died everyday waiting for you… Darling don’t be afraid I’ve love you, for a
thousand years… I love you for a thousand more,” –Christina Perri.
***
Gak kerasa, gue udah di pesawat lagi
untuk melanjutkan perjalanan dari Makassar menuju Surabaya, kemudian Jakarta,
lanjut ke Jogja dan akhirnya berakhir di Denpasar. Keluargaku sudah menunggu di
rumah saudaraku di Denpasar, karena rumah asliku sebenarnya berada di Singaraja
yang 2 jam perjalanan dari Denpasar. Gue sudah berjanji untuk mengunjungi
mereka sebentar disana. Memang hanya sebentar karena mereka harus segera
kembali ke Singaraja. Mas Rendra merengek, minta gue untuk mengajaknya.
Sebenarnya gue males najakin dia, karena itu berarti gue terpaksa harus mengenalkannya
kepada keluarga gue. Tapi seolah tau isi pikiranku, ia segera menjelaskan
maksudnya.
“Gue cuman pengen ikut jalan-jalan
kok. Masa di Bali gak jalan-jalan? Lagipula kan lo bisa ngenalin gue sebagai
temen atau rekan kerja, atau apa aja? Masa iya temenan gak boleh main-main ke
rumah? Gue janji gak ganggu deh,”
Gue akhirnya membiarkan Mas Rendra
ikut bersama gue. Gue sebenarnya mati-matian menutupi kegugupan gue menghadapi
Mas Rendra. Gue gak mau Mas Rendra tau kalo gue benar-benar menyukainya. Padahal
Mas Rendra dengan terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya sama gue. Dia
memang gak pernah bilang ‘gue sayang sama
elo’ atau mengungkapanya dengan kata-kata lain, tapi ia menunjukkannya. Ia
menunjukkannya dari setiap sentuhannya, dari sorot matanya, dari perlakuannya.
Tapi tentu saja gak menutup kemungkinan kalo gue hanya salah tanggap.
Keluarga gue menerima Mas Rendra
dengan baik. Gue memperkenalkannya sebagai rekan kerja, walaupun mereka
memasang wajah ‘ah, masa sih?’ tapi
toh mereka tidak membahasnya di depan Mas Rendra. Sebelum gue pamit pulang, gue
menyempatkan diri untuk bersembahyang di kamar suci. Gue berdoa semoga gue dan
orang-orang yang kukasihi selalu berada dalam lindungan Tuhan.Tidak lupa gue
menyanyikan kidung-kidung suci yang gue persembahkan untuk leluhur gue di alam
sana.
Begitu keluar dari kamar suci, Ibuku
langsung memberondongku dengan pertanyaan.
“Mas Rendra itu siapamu, Ta?” sambut
Ibu sambil nyodorin segelas susu. Kebiasaan Ibu nih, selalu mencekoki dengan
susu walaupun gue sudah sebesar ini.
“Temen kok, Bu. Dia itu co-pilot Kita, semacem asistennya
Pilot.”
“Uling
ije? Kude umurne?” (Dari mana?
Umurnya berapa?)
“Orang Bandung, Bu. Udah 33 tahun.
September nanti 34 tahun.”
“Oalah, muslim ya? Aduh, Ta! Ngapain
kamu pacaran sama yang beda agama? Nanti ujung-ujungnya kamu pasti disuruh
pindah keagama dia!”
“Iya, Bu. Kita tau kok, Kak Bumi
udah pernah nasihatin Kita sebelum Kita pergi ke Jakarta. Kita gak ada pikiran
buat pindah agama kok. Lagipula Kita kan udah bilang, kami Cuma temenan. Gak
boleh juga ya, Bu?”
“Kalo temenan aja ya boleh, Ta. Tapi
masa kamu gak nyadar, si Rendra itu naksir sama kamu. Dia kan ganteng, ditambah
lagi dia tuh pilot. Nanti kamu pasti naksir sama dia,” Ibu terlihat sedih.
“Tenang, Bu. Kita gak tertarik sama
bar emasnya. Udah, Ibu tenang aja. Kita gak akan ngecewain kalian dengan lebih
memilih orang yang baru Kita kenal dibanding orang yang udah membesarkan Kita,”
tutup gue akhirnya. Ibu sepertinya belum puas untuk mengobrol denganku, tapi gue
ngerasa ga enak karena sudah membuat Mas Rendra menunggu lama.
“Mas, aku ganti baju dulu ya?” Mas
Rendra melihatku agak terpana.”Kenapa Mas? Kok bengong?”
“Ngga, Ta. Itu… Kamu… Bajunya
cantik… Maksud gue, eh gue, kamu cantik pake baju itu,” jawab Mas Rendra
tergagap.
“Ehm!” tiba-tiba Kak Bumi yang
daritadi mengobrol dengan Mas Rendra berdeham kencang seolah menyadarkan kami
tentang keberadaannya. Gue Cuma tersenyum sementara Mas Rendra malah salah
tingkah.
Gue kembali dengan baju jalanku, baju
turtle neck berwarna coklat muda,
celana jeans panjang semata kaki dan sepatu kets. Para pramugari memang
diwajibkan untuk memakai baju yang sopan saat berada di outbase atau di luar daerah. Gue dan Mas Rendra berpamitan dengan
keluarga gue dan naik taxi yang kami order via telfon.
Awalnya gue ingin langsung kembali ke hotel, tapi Mas Rendra
ngajakin gue ke pantai Kuta untuk melihat sunset. Gue segera meyetujuinya
karena indahnya sunset di Bali dipercaya bisa menghilangkan stess.
“Wah, rame banget!” kata gue ketika
akhirnya kita sampai di Pantai Kuta. Seperti biasa, Pantai Kuta dipadati tidak
hanya dengan wisatawan asing ataupun wisatawan lokal, bahkan orang Balipun
masih senang berwisata disana.
“Kesana yuk!” ajak Mas Rendra sambil
menunjuk ke satu arah. Kami berjalan dan mencari tempat yang agak sepi dan agak
dekat dengan garis laut. Gue menenteng sepatu karena kemasukan pasir. Kami
duduk di pasir dan asyik menikmati matahari yang nyaris tenggelam.
“Kamu tau ga, kalo semua orang ke
pantai karena laut, atau karena sunset, aku justru karena menyukai pasirnya. Aku
suka pasir pantai. Kadang aku ke pantai sendiri dan curhat di atas pasir,
dengan harapan air laut akan menghapusnya. Aku mendoktrin diriku sendiri dan
memaksa diriku untuk percaya, air laut akan menghapus semua masalah, semua
kesedihanku, yang sudah aku tumpahkan di atasnya.
“Aku inget, waktu orangtuaku gak
bisa beliin aku tas, baju dan sepatu baru setiap tahun ajaran baru kaya
temen-temen aku lainnya. Aku sedih banget. Aku cerita ke pasir, dan nanya
kenapa aku lahir dari keluarga yang gak mampu? Banyak ‘kenapa’ yang aku
tanyain. Setelah puas, aku biarin air laut ngehapus ceritaku.
“Setelah itu aku bersyukur, walaupun
gak mampu, tapi keluargaku sangat demokratis. Buktinya mereka ngasi ijin dan
ngedukung keputusanku, meskipun dengan berat hati. Mereka membiarkan aku
mencoba semua hal, mereka bilang, ‘carilah pengalaman hidup sebanyak-banyaknya.
Gunakan semua kesempatan yang ada’. Aku…,” aku diam sebentar. Aku berusaha
menahan buliran air mata yang memaksa untuk jatuh. “Aku bangga menjadi bagian
dari mereka. Aku sayang banget sama mereka, lebih dari apapun.”
Mas Rendra memelukku dan kubiarkan
kepalaku bersandar didadanya. Mas Rendra lagi-lagi menciumku keningku.
“Menangislah. Wanita hebat juga berhak menangis,” ujarnya sambil mengeratkan
pelukannya.
“Kamu ya? Kadang bisa semanja anak
TK, kadang bisa sedewasa ibu muda. Kadang bisa cerdas dan bijak, kadang malah
jadi orang paling idiot sejagat raya. Kamu tuh menarik banget, tau ga? Bahkan
dari pertama kali kita ketemu, kamu sudah menarikku untuk mengenalimu. Aku…
ehm, aku…” Mas Rendra berdehem dan kemudian melanjutkan, “aku mencintaimu.”
Hening.
“Tapi Mas, aku-“
“Gak papa. Aku ngerti. Kamu gak usah
jawab apa-apa. Aku juga gak minta apa-apa. Aku Cuma menyatakan apa yang aku
rasain. Urusan kamu gak ngerasain hal yang sama ataupun malah ngerasain yang
sama, itu belakangan aja. Kamu pikirin dulu, now let me love you by my own way,” potong Mas Rendra sembari
menggambar sesuatu di atas pasir. “Liat! Ini aku, ini kamu, dan ini anak-anak
kita. Ini keluarga. Ini bahagia.”
Gue mendadak lupa dengan janji gue
ke Ibu untuk tidak menjatuhkan hati pada Mas Rendra. Mas Rendra tidak hanya
telah mendapatkan hati gue. Gue tau, saat itu juga Mas Rendra telah menjadi
masa depan gue. Matahari terbenam. Mas Rendra mendekat. Semakin dekat. Bibir
kami bersentuhan dan saling bertautan. Itu adalah ciuman terhangat yang sangat gue
idam-idamkan.
“Aku benar-benar jatuh cinta padamu,
Angkasa Nandakita.”
Komentar
kalo aku yg jadi pramugari terus nemu manusia jenis silvi ma ibu yg nyebelin itu, udah aku ikat di lavatory dah...