Narendra : No, It Isn't
29
September 2012
Ini
hari pertama setelah aku memutuskan untuk menolak niat baikmu. Aku harus
membiasakan diri untuk tidak memikirkanmu seharian penuh. Beberapa kali aku
harus benar-benar menahan diriku untuk tidak menghubungimu, mengatakan bahwa
aku menyesali keputusanku dan ingin menariknya kembali. Sakit banget, Mas. Ada
penyanyi dangdut yang bilang lebih enak sakit gigi daripada sakit hati, itu
benar Mas. Aku merasakannya sekarang. Bahkan recent played di MP3-ku semuanya
bergenre dangdut. Betapa penyakit galau itu bisa membanting selera musik
seseorang.
Tapi aku yakin, ini tidak akan
berlangsung lama. Aku cukup sering patah hati, dan aku selalu bisa melaluinya
tanpa perlu menelan Baygon atau menyayat pergelangan tanganku. I’m sure, time
will teach me how to live with the pain. I love u ,my Narendra Ekananda.
7
Oktober 2012
1 minggu, dan waktu masih belum
berkena mengajariku untuk tetap hidup bersama luka ini. Aku menjalani
penerbangan seperti biasa. Aku tahu, pramugari bukanlah duniaku. Aku mati-matian
menahan godaan dan berusaha bertahan meskipun pergaulannya berusaha keras
mengusirku. Aku ingat, kamu pernah mengatakan bahwa aku berbeda. Aku akan
membuktikannya, Mas. Aku memang berbeda.
Mas, apa Mas kesulitan melupakan aku
di sana? Apa Mas selalu memikirkan aku? Apa Mas masih mencintaiku? Aku
berharap, meskipun wanita yang akan hidup bersamamu nantinya bukanlah aku, tapi
aku tetap memiliki tempat tersendiri di hatimu.
Aku ingin sekali bertemu dengan
Putri, memberinya ucapan selamat, karena mendapatkan cinta dari pria sepertimu.
Kamu tidak pernah mengatakannya, tapi kamu selalu menunjukkan padaku, bahwa
kamu jatuh cinta padaku di setiap harinya. Memiliki pria yang memiliki cinta
seindah itu adalah kebahagiaan terbesar bagi seorang wanita. So, congratulation
Putri.
22
Oktober 2013
Minggu ketiga.
Aku lelah menangis, jadi aku menghabiskan hari-hari dengan berkhayal.
Mengkhayalkan diriku kalau saja aku yang menjadi istrimu. Well, aku memang
selalu berkata bahwa aku tidak siap untuk menjadi istrimu. Tapi setelah 3
minggu ini aku sadar, aku lebih tidak siap lagi untuk kehilanganmu.
Aku membayangkan
rumah kita nantinya. Sebuah rumah mungil di tepi pantai dengan halaman yang
cukup luas dan dipenuhi tanaman yang aku rawat sendiri. Di pagi hari, kita akan
menikmati mentari terbit. Kita menikmati terik mentari dan berjemur dibawahnya
pada siang hari. Dan menikmati sore dengan berciuman tanpa henti berlatar
mentari terbenam. Kita akan bertambah gendut dengan keriput disekeliling mata.
Kita akan bertambah tua bersama. Dan ketika kita nantinya harus menutup mata,
dunia akan melupakan kita. Aku mencintaimu, Narendra.
10
November 2012
Aku bermimpi. Setelah 5 minggu, aku
akhirnya memimpikanmu. Aku menggendong anak kecil yang cantik sekali.
Nariswari, gadis kecil kita dengan mata sayumu, alis dan rambut yang tebal
seperti milikmu. Dua lesung pipit di pipi kiri dan kanan persis seperti aku.
Ah, betapa cantiknya Nariswari kita, Mas.
Kemudian, kamu
berdiri dihadapanku dengan gagah dalam balutan seragam dinasmu. Berpamitan
untuk berangkat, menerbangkan burung besi di angkasa sana. Nari menangis dan
menarik dasimu, memaksa ikut. Kamu mencium keningku dan kening Nari penuh
cinta.
“Nari kan pingin
liat Mbak Pramugari, Yah!”
“Itu loh, Ibumu
kan Mbak Pramugari juga.”
“Bukan! Ibu itu
penulis, kerjanya di depan laptop. Kalo Mbak Pramugari yang kerjanya di
pesawat, bareng Ayah.”
Aku tiba-tiba
terbangun dan mendapati semuanya hilang. Kamu,Nari, latar rumah, semuanya
hilang. Tunggu, ada yang masih belum hilang, Mas. Cinta.
Gue membaca surat-surat yang ditulis
Kita satu-persatu. Gue gak nyangka, perasaan Kita sedalam itu ke gue. Setelah
penolakan itu, gue memang cukup bisa melupakan Kita. Gue sibuk terbang, dan
memang belum sekalipun pernah bertemu lagi dengannya. Ditambah lagi, gue sekarang
emang lagi memberi perhatian lebih untuk Putri dan Irnia. Perasaan gue ke Putri
tiga tahun yang lalu, perlahan namun pasti muncul kembali. Irnia yang awalnya
menolak gue, sekarang mulai memanggil gue ‘Ayah’ dan kadang gak mau makan kalau
belum mendengar suara gue di telfon. Gue mulai menikmati masa-masa ini sehingga
gue dengan mudah melupakan Kita.
“Trus, maksud kalian nunjukin ini
apa? Kan kalian tau, Kita yang nolak gue. Gue gak bisa maksain perasaan orang.”
ketiga sahabat Kita itu tertunduk.
“Mas gak sadar? Kita tuh bener-bener
cinta sama Mas Rendra. Kami melakukan ini semua untuk mempersatukan kalian.
Kita salah, dengan mengambil keputusan menolak Mas karena hatinya begitu
mencintai Mas Rendra. Kita terlalu takut harus pindah agama,” jawab Nindya
akhirnya.
“Tapi itu konsekuensi dia kalau
emang memilih gue. Dan karena dia lebih memilih untuk mempertahankan agamanya.
Ya sudah,” gue mengakhiri pembicaraan dan memanggil waiter untuk meminta bill.
“Aku gak nyangka, Kita terlalu
membual. Kita bilang, Mas adalah laki-laki yang memiliki cinta yang sempurna.
Kayanya aku harus bilang ke Kita, Mas tidak sehebat itu. Mas dimata aku, gak
lebih dari seseorang yang hadir dan pergi dalam hidup Kita tanpa pernah
berusaha berjuang. Berjuang demi kebahagiaan Mas dan juga Kita. Berjuang untuk
membuktikan, perbedaan bukanlah penghalang. Justru ego tinggi Mas-lah
penghalangnya.
“Salah besar kalau Mas memaksa Kita
untuk pindah agama! Agama itu kepercayaan seseorang. Pindah agama memang tidak
dilarang, karena agama adalah warisan dari orangtua masing-masing. Keputusan
Kita untuk mempertahankan kepercayaannya itu benar. Kalaupun ia nantinya
memutuskan untuk pindah ke Islam, harusnya bukan karena menikah, kemudian
terpaksa ikut agama suami. Harusnya karena memang Islam memanggil hatinya untuk
menjadi umat-Nya.
“Tuhan Cuma satu, Mas. Ambillah
contoh seperti ini, matahari selalu terbit dari timur di setiap harinya kan?
Kalau Tuhan berbeda-beda, mungkin hari ini matahari terbit dari tenggara dan
tenggelam di barat daya. Besok matahari terbit jam 6 sore dan tenggelam jam 6
pagi. Menurutku, itu adalah salah satu bukti Tuhan kita Cuma satu.
“Semua agama mengajarkan kita untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, namun dengan cara dan ajaran yang berbeda. Agama
itu gak bisa dipaksakan, Mas. Aku bangga memiliki sahabat seperti Kita, ia
begitu teguh bertahan dengan kepercayaannya. Dia mencintai Tuhannya lebih dari
apapun.
“Baiklah, terima kasih sudah
menyempatkan diri untuk bertemu kami. Untuk sekedar Mas ketahui, kakak Kita meninggal
kemarin malam. Pagi tadi dia berangkat pulang ke Bali dan akan menetap disana
untuk menjaga keluarganya. Selamat siang dan selamat beristirahat,” kalimat
demi kalimat yang dilontarkan Gisa benar-benar menampar gue. Di hati kecil gue,
gue mengiyakan semua perkataan Gisa. Gue memang pecundang. Gue gak habis pikir
kenapa gue bisa menjadikan agama sebagai syarat. Gue melangkah gontai sambil
menyeret koper ke parkiran. Sapaan driver gue acuhkan begitu saja.
“Mas, udah sampe!” Mas Ian, driver
gue kali ini membangunkan gue halus. Hm, gue sebenernya gak tertidur, tapi gue
melamun sepanjang jalan dengan mata terpejam. Gue mikirin Kita. Setelah 1 bulan
ini, akhirnya gue mikirin dia lagi.
“Oh, ok Mas,” Gue menyelipkan
lembaran hijau bertuliskan 20.000 rupiah ke genggaman Mas Ian. “Makasi Mas Ian.
Hati-hati di jalan.”
Gue masuk ke dalam rumah tanpa
tergoda sedikitpun untuk makan siang meskipun aroma masakan Mbak Hasni sudah
masuk ke indra penciuman gue dan menggelitik perut.
“Kamu sudah pulang, le? Kok tumben siang-siang gini udah pulang?”
suara Bude mengagetkan gue. Gak biasanya juga Bude siang-siang begini masih
berada di rumah.
“Iya, Bude. Tadi Cuma
Makassar-Jakarta. 1 sektor doank. Bude ga ngantor?” gue menarik kursi di meja
makan dan terduduk lemas di atasnya.
“1 sektor tapi kok lemesnya kaya
udah kerja seharian? Iya nih, Bude lagi gak enak badan. Kamu kenapa toh le? Ada yang mau kamu certain ke Bude?”
Bude duduk di samping gue dan menggenggam tangan gue lembut. Bude emang tempat
terbaik untuk bercerita.
“Rendra bingung, Bude. Bude masih
inget gak sama Kita? Cewek yang Rendra ajak kesini waktu Rendra ulang tahun?”
Bude terlihat berusaha mengingat-ingat.
“Yang orang Bali itu bukan? Iya,
iya. Bude inget. Kenapa dia?”
“Rendra cinta sama dia, Bude. Rendra
memang baru kenal dia, tapi Rendra tau, Rendra bener- bener jatuh cinta sama
dia. Rendra pengen nikahin dia. Tapi masalahnya kami beda agama, dan dia
menolak Rendra karena gak mau pindah agama. Sudah sebulan lebih kami lost contact. Selama itu juga, Rendra
dekat kembali sama Putri,” gue sengaja memberi jeda untuk melihat ekspresi Bude
mendengar nama Putri gue sebut kembali.
“Masya
Allah, Rendra! Kamu balikan sama Putri? Putri mantan tunangan kamu itu?
Otakmu kamu taruh dimana toh le?”
seperti yang gue duga, Bude terbelalak kaget dan member respon gak enak.
“Bukan balikan, Bude. Cuma deket
doank, temenan biasa. Kasihan Putri, Bude. Suaminya minta cerai karena mau
nikah lagi, padahal anak mereka udah umur 2 tahunan.”
“Astagfirullah,
kamu masih kasihan sama dia setelah apa yang dia perbuat ke kamu? Ke keluarga
kita? Le, kamu jangan ketipu sama
kepolosan mukanya! Jangan ketipu sama kerudung atau baju ninjanya! Dia itu
cewek ga bener, le! Biar! Biar dia
dicerai sama suaminya! Itu namanya Karma!”
Bude bangkit dan mengambil air minum
dari kulkas, menuangkannya ke 2 gelas, menyodorkan satunya kepadaku, dan
meminum satunya lagi sampai habis. Bude mengurut kening bagian kirinya. Ah,
seharusnya gue emang gak usah cerita tentang Putri ke Bude. Ibu, Bude dan Disty
adalah orang yang paling terpukul dengan kejadian tersebut. Mungkin karena
mereka adalah tipikal wanita yang sangat mengabdi kepada suaminya, mereka
bener-bener ga menyangka, wanita semuslimah Putri tega mengkhianati gue dan
juga mereka.
“Rendra… Bude bukannya ga setuju
kamu pacaran sama Putri ataupun Kita. Tapi mereka berdua gak pantas untuk kamu.
Kita dan Putri mungkin anak yang baik. Tapi kamu harus belajar dari pengalaman
kamu sama Putri. Baik dari luar, belum tentu baik dalamnya. Dulu Putri pernah
brkhianat, bukan berarti dia gak akan mengulanginya.
“Menikah itu bukan perkara mudah, Bude
yakin kamu sangat paham akan hal itu. Menikah itu juga menyatukan dua pihak
keluarga, keluarga kita dan keluarga pasanganmu nantinya. Di Muslim, laki-laki
adalah Imam. Kamu yang berkewajiban membimbing anak dan istrimu nantinya. Tapi
kalau kamu dan Kita berbeda keyakinan, kamu tidak bisa secara penuh menjalankan
kewajibanmu. Pernikahan beda agama memang tidak dilarang, tapi tidak mudah.
Terlalu banyak perbedaan. Menikah itu harusnya sekali dalam seumur hidup, le. Jangan sampai kalian berpisah
ditengah jalan. Dipikirin baik-baik ya,”
Gue merenung. Bude bener….
***
“Yah, bangun donk! Daritadi susah
banget dibangunin! Driver-nya udah
nunggu lama!!” gue membuka mata perlahan. Di depan gue ada anak kecil yang
sibuk dengan bonekanya. Gue mengerjapkan mata, berusaha keras untuk segera
sadar dan mengumpulkan nyawa yang tersebar kemana-mana.
“Pagi, Nari-ku,” gue mengecup kening
Nari, putri kecil gue yang udah mulai sekolah SD itu.
“Pagi Ayah. Kata Bunda, ntar Nari
berangkatnya dianter Ayah kan?” gue bengong. Mana mungkin gue bisa anter Nari,
ini aja gue telat bangun dan harus buru-buru karena ada schedule terbang.
“Bohong, Yah! Nanti Bunda yang anter
Nari! Nari tuh pengen dianter Ayah, tapi bawa-bawa nama Bunda segala! Nari
nakal, ya? Siapa yang ngajarin bohong?” seorang gadis, mm, wanita maksud gue.
Seorang wanita cantik dengan celemeknya masuk ke kamar dan mengecup kening gue
cepat. Sekilas ia menunjukkan senyum penuh kasih sayang, detik berikutnya
matanya kembali melotot dan asik mengomel.
“Ayah buruan mandi! Jangan lama!
Masa penerbangan ratusan orang nanti telat gara-gara Ayah?!” ketika wanita itu
membalikkan badan, gue memeluknya dari belakang.
“Udah ah, Ayah mau ijin aja. Udah
lama Ayah ga anter Nari sekolah, terakhir 6 bulan yang lalu. Lagipula, Ayah
masih kangen istri,” bukannya seneng denger kata-kata manis gue, wanita itu
malah mencolekkan selai nanas ke pipi gue.
“Ayah genit! Bunda kan lagi ngolesin
selai ke roti. Gak ada bolos-bolosan! Buruan mandi!” perintahnya lagi. Gue
melirik Nari, bibirnya melengkung ke bawah dan matanya berlinang air mata.
Begitu ia tahu gue memperhatikannya, tangisnya langsung pecah.
“Huwaaa! Nari kan kangen sama Ayah!
Nari pengen pamer sama temen-temen, Nari juga punya Ayah yang bisa nganter Nari
sekolah. Pokoknya kalo gak di anter Ayah, Nari gak mau sekolah! Huwaaaa,” gue
yang mendengarnya jadi ngerasa bersalah. Saking sibuknya terbang, gue emang gak
pernah bisa buat nganter Nari sekolah. Kalaupun libur, gue memanfaatkannya
dengan mengajak keluarga kecil gue berlibur atau mengunjungi Ibu gue di
Bandung.
“Ayolah, Bun. Sekali ini aja, kamu
tega liat Nari nangis kaya gitu?”
“Anak tuh jangan dibiasain manja,
Yah. Kamu turutin mau Nari sekali, nanti dia bakal kebiasaan. Kamu kan punya
kerjaan, kerjaan kamu nyangkut kepentingan orang banyak. Jangan karena hal
sepele kaya gini kamu ngorbanin kepentingan mereka. Udah, kamu mandi sekarang
trus sholat, trus sarapan. Udah Bunda siapin di meja,” tutup istri gue tegas.
Gue bergegas mandi sambil sesekali
menguping pembicaraan Nari dan Bundanya.
“Pokoknya Nari maunya Cuma Ayah yang
anterin sekolah!”
“NARI! Kalo masih bandel, Bunda
kurung kamu di kamar mandi! Kamu kira Bunda ga tau, kamu emang gak mau sekolah
karena sekarang pelajaran olahraga?! Kamu ga mau sekolah karena gak suka
olahraga, kan? Ga usah boongin Bunda! Pake sepatu kamu sekarang!” buset deh,
gue dikibulin anak gue sendiri. Gue kira anak gue emang segitu kangennya sama
gue sampe nangis-nangis minta dianter
sekolah. Gue terkekeh geli.
“Wah, Nari nakal ya? Ayo, nurut sama
Bunda,” kata gue sambil berusaha menahan tawa. Gue memakai seragam yang sudah
disetrika rapi oleh istri gue. Gue meraba seragam gue. Ada cinta istri gue
disana.
Setelah berpakaian lengkap. Gue
mengambil sajadah dari lemari dan merentangkannya di atas lantai kamar gue.
Usai sholat subuh, gue masuk ke dapur dan menemukan segelas susu dan 2 potong
roti di atas meja. Sementara istri gue menyalakan korek api untuk membakar 3
buah dupa dan menancapkannya digelas yang berisi beras suci, ia menyebutnya bije. Ia meletakkannya diatas sebuah
kotak yang disebut pelangkiran.
Sehelai bunga terselip di daun telinganya.
“Udah sholat, Yah?” gue mengangguk
dan menyuruhnya duduk di samping gue.
“Udah 7 tahun ya, Bun? 7 tahun sudah
kita membuktikan dupa dan sajadah bisa bersatu.”
“Iya Yah. Mudah-mudahan bisa
berlanjut sampai kita berdua tidak bisa melihat mata masing-masing. Karena hal
terakhir yang aku inginkan ketika aku meninggal nanti adalah tetap menatap
matamu, Captain Narendra Ekananda,”
ia memberikan ciuman hangatnya. Gue memeluknya seperti gak ingin melepasnya
lagi.
***
Gue terbangun karena dering telfon.
Nama ‘Schedulling’ terpampang di layar handphone gue.
“Mas, saya mau konfirmasi untuk schedule besok, bagaimana?” gue diem. Besok gue harus terbang dengan rute
3 hari dan menginap Merauke. Rute favorit gue.
“Maaf, Mas. Saya gak bisa jalanin
schedule besok, saya ada urusan keluarga.”
“Siap, terimakasih Mas. Nanti kronologisnya
di e-mail ke Chief Pilot aja ya,” gue
mematikan telfon. Memandang layar handphone sebentar, mencari sebuah nama dan
menekan tombol ‘call’.
“Halo? Ini Narendra. Bisa booking
tiket ke Bali?.... Ya, untuk hari ini.
…. Ya,hari ini juga. Kalo bisa sore ini juga… oke, makasi.”
‘KLIK.' Gue menatap cermin dan
berkata pada diri gue sendiri,
‘Bude
bener… bener-bener salah!’
Komentar
Dulu pernah denger curhatan Aditya Mulya & Ninit Yunita
(www.suamigila.com & www.istribawel.com) yg butuh lumayan lama supaya bukunya diterbitkan :)
Ato klo mo nekat terbitin sendiri ajah ... huehue
pernah tau ini kan www.nulisbuku.com ?
info lebih lanjutnya ada di www.leutikaprio.com.