Prologue Of Nandakita
“Angkasa
Nandakita!” pletak! Dan sebuah penghapus white board menyusul panggilan itu,
melayang dan jatuh tepat di atas kepala gadis yang tertidur pulas di tengah
kelasnya.
“YAK, 98,7 FM PissComer Radio. Balik
lagi barengan Angkasa Nandakita di ajangnya-“ gadis yang akrab disapa Nandakita
itu terbangun dari tidurnya dan dengan masih setengah sadar mulai meracau. “Eh,
maaf Bu. Saya…” setelah menyadari bahwa ia telah tertidur di tengah kelas
Matematika Bu Sukerti yang terkenal angker di sekolahnya, bahkan mungkin
seantero kota kecilnya itu, Singaraja, Nandakita segera mencari-cari alasan
untuk menutupi kelalaiannya.
“Tidak ada alasan lagi, Kita! Kamu
ke ruangan saya sekarang! Yang lain, kerjakan semua soal bernomor ganjil di pretest
halaman 98,” perintah Bu Sukerti yang langsung membuat Nandakita membatu.
‘Mampus aku!’ batin Nandakita. Ia
mengekor di belakang Bu Sukerti diikuti belasan pasang mata teman sekelasnya di
kelas XII Bahasa.
“Kasihan Kita. Pasti dikulitin
hidup-hidup tuh sama Bu Sukerti!” bisik Ria, teman sebangku sekaligus
sahabatnya kepada Adit, teman sekelasnya yang lain.
“Ntar bubar kelas kita susulin aja ke
ruang guru. Ini udah ke-7 kalinya Nandakita dipanggil dalam seminggu ini. Kalau
bukan karena dia berprestasi di bidang teater dan film, gak mungkin pihak
sekolah masih belain dia buat sekolah disini. Nilainya pas-pasan, dulunya suka
bermasalah sama kakak kelas dan guru-guru, kerjanya bolos melulu. Kayanya kita
mesti ngomong deh sama Kita. Dia gak bisa dibiarin cuek kaya gitu,” jawab Adit
prihatin.
Sementara itu, Nandakita sedang menanti
hukuman yang akan diberi oleh Bu Sukerti atas kekurangajarannya tertidur di
kelas. Bu Sukerti menatapnya tajam tanpa mengatakan sepatah katapun. Nandakita
akhirnya memutuskan untuk mengawalinya dengan permintaan maaf.
“Bu, saya akui saya salah. Saya minta
maaf untuk itu. Tapi saya benar-benar pasrah dengan pelajaran satu ini. Metode
apapun yang Ibu pakai tidak akan bisa membuat saya paham dengan materi yang Ibu
berikan. Jadi saya merasa bosan. Saya bosan, dan saya pasrah, Tentu saja ini
bukan salah satu bentuk pembelaan diri. Bukan kok, Bu. Ini pernyataan, ini
pengakuan saya. Daya tangkap saya memang lemah untuk pelajaran satu ini,” jelas
Nandakita panjang lebar. Ekpresi Bu Sukerti tidak berubah sedikitpun.
“Benar kamu kerja sampingan, Kita?”
tanya Bu Sukerti tiba-tiba out of the topic..
“Benar Bu,” jawab Kita dengan agak
kebingungan.
“Kenapa?” ekspresi Bu Sukerti mulai
melunak. Kita menelan ludah dan kemudian menjawab,
“Karena saya mau belajar, Bu. Pelajaran
itu gak Cuma bisa didapat dari sekolah. Pelajaran bukan hanya sekedar
materi-materi yang diprint dan kemudian dijilid, yang kita namakan buku. Ada
banyak sekali pelajaran di luar sana yang tidak diajarkan di sekolah. Saya
merasa saya sudah cukup belajar di sekolah. Otak saya sudah tidak mampu lagi
menyerapnya,” Kita menjawab dengan mantap, sementara Bu Sukerti malah
geleng-geleng kepala.
“Tapi kamu anak yang cerdas, Kita.
Nilai-nilaimu dari SD dan SMP menunjukkan angka yang bagus. Terbukti kamu lolos
di sekolah ini, salah satu jajaran sekolah terbaik di Bali. Akan ada masanya
kamu belajar dari hidup. Sekarang waktunya kamu belajar di sekolah. Ujian
semakin dekat, kamu harus fokus. Ibu tau, sekolah masih meminta bantuanmu untuk
membina adik-adikmu di ekskul teater dan kamu punya banyak kerja sambilan. Tapi
langkahmu tinggal sedikit lagi. Kamu harus mengorbankan mereka demi masa
depanmu. Kamu harus kuliah. Kamu harus jadi sarjana. Demi keluargamu, Kita…”
“Saya gak bisa, Bu. Seni adalah hidup
saya. Saya juga ga mungkin resign sebagai penyiar karena terikat kontrak.
Kalaupun ada yang harus saya lepas, itu adalah bangku kuliah saya. Saya gak mau
kuliah, selain jurusan seni. Kalau saya tidak diterima hanya karena nilai ujian
saya rendah, saya akan tetap mengabdikan diri sebagai budak seni yang
sesungguhnya,” Kita berkeras dengan keputusannya. Bu Sukerti mendesah pasrah.
Ia mengetik sebentar di komputernya dan memberikan print-out hasil ketikannya
kepada Kita.
“Berikan ini ke orangtuamu. Ibu harus
bicara dengan mereka,” putus Bu Sukerti. Nandakita menerimanya dengan tangan
bergetar.
***
“Apa-apaan ini?! Kamu dulu janji, sing
bakal ngecewai Ibu! Trus ne ape?!” (Apa-apaan ini?! Kamu dulu janji, gak bakal
mengecewakan Ibu! Trus ini apa!)
“Ya, Kita yakin Bu Sukerti udah omongin
semuanya ke Ibu. Ibu harusnya gak usah nanya lagi ‘ini apa’. Kaya sinetron
aja,” Nandakita menjawab namun tidak berani menatap wajah Ibunya yang terlihat
murka sekali.
“Ya, Bu Sukerti be ngomong, ne be ping
pitu kamu ketiduran di kelas! Kamu nak lakar ujian, adi nu nyemak gegaen ne
lenan? Care Ibu sing ngidang ngemaang kamu pis gen! Pokokne kamu suud siaran, suud nulis-nulis
naskah, suud teateran! Ibu gak mau tau, SUUD!” (Ya, Bu Sukerti sudah bilang,
ini sudah ke tujuh kalinya kamu ketiduran di kelas! Kamu mau ujian, kok masih
ambil kerjaan lain? Kaya Ibu ga bisa ngasi kamu uang aja! Pokoknya kamu harus
selesai siaran, selesai nulis-nulis naskah, selesai main teater! Ibu gak mau
tau, SELESAI!)
“Tapi Bu, Kita kan mau sekolah seni.
Buat apa Kita belajar lagi? Kita yakin, dengan piagam-piagam Kita selama ini,
Kita pasti diterima sekolah di IKJ atau di ISI.“
“Halah, sekolah seni? Kar dadi ape? Kar
dadi artis? Kar main film? Mimpi ne bes tegeh kamu, Ta! Gak ada! Kamu kuliah
Bahasa Inggris keguruan kaya Ibu dan kaya kakak-kakakmu! Haduh Dewa-Ratu!!! Ngelah
panak lue besik adi ngae lek gen gaene,” (Halah, sekolah seni? Mau jadi apa?
Mau jadi artis? Mau main film? Mimpimu terlalu tinggi, Ta! Gak ada! Kamu kuliah
Bahasa Inggris keguruan kaya Ibu dan kaya kakak-kakakmu! Haduh Tuhan!!! Punya
anak perempuan satu tapi kerjanya bikin malu aja). Ibu Nandakita masuk kamar
dan membanting pintu. Di balik pintu, Nandakita menempelkan telinganya dan
mendengar Ibunya menangis. Hatinya terasa sesak sekali. Meskipun Ibunya sering
sekali marah dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, ia tau, Ibunya sangat
menyayanginya. Mendengar Ibu yang ia sayangi menangis dan mengatainya anak yang
hanya bisa membuat Ibunya malu, membuatnya terduduk lemas dan ikut menangis.
“Ampure, Bu. Ampurayang Kita. Selalu
bikin malu. Apapun yang Kita lakukan, malah bikin Ibu malu. Ampure, Bu…” (Maaf,
Bu. Maafin Kita. Selalu bikin malu. Apapun yang Kita lakukan malah bikin Ibu
malu. Maaf, Bu…) katanya dengan terisak. Tiba-tiba bunyi bel mengagetkannya.
Bel truk yang menandakan Bapaknya sudah pulang. Kita segera menghapus
airmatanya, buru-buru menyiapkan kopi dan berlari menyambut Bapak keluar pagar.
“Ehh, Bapak be mulih! Ini Pak, kopinya!”
(Ehh, Bapak udah pulang! Ini Pak, kopinya!) sambut Kita bersemangat.
“Ae, uling puan kan Bapak ngabe muatan
juuk ke Surabaya. Engken to, engken? Adi mepanggil kone Ibu ke sekolah, Ta?”
(Iya, dari kemarin lusa kan Bapak bawa muatan jeruk ke Surabaya. Gimana tuh,
gimana? Kok katanya Ibumu di panggil ke sekolah, Ta?)
“Yaa, kaya yang Bapak denger,” jawab
Kita pasrah. Bapak menyeruput kopinya yang masih sangat panas dan mengajak Kita
duduk di teras rumah mereka yang masih beralas tanah.
“Bener kata Ibumu, Ta. Kamu mau ujian,
harus konsentrasi dulu dengan sekolahmu. Kamu harus mengalah, tinggalkan dulu
aktifitasmu yang lain. Toh nanti kelar ujian bisa dilanjutin lagi.”
“Tapi Pak, Kita gak suka sekolah. Kita
gak suka belajar. Kita capek baca buku terus. Kita ini bego, Pak. Gak bisa
dipaksa pinter kaya Kakak.”
“Eeeh, siapa yang berani bilang anak
Bapak bodoh? Cukup Bapak aja yang bodoh, Ta. Cukup Bapak aja yang sekolahnya
sampai SMK. Waktu Bapak nikahin Ibumu, Bapak bertekad, anak-anak Bapak harus
bisa kaya Ibumu. Harus berpendidikan, bisa jadi sarjana. Bapak mau pamer sama
sodara-sodara Bapak di desa, biar kata supir truk gini, anak Bapak sukses
semua. Hahaha,” Bapak mengipas-ngipasi dirinya dengan topi yang ia kenakan.
Kita terisak.
“Apa sukses itu Cuma dengan jadi
sarjana, Pak? Apa kalo Kita gak jadi
sarjana, Bapak gak bangga sama Kita?”
“Oh, bukan gitu Kita. Sukses itu
relatif. Bapak bisa bilang bahwa Bapak sukses mendidik anak-anak Bapak. Buktinya,
semua anak Bapak keterima di sekolah favorit. Bapak sukses bisa menghidupi
keluarga Bapak tanpa jual warisan dari Kakekmu. Tapi mungkin kamu bisa bilang
Bapak gagal sebagai seorang Bapak untuk memanjakan anak-anak Bapak karena gak
bisa beliin kamu laptop. Bahkan kamu beli laptop pake uang sendiri. Gak bisa
beliin kamu motor, jadi kamu harus capek naik sepeda atau angkot dulu buat
sekolah. Gak bisa ngasi uang saku banyak kaya temen-temen sekolahmu, sampai
akhirnya kamu nyari kerja sambilan…” Bapak mulai menitikkan airmatanya. Selama
18 tahun hidupnya, baru kali ini Kita melihat Bapaknya menangis.
“Untuk hal itu, Bapak gagal, Nak. Bapak
malu sekali, kamu masih muda harus cari sambilan segala untuk uang sakumu.
Bapak nangis, waktu jemput kamu ke siaran, kamu kerja sambil buat PR kamu di
studio. Bapak nangis, waktu nganterin kamu jadi SPG di plaza kapan hari itu.
Liat kamu panas-panasan di lapangan parkir, kesana kemari nawarin kartu, Bapak
malu sekali dengan diri Bapak, dan bangga sama kamu. Kamu gak mau menyudutkan
Bapak dan selalu bilang kamu gak malu kerja sambilan. Kamu gak capek. Padahal
Bapak tau kok, itu semua karena Bapak gak bisa ngasi uang lebih buat kamu,”
Kita memeluk Bapaknya dan menumpahkan tangisnya. Sungguh ia tak pernah
bermaksud sedikitpun membuat malu Bapaknya. Membuat Bapak-Ibunya menangis
seperti itu.
“Kita gak bermaksud, Pak. Kita sayang
sekali sama Ibu, Bapak, Kak Bumi dan Kak Air.”
“Udah lo, kok kamu ikutan nangis? Udah,
udah. Keputusannya tetep di kamu kok. Kalo kamu kekeuh sama keputusan kamu, ya
udah. Pertahankan itu. Orang yang punya prinsip itu bagus. Lebih baik gagal
dengan mempertahankan prinsip, daripada gagal mempertahankan prinsipmu itu.
Nah, orang seperti itu menurut Bapak adalah orang yang sukses.
“Nanti, kalau kamu udah jadi orang
sukses, jangan lupa diri ya. Jangan lupa dulunya kamu siapa, kamu berasal
darimana. Jangan pernah lupakan itu, Udah, Bapak masuk dulu ya, ini kopinya.
Inget gelasnya dicuci. Makasi banyak ya,” Bapak bangkit dan meninggalkan
Nandakita yang melayangkan lamunannya entah kemana.
Nandakita bangkit dan berjalan mengetuk
kamar Ibunya. Dengan mata sembab, Ibu membuka pintu dan memeluk Kita.
“Maaf, Ta. Ibu sing bermaksud tuni
ngomong keto. Ibu bangga sama kamu, sama semua anak Ibu. Maafin Ibu ya, Ta…”
(Maaf, Ta. Ibu gak bermaksud tadi ngomong gitu. Ibu bangga sama kamu, sama
semua anak ibu. Maafin Ibu ya, Ta…)
“Gak papa, Bu. Justru Kita yang harus
minta maaf, Kita harus ngecewain Ibu terus menerus. Kita gak akan ninggalin
semua aktifitas Kita diluar sekolah. Kalau Ibu gak setuju Kita lanjutin kuliah
di sekolah seni, tolong biarin Kita memilih sendiri jalan hidup Kita. Biarin
Kita yang mutusin masa depan Kita. Biar Kita sendiri yang nanggung
konsekuensinya. Tolong, kasi Kita kepercayaan. Kasi restu, Bu…” Kita memelas.
Ibu terlihat bimbang, namun tak urung, ia menganggukkan kepala tanda setuju.
Mereka tersenyum dalam tangis.
***
“Bu! Kita keterima, Bu! Besok Kita tanda
tangan kontrak! Ibu bisa dateng kan? Kita harus ditemenin orangtua,” tanya Kita
penuh harap. Tidak ada jawaban dari Ibunya. “Bu? Bisa kan, Bu? Anakmu keterima
jadi pramugari lo! Jadi pramugari!” ulang Kita dengan nada bangga.
“Oh, iya Ta. Maaf, Ibu dengerin kok.
Harus orangtua ya, Ta? Gak bisa diwakilkan?” jawab Ibunya di seberang sana.
Kita terlihat kecewa.
“Kok diwakilin Bu? Ibu gak pengen apa,
nemenin anak Ibu ini? Ngelepas anak Ibu di Jakarta? Ibu gak seneng ya, Kita
jadi pramugari? Ibu gak bangga ya sama Kita?”
“Bukan gitu, Ta. Biaya ke Jakarta kan
gak murah. Sementara nantinya kamu butuh uang banyak kan selama masa training?
Harus ngirit, Ta. Jadi gimana, bisa diwakilin nggak?” tanya Ibunya harap-harap
cemas. Kita ingin sekali berbohong dengan mengatakan bahwa acara tanda tangan
kontrak besok tidak boleh diwakilkan, namun ia paham betul kondisi ekonomi
keluarganya yang makin lama makin jatuh.
“Boleh kok, Bu. Nanti pake surat kuasa.
Biar Kita yang urus, nanti minta tolong tante Mira yang gantiin Ibu jadi
walinya Kita,” jawab Kita tanpa menyembunyikan rasa kecewanya.
“Syukurlah. Maaf ya, Nak. Kamu jaga diri
disana, selalu ingat keluarga, astungkara kamu baik-baik saja di Jakarta. Kami
semua menyayangimu, Nak. Kami semua bangga padamu,” jawab Ibunya tulus.
“Bu, kalau nanti Kita udah jadi orang
sukses, Kita bakal tulis kisah hidup Kita, perjuangan Kita, dan orang-orang
dibaliknya. Disana Ibu bakal liat nama Ibu, Bapak, Kak Bumi dan Kak Air sebagai
semangat dan pembuka jalan bagi Kita.”
“Astungkara ya, Nak. Semua orang pasti
ingin menuliskan kisah hidupnya, membaginya kepada orang lain. Bukan masalah
pantas atau tidak, tapi apakah tulisan itu bisa menginspirasi orang yang
membacanya atau tidak. Jangan sekedar menjadi sukses, Ta. Jadilah pribadi yang
bisa menjadi inspirasi orang lain.”
“Nggih, Bu. Kita janji. Kita sayaaanngg
sekali sama Ibu. Kita tidur dulu ya, Bu. Selamat istirahat,” tutup Kita. Ia
menatap berkeliling kamar kosnya yang sederhana dan melempar pandangan keluar
jendela.
“Welcome to the fleet, Angkasa
Nandakita.”
Komentar