Narendra : She Comes Back
Gue
merebahkan diri di atas kasur. Gue masih membayangkan kenekatan gue waktu
nyatain perasaan gue ke Kita. Astaga, kenapa gue bisa jatuh cinta sama cewek
sebocah Angkasa Nandakita? Gue berusaha untuk tidur, tapi bayangan wajah Kita
seolah gak mau pergi dari otak gue. Gue geli sendiri ngebayangin gue yang udah
33 tahun ini berlagak bak ABG yang
sedang kasmaran. What the hell was goin’
on?
Gue terbangun karena dering telfon
yang ternyata wake up call, artinya
satu jam lagi gue harus siap di lobby hotel untuk segera berangkat ke bandara.
Penerbangan hari ini, berawal dari Denpasar lanjut ke Jakarta, kemudian Jogja
dan kembali ke Jakarta. Itu artinya penerbangan gue dan Kita akan berakhir.
Ngarepin terbang bareng lagi, sama aja ngarepin matahari bersinar pink. Impossible. Airlines punya system yang membagi schedule penerbangan tiap crew
member-nya, sehingga mereka memiliki schedule
yang berbeda-beda. That means, kami akan
selalu bertemu dengan crew member yang
baru.
Gue rada ketar-ketir juga kalo Kita gak
tertarik untuk ngelanjutin hubungan, atau setidaknya gak berminat ngasi gue
kesempatan buat nunjukin cinta gue ke dia. Jadi gue memutuskan akan
memanfaatkan penerbangan hari ini untuk benar-benar menarik perhatiannya.
Gue bergegas mandi dan memakai seragam. Gue
sengaja memakai gel rambut dan mengganti gaya rambut gue. Gue pengen hari ini
keliatan beda. Gue tau sih, Kita bukan tipe cewek yang ngeliat dari fisik doank,
tapi gue tetep berusaha.
Ternyata gak Cuma gue yang tampil beda,
Kita pun kali ini berpenampilan beda dengan memakai poni dan dandanan yang
lebih ‘on’. Tapi meskipun begitu,
tetap saja ia terlihat menawan. Walaupun sebenarnya gue tetep lebih suka Kita
yang tanpa make-up, tapi sekali-kali tampil beda juga menjadikannya menarik.
“Junior sekarang ya? Berani dandan gak
sesuai standar! Mana poninya berantakan. Haduuhh,” keluh nyonya Medusa, alias
Silvi kepala uler. Kayanya dia nyindir Kita deh, tapi yang disindir cuek aja.
Gue mengalihkan pandangan kearah Captain
yang keliatan asik telfonan. Setelah Captain
mematikan telfonnya, gue iseng jailin si Captain.
“Cie, Captain senyum-senyum mulu!” goda gue. Captain ketawa.
“Iya, nih! Darla sama Mamanya hari ini
mau pulang liburan dari Singapore. Take
off-nya jam 8 siang, perkiraan landing-nya
sekitar jam setengah 9. Sementara kita perkiraan landing terakhir di Jakarta jam 12 siang. Mereka ngotot mau
nungguin kita tempat jemputan crew
karena mau pulang bareng gue. Mamanya bilang, ‘kan kangen sama Papa!’ tapi si Darla teriak di telfon bilang, ‘jangan percaya, Pa! Mama kan Cuma mau irit
ongkos taxi. Ke Bekasi kan mahal!’. Lucu banget! Gue baru sadar udah 2
bulan gue gak pernah jalan sama mereka. Kalo libur, gue selalu tidur sepanjang
hari. Mereka juga gak pernah ganggu gue, karena ngira gue capek. Gue emang
dimasa-masa bosen banget sama hidup yang monoton kaya gini. Gue jadi nyari
hiburan lain, sementara gue lupa, senyum keluarga gue adalah hiburan yang
paling menyenangkan dihidup gue. Gue ngerasa bersalah banget sama keluarga gue,
terlebih istri gue yang ngabdi banget sama gue,” kata Captain Aji bijak. Kita yang ternyata ikut mendengarkan tiba-tiba
nyeletuk,
“Gapapa Capt, namanya manusia, pasti pernah lupa. Captain hanya lupa, kebahagiaan Captain
sebenarnya apa. Yang penting ketika Captain
udah sadar, stop dan jangan diulangi lagi,” kata Kita bijak. Dia sama sekali
gak menghakimi atau men-judge Captain bahwa perbuatan Captain salah, tapi ia malah membesarkan
hati dan menyemangatinya.
“Iya, Ta. Syukur mereka masih bertahan
dan gak ninggalin gue. Sumpah demi apa, gue bangga banget. Insya Allah gue gak bakal ngecewain mereka lagi.”
”Avighnam
ya, Capt. Mudah-mudahan,” Kita mengatupkan
kedua telapak tangannya di depan dada.
Meski berat, kami semua meninggalkan
Pulau seribu pura ini. Setelah menempuh Denpasar-Jakarta-Jogja, gue
berinisiatif untuk menemani Kita setelah mendarat saat penumpang disembark atau keluar dari pesawat. Gue udah minta ijin sama Captain dan cerita kejadian kemarin di
Pantai Kuta.
“Lo serius? Katanya trauma sama
pramugari? Tapi Kita anak yang baik kok. Gue denger dari Arin, Kita bukan
pramugari biasa gampang ngikut arus pergaulannya. Dia punya mimpi, pengen jadi
seorang seniman. Dan dia lagi proses nabung buat biayain sekolahnya sendiri,”
kata Captain, gue juga udah mendengar
cerita yang sama dari Arin. Itu membuat gue makin terkagum-kagum dengan sosok
seorang Nandakita.
“Tapi kan Captain sendiri yang bilang gak semua pramugari kaya mantan saya,
dan saya tau, Kita berbeda. Kalo boleh jujur, saya memang sudah tertarik dari
awal penerbangan Capt. Tapi saya
berusaha menutupi dan menahannya karena tau saya udah umur berapa, dia udah
umur berapa. Belum lagi kami beda agama,” terang gue rada malu-malu. Iyalah
malu, ketauan naksir duluan.
“Sini gue kasi tau, bro. Pepatah ‘cinta itu buta’
emang bener. Kalo lo udah jatuh cinta, hati lo udah mati rasa ama orang lain.
Mata lo gak bisa ngeliat apapun, sekali lagi, APAPUN. Lo gak bakal liat dia
punya kutil segede kelapa di badannya. Lo gak bakal peduli dia tidurnya ngorok
atau ileran. Lo bakal tutup telinga kalo denger berita jelek tentang dia. Kalo
itu terjadi, lo emang bener-bener jatuh cinta. Tapi inget, lo masih punya hati,
masih punya nalar. Pake mereka buat ngenilai, pantes gak dia untuk
diperjuangkan? Pake buat menilai, apa dia pantes dapetin cinta lo. Karena orang
yang menderita syndrome cinta buta bakal
mencintai pasangannya setulus hati,” kata-kata Captain bener-bener masuk ke hati gue. Sejenak gue termenung. Gue
membandingkan perasaan gue ke Putri dan perasaan gue ke Kita. Gue flashback kejadian 3 tahun lalu, ketika
gue menyatakan perasaan gue ke Putri.
“Gue jatuh cinta.
Dan itu sama elo Put. Lo wanita pertama yang ngajarin gue apa itu cinta. Lo mengalihkan pikiran gue. Lo mengubah
obsesi gue, lo menyadarkan gue pada kenyataan bahwa mimpi gue terlalu tinggi
buat diterbangin. Sekarang, gue cuma pengen bikin lo bahagia.”
“Aku juga, Mas.
Mas adalah pria yang aku idamkan. Mas adalah orang yang mungkin jika bisa
memindahkan gunung atau menari di atas bara api, akan melakukannya demi orang
yang Mas sayangi. Aku juga mencintaimu, Mas.”
Gue inget semua itu. Gue inget pelukan
itu. Gue inget hangat tubuh Putri. Putri adalah tipikal istri idaman gue.
Muslimah yang khatam isi Al-Qur’an,
menutupi auratnya, dan sholatnya gak pernah ketinggalan. Orang yang gue
harapkan menuntun sisi religius gue yang selama ini lumayan buruk. Meskipun gue
tau persis Putri gak bisa masak dan ngurus rumah, I mean kalo dia masak, rasanya gak pernah jelas, gue gak melihat
itu sebagai kekurangan. Itu yang membuat gue melamarnya, dan menjauhkan impian
gue sebagai pilot untuk sementara. Tapi karena gue dipindah tugaskan ke Batam
selama 7 bulan, gue terpaksa mengundur pernikahan kami selama 10 bulan.
Sebelumnya, gue bulatkan tekad untuk bertunangan dengan Putri.
“Aku ingin
menikahimu, Put. Menjadi imammu. Kita
akan saling menuntun, mendukung dan mencinta sepanjang hayat. Aku berjanji,
tidak ada nama lain selain nama Dinia Putri di hatiku. Aku akan melimpahimu
dengan kebahagiaan sepanjang hari. Apa kamu mau menungguku?10 bulan lagi, akan
kusematkan cincin pernikahan kita di jari manismu.”
“Mas, aku akan
menunggumu, selalu. Tolong jaga hatimu hanya untukku, Mas. Aku mencintaimu.”
Saat itu gue begitu percaya Putri akan
menunggu gue pulang. Ternyata hidup gak semudah itu buat gue. Tapi gue
bersyukur, Tuhan memberi gue firasat. 2 bulan sebelum kepulangan gue ke
Jakarta, gue selalu memperhatikan kalau Putri tidak pernah meninggalkan
sholatnya. Bukankah sangat mencurigakan, seorang wanita dewasa selama dua bulan
berturut-turut tidak pernah terputus sholatnya karena berhalangan atau datang
bulan?
“Kalau benar
kamu tidak pernah mengkhianatiku, tolong buat aku percaya. Tolong berikan hasil
test pack yang aku berikan tadi. Aku mohon, Put. Aku mohon katakan padaku bahwa
aku salah. Katakan padaku kamu hanya terlambat datang bulan biasa. Aku mohon.”
“Mas, maafin
Putri. Putri khilaf. Putri gak tau harus ngomong apa lagi. Putri…,”
Putri yang awalnya menyembunyikan test
packnya, akhirnya menyerahan test pack itu dengan tangan gemetar dan air mata
yang jatuh tanpa henti. Saat itu, gue bener-bener pengen ngambil pisau dan
menusukkannya tepat di jantung gue. Gue… gue merasa sangat sakit sampai-sampai
gue ngerasa, sakitnya pisau gak akan bisa mengalahkan rasa sakit yang
ditusukkan putri.
Gue akhirnya tau, Putri berselingkuh
dengan seorang staff scheduling, Mas
Irwan. Seseorang yang gue kenal sebagai sosok religius seperti Putri. Tapi gue
gak menyerah. Pernikahan gue dan Putri tinggal diujung mata. Keluarga gue
bahkan udah nyiapin gedung buat akad dan resepsi. Gue akan memperjuangkan
kebahagiaan gue, dan gue gak akan mengecewakan keluarga. Jadi? Gue memohon,
atau lebih tepatnya mengemis pada Putri.
“Put, mungkin
kamu sedang lupa. Kamu lupa, selama ini kamu menunggu siapa. Kamu lupa
angan-angan kita untuk hidup bersama. Kamu lupa siapa yang mencintaimu. Kamu
lupa dengan pria yang bersedia memindahkan gunung atau menari di atas bara api.
Kamu hanya sedang lupa. Aku mohon, sadarlah. Tatap mataku, Putri. Biarkan aku
menjadi ayah dari anakmu. Aku akan membesarkan dan mencintainya layaknya anak
sendiri. Aku mohon, Put. Demi apapun, aku terlalu mencintaimu.”
“Tapi dia bukan
anakmu, Mas! Dan lagipula, bukan kamu sosok imam yang aku cari. Mas Irwanlah
yang sebenarnya aku idamkan. Bagaimana seorang pria sepertimu yang bahkan tidak
bisa mengaji bisa menjadi seorang imam? Maaf Mas, tapi Mas Irwan yang akan
menjadi masa depanku. Aku sungguh meminta maaf untuk ini. Maaf.”
Lidah gue kelu. Hati gue membeku saat
itu juga. Putri sudah menjatuhkan gue begitu… dalam. Tapi meskipun begitu, gue
tetap melakukan yang terbaik untuknya. Seperti yang udah gue bilang, setengah
dari tabungan gue yang awalnya mau gue pake untuk biaya pernikahan kami, gue
berikan dengan tulus kepada Putri ketika gue mengembalikan dia ke keluarganya.
Keluarganya dengan wajah tertunduk meminta maaf kepada gue. Tapi bukan mereka
yang salah. Yang salah justru gue yang gak pantes menjadi seorang imam,
sehingga Putri meninggalkan gue. Gue ambil kembali cincin pertunangan kami, dan
mengalungkannya di leher gue. Sebuah cincin emas putih sederhana dengan ukiran
nama gue dan Putri di bagian dalamnya. Tanpa terasa tangan gue meremas kalung
dileher gue. Ya, cincin di kalung itu memang gak pernah lepas dari leher gue,
bahkan ketika kini gue udah menjatuhkan diri pada wanita lain.
“Bro,
prepare for arrival ya? Gue mau ke lavatory,” kata Captain mengagetkan gue. Gue dengan tanggap segera berkomunikasi
dengan menara pengawas bandara setempat untuk menginformasikan bahwa pesawat
gue akan segera menurukan ketinggian.
Pesawat mendarat di Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta dengan mulus. Sesaat sebelum penumpang disembark, gue meminta ijin Captain untuk keluar dari Cockpit untuk menemani Kita greeting penumpang. Captain hanya tertawa dan dengan isyarat tangannya menyuruh gue
segera keluar. Gue mendapati Arin dan Kita sedang tersenyum sambil mengucapkan
terimakasih kepada penumpang yang
keluar. Arin yang sadar akan kehadiran dan tujuan gue, segera menyembunyikan
diri di toilet. Tinggal gue dan Kita berdua bergantian memberi salam kepada
penumpang.
“Mas Rendra?” sapa seorang wanita yang
sedang menggendong anaknya yang berusia kisaran 2-3 tahun. Gue tertegun. ‘Putri?’
“Ah, maaf. Saya salah orang,” sambung
wanita itu sambil segera berlalu dari hadapan kami. Kita memandangiku.
“Bentar ya, Ta. Aku nyusul cewek tadi,”
kata gue cepat. Kita terlihat kebingungan tapi tidak bertanya. Gue lari
cepat-cepat menyusul Putri.
“Putri! Tunggu,” gue berteriak hingga
membuat Putri akhirnya menghentikan langkahnya. Ya, wanita itu memang Putri.
Dinia Putri yang baru 1 jam lalu mengisi pikiran gue. Ntah mimpi apa gue
semalem bisa bertemu seperti ini. Gue dan Putri memang putus hubungan. Kami gak
pernah berkomunikasi satu kalipun.
“Kamu… Kamu bener Mas Rendra? Kok kamu
jadi pilot sekarang?”
“Iya, Put. Ini aku, Narendra. Sebelum
ketemu kamu, aku emang sekolah pilot tapi keputus karena biaya. Aku emang gak
pernah cerita. Kamu sendiri gimana kabar? Ada urusan apa ke Jogja?”
“Wah, hebat ya, Mas Rendra sekarang udah
sukses. Aku memang sudah 3 bulan ini tinggal di Magelang sama orangtuaku, Mas.
Eh, perkenalkan, ini Irnia. Anak aku sama Mas Irwan. Irnia, ayo bilang halo
sama Om Rendra,” gue menatap anak digendongan Putri yang dengan angkuh menolak
untuk menyapaku. Anaknya cantik, sangat mirip dengan Putri.
“Ah, maaf ya Mas. Irnia memang agak
tertutup. Iki Mas, aku ke Jakarta ada
urusan sama Mas Irwan,” sambung Putri lagi, kali ini dengan nada getir. Gue
melihat kepedihan dimatanya, tapi gue gak mau banyak bertanya. Refleks gue
mengambil dompet dan memberikan kartu nama gue.
“Kalo kamu mau cerita, telfon aja,”
Putri menerima kartu nama gue. Gue mengelus rambut Irnia pelan. Ketika tanganku
ingin mengelus rambut Putri, tiba-tiba bayangan Kita muncul dan membuat gue
mengurungkan niat untuk mengelus rambut Putri lagi.
“Makasih, Mas. Met terbang ya,” Putri
melambaikan tangan dan tersenyum. Senyum yang sama, senyum 3 tahun lalu yang
membuat gue tergila-gila. “Oh iya, selamat ulangtahun, Mas.”
***
Begitu keluar dari terminal kedatangan,
gue mengajak Kita ke rumah Bude Windya di bilangan Kalibata, Jakarta Timur.
Kebetulan Ibu gue dan Disty sudah berkumpul disana untuk merayakan ulangtahun
gue secara sederhana. Hanya potong tumpeng dan kue tart, selebihnya akan kami habiskan untuk mengobrol. Gue merasa ini
adalah kesempatan bagus untuk mengenalkan Kita, dan untuk mengetahui apa reaksi
mereka. Ternyata Disty dan Bude memberi reaksi yang sangat bagus, mereka
menerima Kita dengan hangat, walaupun Ibu terlihat menjaga jarak, tapi toh ia
masih bersikap manis. Mereka bahkan mempersilahkan Kita memakai kamar tamu
untuk mengganti seragamnya. Saat Kita berganti pakaian, mereka langsung
menginterogasi gue.
“Itu siapamu, le? Bude lihat anaknya baik, cantik pula. Tapi mirip sama mantanmu
itu, ya? Siapa namanya? “
“Putri, Bude. Itu temen, Rendra. Kita
terbang bareng selama 4 hari ini. Karena Rendra ulangtahun, Rendra ajak
ngerayain bareng disini,” kata gue cuek.
“Kok Cuma temen dibawa-bawa ke rumah,
Mas? Sampe dikenalin ke kita-kita. Kenapa gak dinikahin aja? Cakepan ini kok, banding
yang dulu,” selidik Midia.
“Tapi kok pramugari lagi toh, Mas?
Kayaknya juga masih muda, usianya berapa? 25 tahun?” tambah Ibu.
“Tahun ini 20, Bu. Kami beda 14 tahun.
Dia juga Bali tulen, agama Hindu. Rendra sih suka sama Kita, tapi kami belum
mau men-declaire apapun. Jalanin dulu
aja, kami toh baru kenal 4 hari.”
“Hah? 20? Ya ampun, dia malah lebih muda
dari Midia, Mas!” seru Disty kaget.
“Astaga! Jadi kalian beda 14 tahun? Aduh,
le… Emang gak ada cewek laim apa?
Masih cilik iku le!” seru Ibu gak
setuju. Tiba-tiba ada langkah kaki mendekat, ternyata Kita masuk ke ruang
keluarga dengan balutan kaus lengan panjang dan celana jeans panjang.
“Maaf, Bu. Baju Kita kaus semua,” katanya
malu-malu. Pakaian Bude, Ibu dan Midia memang bagus-bagus dan elegan. Padahal
kami hanya merayakan kecil-kecilan. Pantas saja Kita merasa kecil hati karena
tidak memakai baju yang sepadan. Gue sendiri belum melepas seragam dan
atributnya, namun dengan cuek memotong tumpeng dan makan dengan lahap.
Setelah acara selesai, gue mengantar
Kita ke apartmennya di daerah Tangerang. Karena acaranya berlangsung sampai
pukul 10 malam, gue gak perlu menempuh macetnya Jakarta. Sepanjang perjalanan, Kita
menjadi pendiam, gak seperti biasanya yang kalo ngomong udah kaya gerbong
kereta. Gak putus-putus.
“Kamu kenapa, Ta?”
“Ah, enggak. Aku Cuma ngerasa ga enak
aja. Aku ini siapa, dari keluarga mana. Beda banget sama Mas.”
“Kamu kok mikir kesana? Aku dan
keluargaku itu juga bukan orang berada kok. Kami terbiasa hidup sederhana. Kalo
Bude Windya, beliau memang memiliki kehidupan yang berbeda. Tapi bukan berarti,
karena tinggal di rumah sebesar itu, Bude meninggikan derajatnya. Engga kok.
Kamu merasakan sendiri kan, mereka semua menyambutmu dengan hangat.”
“Ia sih, Mas. Tapi mereka pasti
mengharapkan Mas untuk segera menikah, sementara aku masih 20 tahun. Aku belum
siap, Mas. Aku masih ingin bersenang-senang, menikmati masa mudaku tanpa harus
terikat surat pernikahan. Aku masih ingin bekerja, ingin mengabdi kepada
keluargaku dari hasil keringatku sendiri.”
“Itu kan harapan, semua keputusannya ada
di tangan kamu kok. Kalau kamu memang belum siap, silahkan. Aku gak akan
memaksa.”
“Tapi aku… aku cinta…,”
“Apaan? Aku gak denger. Ngomongnya yang
keras dikit donk sayang,” goda gue. Kita makin menunduk seolah enggan
mengatakanna
“Aku cinta sama Mas. Aku bahagia selama
4 hari ini. Aku sangat bahagia. Tapi aku bingung. Di satu sisi, aku gak mau
menyita waktu Mas, karena aku gak siap untuk menikah. Di sisi lain, aku gak
rela membiarkan Mas membahagiakan orang selain aku. Hh,” Kita mendesah. Gue
berbelok untuk memarkir mobil di basement.
“Ta, aku gak minta jawaban kamu
sekarang. Kemarin kan aku udah bilang, aku gak minta apa-apa. Pada saatnya
nanti, kalo kamu udah siap, kamu bisa ngasi jawabannya ke aku. Sekarang cukup
biarkan aku mencintaimu, resapi dan rasakan. Kalo kamu memang lebih bahagia
tanpaku, aku gak akan memaksa. Tapi kalo kamu memang lebih bahagia denganku,
kamu harus tau konsekuensinya,” gue menatap Kita lekat-lekat, sementara yang
diliatin malah memalingkan muka. “Kita udah sampe, nih. Aku anter sampe ke unit
ya? Sekalian mau kenalan sama temen-temen kamu.”
Gue dan Kita berjalan dalam diam. Dari
sudut mata gue, gue bisa liat Kita sedang menerawang sambil sesekali menatap
gue. Gue mengikuti atmosfir yang tercipta dengan tidak memulai pembicaraan.
Kita membuka pintu unit apartmentnya dan mendapati kamarnya gelap.
“Mungkin pada terbang,” jawab Kita tanpa
ditanya. Ia menghidupkan lampu dan tiba-tiba sesosok orang menghadang kami.
“DARR!! Supriseee!!!” ketiga cewek yang gue tebak sahabat-sahabat Kita
tiba-tiba memeluk gue.
“Heh! Gue disini, kalian salah orang!” tegur
Kita. Trio cewek itu menoleh ke arah gue dan terlonjak kaget.
“Eh, maaf Mas! Maaf, kami kira si Kita.
Maaf,” seru salah satu cewek yang berkulit putih. Gue yang kaget mendapat
pelukan gratis itu masih diem gak berkutik sampe akhirnya Kita memperkenalkan
gue.
“Lagian, kalian kurang kerjaan banget
sih? Btw, kenalin, ini Mas Rendra. Temen gue.”
“Eh, Mas Rendra? Kayaknya aku tau deh!
Waktu aku flight training, aku kan barengan Mas! Inget ga? Mas waktu itu under training yang pairing bareng si Rishaab. Co-pilot India itu,” repet cewek yang
berkulit agak gelap. “Eh, lupa. Aku Nindya, Mas.”
“Aku Gisa, Mas.”
“Resha.”
Oke, gue menghafal mereka satu persatu.
Mereka mempersilahkan gue masuk yang segera gue tolak dengan halus. Udah
terlalu larut untuk bertamu, lagipula gue tau, mereka Cuma berbasa-basi. Mereka
pasti sebenernya gak sabar buat mengobrol.
Kita memaksa untuk mengantar gue sampai
ke lobby, tapi lagi-lagi gue menolak.
“Udah disini aja. Aku turun sendiri.
Makasi buat hari ini.”
“Iya, Mas. Met ulangtahun loh!” gue
melambai ke arah Kita dan turun ke lift. Tiba-tiba handphone gue berdering, gue
memandang layarnya dan mendapati ‘nomor tidak dikenal’ yang sedang menelfon
gue. Gue angkat dengan malas dan membiarkan si penelfon berbicara lebih dulu
“Mas Rendra?”
“Putri?” tanya gue bego. Gue hapal suara
ini, seharusnya gue gak perlu menanyakannya lagi.
“Iya, Mas. Mas, aku perlu ketemu,” suara
Putri terdengar pelan. Kemudian tangisnya pecah. “Mas Irwan mau segera
menceraikan aku karena aku menolak untuk dipoligami, Mas.”
“Oke, kamu dimana? Aku kesana sekarang,”
setelah mendapat alamat dari Putri gue segera masuk ke mobil dan tanpa sadar,
ada seseorang yang memperhatikan gue dari tadi.
***
“Cerita pelan-pelan, Put. Kalo kamu
nangis, aku jadi ga ngerti kamu ngomong apaan,” kata gue lembut sambil
memandang Putri lekat-lekat. Gue tau, didepan gue saat ini adalah wanita yang
telah menjatuhkan gue 3 tahun yang lalu. Wanita yang sempat menyebabkan
kebekuan dihati gue. Tapi tetap saja gue gak lupa, wanita inilah yang berhasil
membuka hati gue untuk bercinta. Mengajarkan gue, ada satu tahap kehidupan yang
gak pernah gue pelajari, jatuh cinta.
“Kami udah pisah ranjang dari 6 bulan
yang lalu, Mas. Mas Irwan setelah menikahiku dipecat dari perusahaan dan
akhirnya melamar di maskapai swasta. Gajinya gak seberapa dibandingkan waktu dia
bekerja di maskapai yang lama.
Kemudian, karena aku mengandung, aku
mengundurkan diri dari perusahaan. Aku gak punya penghasilan sendiri, aku jadi
tergantung sama Mas Irwan. Setelah Irnia lahir, Mas Irwan dengan teganya
memperkenalkan Tayla, pramugari di maskapai barunya. Ia meminta ijinku untuk
menikahi Tayla. Ternyata selama aku mengandung Irnia, Mas Irwan berselingkuh
dengan wanita itu. Aku tentu saja menolak! Aku gak mau dipoligami. Mas Irwan
memutuskan untuk pisah ranjang. Aku kembali kepada orangtuaku. Dan setelah 3
bulan, Mas Irwan memintaku untuk ke Jakarta untuk mengabarkan… Tayla hamil.
Kejadian itu terulang lagi, Mas. Seperti lingkaran karma, aku merasakan berada
di posisimu. Tidak hanya itu, Mas Irwan tanpa ba-bi-bu langsung mengatakan
bahwa ia ingin bercerai. Sekarang aku sendiri, Mas. Aku gak punya siapa-siapa.”
Putri menangis dipelukan gue. Teman
Putri yang memberi Putri tumpangan dirumahnya membawa Irnia masuk ke kamar. Gue
membiarkan Putri menangis sampai ia kelelahan. Kebetulan keesokan harinya gue
gak punya schedule terbang, jadi gue putuskan untuk menginap disana. Setelah
Putri tidur dipangkuan gue, gue pun memejamkan mata. Lelah dengan semua aktifitas
hari ini.
Mata gue terbuka ketika merasakan
kecupan di kening gue. Gue memicingkan mata dan melihat Putri sedang tersenyum.
“Pagi, Mas. Aku udah buatin sarapan,”
sambut Putri sembari menyodorkan sepiring nasi goreng yangterlihat lezat.
“Seingetku, kamu gak pernah bener kalo
masak. Kadang keasinan, kadang malah hambar,” candaku. Tapi begitu gue masukkan
satu sendok nasi goreng buatannya, gue tertegun. “Enak!”
“Iya donk, mau sampe kapan aku gak bisa
masak? Kan aku udah jadi Ibu, harus berubah donk,” jawabnya. Gue menghabiskan
nasi goreng itu dengan cepat. 5 menit kemudian, piring itu udah licin gak
bersisa.
“Aku jadi inget, tiap aku masakin, Mas
gak pernah ngeluh. Mas selalu habisin apapun yang aku masak dan selalu bilang
masakanku adalah masakan terenak di seluruh dunia. Sementara Mas Irwan gak
pernah mau makan masakan aku dan Cuma bisa bilang aku gak pantes jadi seorang
istri karena gak bisa masak.
“Aku juga inget, Mas sebisa mungkin
mengantar jemput aku kalau aku mau terbang. Mas gak pernah marah kalau aku gak
angkat telfon Mas dan beralasan aku capek pulang terbang. Sementara aku bakal
ngamuk-ngamuk kalo sampe Mas melewatkan satu saja telfonku, gak peduli Mas lagi
kerja atau kecapean pulang kerja.
“Aku bodoh banget ya, Mas? Aku Cuma bisa
melihat kekuranganmu, tanpa pernah melihat kekuranganku. Aku terlalu sibuk
mencari sosok yang sempurna, sampai-sampai aku gak bisa ngeliat kamu, yang
mencintaiku dengan cara yang sempurna. Aku bodoh, aku bodoh sekali.”
Gue biarkan keheningan menjadi jeda. Gue
sebenernya pengen bilang, ia bukan bodoh, tapi ia wanita terjahat yang pernah
gue kenal. Tapi gue ternyata gak bisa sekasar itu. Yang bisa gue lakukan Cuma
memeluknya. Berharap bisa memberikan kedamaian.
“Mas, seandainya perceraian aku dan Mas
Irwan sudah selesai diurus dan kami resmi diputuskan berpisah, apakah aku bisa
mengambil kembali tawaran yang dulu Mas tawarkan? Apakah aku masih memiliki
hatimu?” gue tertohok. Gue gak nyangka Putri akan berkata demikian. Tentu saja
Putri masih memiliki tempat tersendiri di hati gue, tapi bukan berarti semudah
itu Putri bisa membuang gue dan memungutnya kembali.
“Mas inget kan? Mas dulu pengen banget
nikahin aku? Pengen bikin aku bahagia? Apa aku gak berhak bahagia Mas?
Pernikahanku gagal. Aku tidak mendapatkan kebahagiaan yang aku idamkan. Apa Mas
gak mau ngasi aku kebahagiaan lagi?” gue melepaskan pelukan gue dan menatap
Putri lurus kearah kedua matanya. Jika pertemuan ini terjadi sebelum gue
bertemu Kita, mungkin gue akan mempertimbangkan tawaran Putri. 3 tahun memang
gak cukup untuk menghapus memori tentangnya di otak gue. Tapi kehadiran Kita
yang selama 4 hari ini berhasil menggeser posisi Putri dihati gue.
“Maaf, Put. Aku gak bisa. Bukan karena
kamu pernah menjatuhkan aku. Bukan karena aku membencimu. Bukan, sama sekali
bukan. Aku sudah melupakan itu, aku gak bisa mendendam. Kalau aku masih
membencimu, aku gak akan berada dihadapanmu sekarang. Aku menghargaimu sebagai
wanita yang pernah mengisi kehidupanku. Sebagai wanita di chapter pertama kehidupanku.
Masalahnya, aku sudah memiliki wanita lain. Ia yang menungguku disana penuh
cinta. Aku gak akan pernah mengkhianatinya, karena aku tau persis seperti apa
rasanya dikhianati,” gue mencari jaketkkulit gue untuk segera beranjak dari
sana. Dari dulu sampai sekarang, gue gak pernah tahan ngeliat orang nangis. Gue
gak kuat ngeliat orang kesakitan. Jadi gue memutuskan untuk pergi sebelum gue
mengubah keputusan gue hanya karena kasihan. Gue mencari-cari tapi gak juga
menemukan jaket kulit kesayangan gue. ‘Ah,
mungkin di mobil,’ pikir gue.
“Salam buar Irnia. Tolong besarkan dia
penuh cinta. Jadilah ibu sekaligus ayah yang baik untuknya. Ia tak pernah
meminta untuk dilahirkan oleh orangtua yang belum siap mengemban tugasnya
sebagai orangtua. Jadi, bertanggungjawablah meskipun tidak secara utuh,” kata
gue. Gue berdiri dan sebelum meninggalkan Putri yang terus terisak, gue mencium
keningnya. “Be strong, Putri. Kamu
gak sendiri. Kamu punya Irnia dan orangtua yang kasihnya tak pernah habis
kepadamu. Kamu pasti bisa. Kalau kamu perlu aku untuk tempatmu bercerita, kamu
bisa menghubungiku.”
Gue berlalu, meninggalkan Putri yang
menangis di belakang punggung gue. Well,
ini memang keputusan sulit. Kembali kepada Putri, seseorang yang karakternya
gue tau persis, yang dulunya gue cinta setengah mati atau menggantungkan
harapan untuk cinta yang baru pada Kita, orang yang baru gue kenal 4 hari ini.
Tapi toh ternyata gue masih cukup waras untuk memilih. Gue bisa memaafkan, tapi
gue sama sekali gak bisa ngasi Putri kesempatan. Gue pun memacu mobil ke rumah.
Komentar